as always

tags : harsh words

Seperti biasa.

Chaesa masih disambut hangat di rumah keluarga Abin. Ia sudah seperti anak perempuan kedua—setelah Mbak Cantika—di keluarga ini. Keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Yang Chaesa sempat kira bahwa ia akan menjadi bagian darinya.

Seperti biasa.

Chaesa selalu disuguhkan kudapan kesukaannya. Laiknya putri sendiri yang baru pulang merantau. Padahal masih satu kota meski berlawanan barat dan timur.

Semua masih sama. Masih seperti biasa. Yang berubah hanya perasaannya.

Baru Chaesa sadari sebentar lagi ia akan melepas kawan baiknya ke jenjang baru kehidupan. Sebuah ayat bahwa ia sendiri pun harus merelakan. Berhenti menyirami bibit yang dari awal memang tidak seharusnya ia beri pupuk. Oleh karena tinggi hatinya—dan rasa takutnya—sesal tak dapat dielak.

Abin pernah jujur tentang perasaannya. Tentang si merah muda yang tumbuh di antaranya dan Chaesa. Tentang rasa yang tak semestinya dibiarkan mengakar jika sedari awal mereka hanya ingin menjadi teman platonik.

Chaesa dengan tegas menolak romansa. Ia sudah terlalu nyaman menjadi teman Abin dan akan selalu begitu—ia kira. Tidak sampai akhirnya Abin bertemu dengan tambatan hati yang dalam hitungan hari akan resmi ia ikat dalam ikrar suci.

Aneh.

Mendengar Abin bercerita tentang gadis lain sangat asing di telinganya. Gelenyar perasaan kurang mengenakkan menyesakkan dada. Satu hal disadari Chaesa bahwa Abin tidak pernah suka remedial. Final, Chaesa telah menerima karma untuk penolakannya pada laki-laki sebaik Abin.

”Tante kira Chaesa yang bakalan dinikahin Abin,” ujar Mami Abin tadi saat Membantu Chaesa mencoba baju seragam keluarga Abin untuk acara akad.

Chaesa terkekeh. ”Kenapa gitu, Tante?”

”Ya kalian deket banget. Gak putus hubungan dari kecil. Tapi memang kadang begitu ya. Sudah jadi teman dari kecil belum tentu mau menua bersama.”

”Bisa jadi gitu sih, Tante. Toh Mbak Aruni kayaknya lebih jago buat jadi teman hidup Abin.”

Mami Abin mengangguk. ”Tante akui Aruni sama Abin emang udah saling melengkapi.”

Satu panggilan telpon menginterupsi Chaesa yang tengah mengemudi. Untung bertepatan di persimpangan lampu lalu lintas dan saat lampu menyala merah. Nama Abin tertera di layar.

”Kenapa lo udah pulang?” Tanpa salam pembuka Abin langsung melempar tanya.

“Kenapa gue harus lama-lama di rumah orang?” jawab Chaesa balik dengan pertanyaan.

“Chaesa, kirain masih lama di sini. Aku tadi bikin red velvet dulu buat kamu.”

Tentu saja itu bukan Abin. Abin tidak pernah bersahabat dengan dapur. Itu Aruni. Perempuan yang dicintai Abin selain Mami dan Mbak Cantika.

Chaesa tahu—bahkan hafal cerita hubungan Abin dan Aruni. Abin juga tak ragu mengenalkan Aruni pada Chaesa hingga kedua perempuan itu menjadi sangat dekat.

Sebesar apapun inginnya Chaesa untuk bersanding dengan Abin, tak dapat ia pungkiri bahwa Aruni memang yang terbaik untuk Abin. Sudah paling tepat. Seperti kata Mami Abin tadi. Saling melengkapi. Kalau Abin api, maka Aruni adalah airnya. Tidak, Aruni tidak selemah lembut itu. Tetapi Aruni adalah pribadi yang cepat beradaptasi dan bisa memposisikan diri dengan baik dalam situasi apapun.

Sementara Chaesa adalah kutub berlawanan dari Aruni. Ia terlalu mirip Abin dalam banyak hal sehingga ia yakin tidak akan bisa mengimbangi Abin sebagai partner of life.

Terlalu banyak jika harus diuraikan deretan kelebihan Aruni dibandingkan Chaesa. Termasuk bagaimana perempuan itu menghargai setiap orang yang dikenalnya. Pula perhatian seperti yang baru saja dirasakan Chaesa.

Bagaimana bisa Chaesa membenci Aruni? Tidak. Tidak akan pernah bisa. Dan itu cukup membuatnya kesal.

“Kenapa gak bilang dulu, Mbak?” Aruni memang lebih tua beberapa bulan dari Chaesa dan Abin. Itulah Mengapa Chaesa memanggilnya dengan embel-embel “Mbak” sebagai tanda kehormatan.

”Abin juga dadakan banget bilangnya kalau kamu mau ke rumah Mami. Gimana ya? Oh nanti aku antar aja ya ke rumah kamu?”

”Gak mau nganter rumah Chaesa jauh.” Samar-samar dapat Chaesa dengar suara Abin menyahut.

”Aku gak minta dianterin. Aku bisa pergi sendiri.”

Perdebatan kecil di seberang sana serta merta membuat Chaesa ikut tertawa.

“Aku gak langsung pulang ke rumah ini, Mbak. Aku masih ke studio. Persiapan buat pameran bulan depan belum selesai.”

”Oh gitu. Ya udah nanti aku ke sana ya, Chaesa. Aku matiin ya ini kamu lagi di jalan kayaknya. Hati-hati.”

“Iya, Mbak.”


“Kenapa lo yang kemari?”

Kegiatan Chaesa mencampur warna di atas palet terhenti oleh kehadiran Abin yang sudah berdiri di ambang pintu. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Satu kotak yang Chaesa duga berisi red velvet bikinan Aruni Abin letakkan di atas meja—yang sangat berantakan oleh kertas-kertas sketsa gambaran Chaesa.

“Gak seneng?”

“Gak. Pulang sana.”

“Galak. Pantes jomblo.”

“Ngomong lagi sini gue lukis muka lo jadi squidward.”

Abin hanya terkekeh. Malah menarik kursi dan duduk pangku kaki di hadapan meja. Mengambil satu dari sekian banyak kertas yang berserakan. Memuji dalam hati gambaran Chaesa yang memang bagus sejak dulu.

Entah mengapa Chaesa merasa gugup sekarang. Dengan pisau palet ia masih mencampur warna. Tatapan kosong pada kanvas. Berantakan.

“Kaget!” seru Abin ketika mendengar suara palet yang terjatuh ke lantai.

Chaesa sendiri pun terkejut.

“Pulang gih, Bin. Gue gak fokus kalau ada orang.”

Sambil mengangkat palet, Chaesa kembali mengusir Abin. Untuk saat ini, Abin ada di urutan paling atas daftar orang-yang-tidak-ingin-kutemui milik Chaesa.

“Gue pengen ngobrol sebenarnya. Udah lama kita gak ngobrol. Tapi emang kayaknya lo lagi gak bisa diganggu.”

“Kan gue udah bilang tadi di telpon. Persiapan buat pameran gue belum selesai.”

Chaesa betulan kesal sekarang. Ia pun tidak mengerti mengapa ia jadi kesal saat bertemu dengan Abin begini.

Setelah merapikan palet, Chaesa berjalan mendekati pintu. Membukanya lantas menatap Abin malas. Untuk kemudian mengulas senyum terpaksa.

“Pintu di sebelah sini, Kak. Silahkan keluar. Dan tolong sampaikan terima kasih kepada calon istrinya untuk satu kotak red velvet kesukaan saya. Terima kasih, silahkan berkunjung di lain waktu.”

Abin bergeming. Masih duduk di kursi yang sama menatap Chaesa tak mengerti.

“Gue udah lama berpikir. Dan masih gak nemu alasan kenapa lo ngehindarin gue, Sa.”

“Gue gak ngehindar dari lo, Bin.”

Dusta.

Chaesa membenarkan dalam hati. Ia memang menghindari Abin. Sejatinya, ia tidak siap menghadapi Abin. Terlebih melihat Abin bahagia dengan perempuan pilihannya masih cukup menyakitkan untuk Chaesa.

Abin menggeleng. “Waktu hari lamaran, lo bahkan balik duluan tanpa pamit ke gue.”

“Gue udah bilang kan di chat kalau gue kebelet. Gue juga udah pamit sama tante.”

“Bohong. Lo nginep di rumah Thalia malam itu.”

Chaesa menghela napas. Pintu yang semula dibukanya untuk menyilakan Abin pergi, ia tutup kembali. Masih di posisinya, Chaesa menyilangkan kedua lengan di depan dada. Ia kalah.

“Ya terus gue gak boleh buang air di rumah Thalia?”

Hening. Atmosfer di antara keduanya tak lagi mengenakkan. Abin yang dipenuhi curiga dan Chaesa yang dikuasai rasa takut Abin akan mengetahui perasaannya.

“Lo suka sama gue, Sa?

Mendengar tanya dari Abin itu membuat Chaesa terkejut.

“Kenapa malah nanya gitu?”

“Jawab aja.”

“Iya. Gue suka sama lo, Bin. Puas?”

“Sa—”

“Diem jangan potong omongan gue. Gue suka sama lo. Gue ngehindar karena lo jahat udah langkahin gue nikah duluan. Gue juga sebel gak bisa benci Mbak Aruni karena doi baik banget sama gue sampai mau-mau aja bikinin kudapan-kudapan kesukaan gue. Dan asal lo tau, Bin. Kalau gue jalan sama Mbak Aruni, gue selalu pengen ngeracunin doi pakai sianida biar habis itu lo bisa nembak gue lagi kayak dulu. Dan kita menua bersama berdua!”

Abin benar-benar tak bisa berkata-kata sekarang. Mendengar rentetan kalimat yang dituturkan Chaesa dengan lantang seakan membuatnya mendadak terkubur ke palung bumi terdalam.

Sementara Chaesa sendiri terkejut dengan keberaniannya. Namun reaksi Abin sungguh di luar dugaannya. Sahabatnya itu hanya terpaku menatapnya.

“Sa—”

“Gimana? Udah keren belum gue kalau jadi aktor?”

“Hah?”

Chaesa berjalan mendekati Abin. Lantas menepuk kencang punggung Abin dan tergelak.

“Lo gak pernah belajar dari dulu ya, Bin. Gampang banget dibegoin.”

“Sialan lo!” Ketika akhirnya Abin sadar bahwa ia baru saja ditipu oleh Chaesa, pensil yang ada di atas meja ia lempar ke arah Chaesa yang tengah membuka kotak kue red velvet bawaan Abin.

“Demi Tuhan gue udah bingung gak tahu mau jawab apa. Tai!” Abin sepertinya belum puas mengumpat sementara Chaesa tak peduli. Ia lebih memilih memotong kue dan menyantapnya.

“Lho, mau kemana?” tanya Chaesa ketika Abin bangkit dari duduk.

“Pulang lah.”

“Gimana sih lo. Udah ngerusakin fokus orang, main pulang aja.”

Gerutuan Chaesa tak pelak membuat Abin tertawa. Mendekati Chaesa dan mencuri satu potong red velvet darinya.

“Soalnya maksud kedatangan gue udah tuntas.”

Abin mengusak surai Chaesa. “Gue tunggu lo di pelaminan.”

“Lo mau nikahin gue? Jadi istri kedua?”

Selorohan Chaesa langsung saja dihadiahi satu sentilan dari Abin di keningnya.

“Mulutnya. Maksudnya gue tunggu lo naik pelaminan. Nanti gue dateng sekeluarga. Anak gue 5. Pilih catering yang enak ya.”

“Lo kata Mbak Aruni pabrik percetakan?”

Abin tertawa begitupun Chaesa. Sore itu setelah beberapa waktu kedua teman yang telah saling kenal sejak lama kembali bercengkrama dalam balutan gurauan. Meski singkat, tapi cukup membuktikan bahwa di antara keduanya akan tetap baik-baik saja.

Sampai Abin pamit ketika azan maghrib berkumandang. Tersisa Chaesa sendiri di studionya. Duduk termangu di hadapan kanvas. Air mata yang tertahan sejak beberapa saat lalu akhirnya rilis bebas. Menganak sungai di pipi.

Seperti biasa.

Chaesa berbohong lagi tentang perasaannya.

Seperti biasa.

Chaesa menangis sendiri lagi. Menangisi akhir cerita cinta sepihaknya—yang tak akan sepihak jika ia tidak menolaknya dulu.

-end-