Blender
xh jooyeon x nmixx lily
Kalau ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana Maurelly, maka kata itu adalah gila. Iya. Gadis manis yang biasa disapa Lily ini yakin ia sudah gila diombang-ambing dunia.
Jovan tak jauh beda sebetulnya. Sama gilanya. Kabur dari janji temu makan malam bersama kolega ibu yang membawa putrinya untuk dikenalkan padanya. Hanya agar si bungsu jauh-jauh dari Lily yang menurut si ibu “anak tidak jelas asal usulnya”.
“Mama pikir Lily keluar dari batu?”
Batu. Kata yang tepat menggambarkan kepala Jovan. Ia tidak peduli lagi. Karena baginya Lily lebih dari sekedar dunia. Kendati si rambut pink berkali-kali berusaha menghentikan Jovan yang ngotot bertahan.
Problematika hidup Lily sudah terlalu banyak sampai rasanya ia ingin mati saja. Tetapi Jovan selalu bisa menyelamatkannya. Memberinya ruang lapang untuk sebuah pelukan atau sepasang telinga yang siap menampung apapun cerita Lily.
A mess. A total mess.
Sama-sama berdua sadari betapa berantakannya kehidupan mereka. Lily dan papa yang tak lagi peduli ia bernapas atau tidak. Jovan dan ibu otoriter yang selalu menyiapkan “terbaik” versinya.
Jovan dapati Lily di tempat yang sudah ia duga. Di rooftop kantor maminya. Meringkuk di balik tumpukan meja-meja rusak. Ia selalu tau kemana si gadis bersembunyi ketika ia tidak baik-baik saja.
Rooftop kantor Mami Lily adalah tempat menyenangkan untuk menatap langit. Menyapa gemintang yang kerap membuat keduanya iri karena bersinar di kanvas malam.
“Mor?” Lily menoleh dengan wajahnya yang basah air mata. Hidungnya merah.
Langkah Jovan besar untuk menggapai si gadis lantas memeluknya erat. Sebelumnya, Jovan lepas jas yang ia kenakan dan disampirkan di pundak Lily yang tangannya dingin diterpa angin malam.
“Gue pengen nyerah aja lah, Jov.”
“Sama gue kalau gitu.”
Masih memeluk Jovan, Lily mencoba menatap wajah yang lebih tinggi. Jovan balas menatapnya jenaka hingga mengundang tawa Lily yang masih menangis.
“Cewe lo banyak. Kalau gue mati, jadi makin sempit pilihannya.”
“Lah kan yang gue pilih lo, Mor. Ya gue harus sama lo.”
Morel. Adalah panggilan sayang Jovan untuk Lily. Oh tentu Lily menyukai panggilan itu.
Keduanya kini menidurkan diri di rooftop. Menatap angkasa malam dengan kerlap kerlip bintang redup. Saling menautkan jemari bersisian. Jovan menggumamkan nyanyian sementara telapak kaki Lily bergerak ikuti irama.
“Mor.”
“Hmmm.”
“Kapanpun lo ngerasa pengen nyerah, lo harus hubungi gue.”
“Kenapa?”
“Lo harus ngajak gue nyerah juga. Biar kita menyerab sama hidup bareng-bareng.”
“Gak mau. Kalau lo datang, gue udah gak pengen nyerah lagi.”
Jovan terkekeh “Emang itu tujuannya.” Tangannya mengusap lembut surai Lily.
“Gue bakal selalu datang kapanpun lo ngerasa pengen nyerah.”
“Meskipun gue pengen nyerah tiap hari?”
“Meskipun lo pengen nyerah tiap hari.”
Jovan sudah berjanji dengan dirinya sendiri sejak pertama kali ia menemukan Lily yang menangis sendiri di bawah guyuran hujan. Ia akan menemani Lily. Ia akan menemani Morel-nya sampai si gadis mampu berdamai dengan masa lalu dan melanjutkan hidup bersamanya.