a baby step
Agaknya percakapan terakhir di chat 3 minggu lalu membuat Jehan mengambil satu langkah ke belakang. Pun tindak tanduk Belia padanya 3 minggu terakhir ini—membalas pesan seadanya, tidak menyapa atau membalas sapaan saat berpapasan di sekolah—semakin meyakinkan Jehan untuk tidak lebih jauh melangkah.
Barangkali memang sedari awal keduanya bertukar nama hanya untuk berkenalan. Barangkali bertukar nomor ponsel pun hanya untuk menjalin relasi baru tanpa menjurus pada kisah kasih picisan.
Atau mungkin Jehan terlalu terburu. Sungguh Jehan benar-benar tidak tahu langkah seperti apa yang harus ia ambil. Ini pertama kali untuknya dan sangat asing.
Semua kemungkinan-kemungkinan itu sirna begitu ia menemukan sosok si jangkung di antara kerumunan penonton. Iya, Belia betulan datang di panggung terakhir D'Ordie sebelum mereka vakum sementara waktu untuk persiapan 4/6 membernya Ujian Akhir.
Haruskah Jehan kembali menginjak pedal gas atau bertahan di pedal rem untuk waktu yang lebih lama?
Belia, bisa ngobrol bentar?
Pesan itu entah sudah berapa kali Belia terima dari Jehan selama 3 minggu terakhir dan hanya dia biarkan begitu saja. Belia sadar bahwa dia sudah lebih dulu tertarik pada Jehan sementara sendiri telah bertekad untuk tidak memacari anak kelas akhir.
Konyol sebenarnya. Tapi mengingat insiden bersama si bedak sekilo dari kelas 11 waktu itu dan keambiguan yang ditinggalkan Jehan membuat Belia memilih menjauh. Meskipun ia tetap datang menyaksikan D'Ordie tampil sebelum vakum—Jihan sedikit memaksa untuk mereka berangkat nonton.
Satu lagi.
Belia merasa ini terlalu terburu. Atau mungkin dia terlalu percaya diri bahwa Jehan memang menyukainya.
Entahlah.
“Belia.”
Belia nyaris mengumpat ketika melangkahkan kaki keluar ruang kelas dan sosok Jehan sudah berdiri bersandar tembok depan kelasnya. Shellyn yang awalnya mengamit lengan Belia, melepasnya. Jihan yang menyusul keduanya pun sedikit terkejut dengan kehadiran Jehan.
“Bisa ngobrol bentar?”
Belia menghela napas. “Gue mau per—”
“Gak gak. Udah Kak bawa aja Belianya.” Jihan segera memotong kalimat Belia dan lekas menarik tangan Shellyn menjauh.
“Ji!” Belia mendelik. Sementara Jihan mengedipkan sebelah mata dan tersenyum lebar.
“Kita duluan ya.”
Jihan dan Shellyn berlalu setelah melambaikan tangan. Tinggalkan Jehan dan Belia berdiri canggung menghadap satu sama lain.
“Mau ngobrolin apa, Kak?”
“Ayo ikut bentar.”
“Disini aja.”
Jehan menghela napas. Edarkan tatap pada sekeliling keduanya. Belia turut melakukan hal yang sama. Lantas menyadari bahwa tempat ini—di depan kelasnya—bukan tempat yang tepat untuk membicarakan hal serius.
“Oke. Mau dimana?”
Belia menyerah. Mengikuti Jehan yang kini membawanya duduk di selasar gedung perpustakaan. Tempat yang tidak begitu ramai untuk mengganggu keduanya berbincang dan juga tidak terlalu sepi untuk membuat Belia merasa tidak nyaman.
“Jadi?”
Belia membuka percakapan dengan satu kata bernada tanya. Menginginkan Jehan untuk tidak perlu berbasa-basi. Kalian boleh katakan Belia gadis muda yang Tidak sabaran—meski memang benar begitu adanya. Tetapi sungguh 3 minggu ini pun Belia merasa bersalah karena ... Ya ia tidak semestinya menghindar dari Jehan bukan?
“Soal yang di UKS ... gue pikir lo cukup pintar membaca makna tersirat dari kata-kata gue waktu itu.”
“Lo naks—”
“Jangan potong omongan gue dulu, Bel.”
“Oke...maaf.”
Jehan benarkan posisi duduknya. Sedikit condong menghadap pada Belia yang ada di sebelah kirinya. Belia pun melakukan hal yang sama agar lebih mudah untuk keduanya saling menatap.
Belia sudah sempat menceritakan permasalahannya ini pada Kak Jejel—meski dia harus kehilangan satu minggu jatah uang sakunya sebagai upah tutup mulut Jejel agar tak sampai telinga Harsa. Jika suatu hari Belia ada waktu untuk bicara empat mata dengan Jehan, maka tatap tepat di matanya. Begitu saran Jejel.
“Mata yang jujur emang kayak gimana?”
“Ih, pokoknya nanti lo bisa ngerasain kok Bel mana yang main-main dan mana yang betulan.”
“Ya tapi kayak gimana?”
Belia tidak tahu seperti apa sorot mata yang tak berbohong. Yang ia tahu saat ini punggungnya mendadak panas dingin. Perutnya penuh dan ia mual. Sungguh sepertinya Belia siap melebur menjadi debu dan menari di udara oleh tatapan Jehan.
“Am I moving too fast?” Satu tanya mengudara dari Jehan. Belia mengedikkan bahu sebagai jawaban.
Tidak tahu. Belia tidak tahu apakah semua yang terjadi antara ia dan Jehan ini termasuk cepat. Berkenalan, tukar pesan, pulang bersama dan mengobrol ringan di depan indoapril sembari minum teh boks dan buah pisang.
Apakah hal-hal itu bisa menumbuhkan benih semudah itu
Semua memang baru terjadi sekali. Tapi begitu melekat di ingatan. Dan masing-masing berharap hal itu bisa terulang lagi.
“Gue boleh nanya, Kak?”
Demi apapun kuriositas Belia sudah tumpah ruah di atmosfer. Ia hanya ingin jawaban pasti agar ia pun bisa memberi konklusi.
“Lo suka sama gue, Kak?”
“Iya.” Tanpa ragu, tanpa jeda Jehan menjawab.
Belia mengangguk. Paling tidak ia tahu perasaannya bukan sepihak. Paling tidak dua telapak tangan itu saling menepuk. Meskipun—
“Gue juga suka sama lo, Kak. Tapi gue gak mau pacaran sama anak kelas tiga.”
—Belia dan idealisme bodohnya. Masih bersemayam damai di jiwanya.
“Kenapa?”
“Nanti gue diputusin waktu mau Ujian.”
Jawaban yang terdengar konyol itu serta merta membuat Jehan tertawa. Belia juga ikut tertawa karena—remaja jatuh cinta memang begitu ya—tawa Jehan terdengar menyenangkan.
“Kenapa lo bisa berpikiran begitu?”
“Kakak gue dulu juga pacaran sama anak kelas 3 dan diputusin karena dia mau fokus ujian.”
Lagi-lagi Jehan tertawa. “Menurut lo sendiri, apa gue tipikal orang yang bakalan mutusin pacarnya karena ujian?”
Belia hendak menggeleng. Namun urung dan memilih mengedikkan bahu untuk yang ke 271204 kali sore ini.
“One last question then. Gue pikir awalnya lo bolehin gue maju karena lo juga suka sama gue. Tapi keadaannya gue udah di kelas 3 dan lo gak mau pacaran sama anak kelas 3. Jadi, gue boleh maju atau gue harus mundur?”
Belia menghela napas. Ia bisa merasakan basah di telapak tangannya oleh perasaan gugup.
“Maju...kayaknya?”
“Kayaknya?”
Demi Tuhan pertanyaan ini jauh lebih sulit dari mengerjakan ulangan harian matematika. Jika disuruh memilih, Belia akan pilih menjawab 10 lembar soal matematika saja ketimbang harus menjawab pertanyaan ini.
“M—”
“Ayo gue antar pulang. Udah sore.”
Jika malam minggu awal bulan lalu Jehan mengantar Belia sampai depan rumah tanpa mematikan mesin motor, berbeda dengan sore ini. Ia mematikan mesin motor. Turun dari motor dan membantu Belia melepas helmnya.
“Lo jangan merasa terbebani sama pertanyaan terakhir gue tadi, Bel,” ujar Jehan sembari menyimpan helm yang dipakai Belia ke bagasi jok.
Belia menggeleng. “Gak. Malah gue yang kesannya plin-plan ya gak sih?”
“Gak juga. Lo cuma belum menemukan kecenderungan yakin lo kemana aja.”
“Iya mungkin gitu.” Belia mengangguk-angguk.
“Tapi lo bakalan membatasi gue buat deket sama lo gak, Bel?”
“Maksudnya?”
“Kalau lo gue ajak jalan, gue chat, atau gue antar pulang gini. Lo keberatan?”
Belia menggelang cepat. “Gak sama sekali. Gue oke-oke aja, Kak. Yang penting gak ganggu waktu bel—”
“BELIN?!”
“LAH ADEK GUE!?”
—well, Belin today is not the day.
—tbc—