A WALK

Sore itu aku dapat mendengar dengan jelas suara debur ombak. Suara angin. Suara samar orang-orang bercengkrama di jauh sana.

Tidak ada suaramu. Karena kamu tidak di sini.

Sepanjang mata memandang adalah samudera lepas. Membawaku pada secuil memori saat kamu membawaku dalam sebuah perjalanan bahtera. Menikmati sore dari geladak. Kau peluk aku erat seperti tak ada lagi hari esok.

Iya, hari esok untuk kita tak ada lagi. Karena kamu tidak di sini.

Kaki telanjangku basah oleh air laut. Sementara sang surya telah sempurna tinggalkan peradaban, langit beranjak gelap. Lampu-lampu di pesisir mulai dinyalakan. Di kejauhan laut, lampu dari perahu-perahu nelayan pun mulai menjadi penerangan untuk perburuan malam ini.

Sabit menggantung indah berteman gemerlap bintang. Pikiranku kalut. Kembali menghadirkanmu di benak. Hari ini, aku merindukanmu lagi.

Malam-malam saat aku berjalan sendiri merindukanmu, kamu seperti datang temani berjalan di sisi. Meski saat kutoleh, kau hilang bak sebuah gambar ilusi di air.

Sedih. Saat aku menyadari bahwa hangat tanganmu tak akan pernah bisa kugenggam lagi. Sedih. Bahwa aku hanya bisa merindu tanpa pernah bisa bertemu apalagi memeluk.

Tatapan mata terakhir masih terpatri di angan. Kamu seakan tahu bahwa setelah itu, aku tidak akan pernah lagi menjadi objek kedua obsidianmu.

Aku merindukanmu. Di penghujung hari temani aku menyusuri jalan pulang. Memelukku erat ucapkan perpisahan di bawah temaram lampu jalan.

Aku merindukanmu. Di sela padatnya hari kirimkan gurau dari pesan singkat yang menyenangkan. Menarik kedua sudut bibir lukiskan senyuman.

Aku merindukanmu, meski kini yang mampu kuupayakan hanya dengan berjalan agar kau tak benar-benar hilang dari kenangan.

Aku mencintaimu, kendati mulai beradaptasi dengan sunyi senyap malam dalam kesendirian.

Aku mencintaimu, meski jarak kita bukan lagi tentang lamanya perjalanan.

Aku mencintaimu, tak terbatas masa.


“Yeji.”

“Iya, Seungmin.”

“Berapa lama waktu yang dihabiskan misalkan aku jemput kamu dengan mobil dan antar kamu sampai rumah?”

Jari telunjuk Yeji daratkan di dagu. Salah satu ciri khasnya ketika berpikir. Diiringi suara helaan napas.

“Mungkin 20 menit? Atau 30?” terka Yeji yang sungguh demi apapun tak pernah memikirkan hal itu.

Seungmin semakin mengeratkan genggaman. “Lebih efisien ya sebenarnya. Tapi aku lebih suka seperti ini.”

Yeji menoleh. “Kenapa memangnya?”

“Menunggu bis di halte, perjalanan dalam bis, lalu berjalan lagi kita sampai ke rumah Yeji. Lama. Aku lebih punya banyak waktu bersama Yeji. Dan lebih banyak kenangan yang akan tersimpan di memori tentang Yeji.”


18/09/2021