—buah pisang dan tawa

Harus Jehan akui—dengan berat hati—bahwa Hansel memang lebih pakar urusan percintaan. Merelakan helmnya dibawa Jehan dengan dalih si adik pasti membutuhkannya. Oh, dia benar. Jehan butuh helm tambahan untuk mengantar Belia pulang.

Festival berakhir pukul 6. Belia ditarik Hanin ke tenda performer. Sambangi manusia-manusia yang beberapa saat lalu tampil di penghujung acara. Hanin berbincang santai dengan anggota D'Ordie. Sementara Belia berdiri canggung meski tak butuh waktu lama oleh Glenn—si pemimpin grup—yang lebih dulu mencairkan suasana. Membuat si gadis lebih nyaman.

“Bel, lo nanti balik sama Jehan kan?” tanya Hanin sehingga Belia mengerutkan kening.

“Ga—”

“Iya. Nanti gue anter pulang.” Belum sempat Belia menjawab, Jehan yang berdiri di memunggunginya—sibuk membereskan perlengkapannya—lebih dulu menyahut. “Sekomplek sama Hanin kan?” tanya Jehan untuk Belia dijawabnya dengan anggukan.

Inisiasi itu berujung pada keduanya yang kini berdiri bingung di hadapan motor Jehan. Tidak ada yang salah dengan motor Jehan. Masalahnya ada pada gitar yang dibawa Jehan.

Menurut Belia, ketika seseorang menggendong tas gitar itu sangat keren. Seperti pacar Kak Jejel—Kakak Perempuannya—yang kerap kali menggendong gitar di punggung saat main ke rumah.

“Siniin Kak gitarnya. Gue yang bawa.”

Jehan menggeleng berarti penolakan. “Ini berat banget, Bel.”

“Daripada ribet di tengah. Kan kita juga naik motor bukan jalan kaki.”

Tak dapat dipungkiri Jehan ragu. Namun si gadis lebih cepat merebut paksa gitar itu dari tangannya.

Dan hampir menjatuhkannya.

“Kan gue udah bilang berat.”

“Gak apa-apa, Kak. Gue biasa ngangkat galon kok.”

“Kan ngangkat. Bukan digendong di punggung begini galonnya.”

Pada akhirnya gitar itu tetap bertengger di punggung Belia. Tak lupa Jehan pasangkan helm untuk Belia yang kesulitan karena beban di punggungnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 7 ketika keduanya berhasil meninggalkan area festival untuk pulang. Bagi Belia, ini pengalaman pertamanya pulang lewat pukul 6 bersama orang lain—selain Abang Harsa dan Kak Jejel. Ada secuil perasaan asing membersamai perjalanan pulang petang itu. Tetapi Belia tetaplah Belia. Gadis muda dengan segunung kejujuran yang enggan untuk ia sembunyikan.

“Kak!” Belia coba panggil Jehan yang fokus ke depan tanpa suara. Karena tak ada sahutan, Belia memanggil sekali lagi sembari menepuk pundaknya.

“Hmmm? Apa Bel? Lo manggil gue?” sahut Jehan.

“Lo keren waktu main gitar.”

“Lo pengen makan pisang?”

“LO KEREN WAKTU MAIN GITAR!!”

“Oke.”

Kendati respon itu cukup singkat, tapi mampu membuat Belia merasa lega. Pujian itu telah tertahan sejak ia menyambangi tenda performer tadi bersama Hanin.

Sampai akhirnya motor Jehan berbelok menepi ke arah indoapril 24 jam tak jauh dari area perumahan tempat Belia tinggal. Ketika mesin motor telah benar-benar mati, tidak ada satu dari keduanya yang turun.

“Jadi mau beli pisang?” tanya Jehan yang membuat Belia mengerutkan kening. Lantas si gadis turun dari boncengan dan membetulkan tali tas gitar di pundaknya.

“Siapa mau beli pisang?”

“Lo tadi bilang mau beli pisang kan?”

“Hah?”

Demi Tuhan Belia bingung. Seingatnya, ia tidak pernah mengatakan ingin makan pisang—well. Kini Belia paham. Lantas terbahak sembari memegang perutnya.

“Kok lo malah ketawa, Bel?”

Belia melambaikan telapak tangan kanannya ke kiri dan ke kanan. “Bentar, Kak. Ini lucu banget.”

Perlahan Belia menenangkan diri. Menarik napas dalam, lalu dihembuskan. Sementara Jehan masih terpaku bingung.

“Gue tuh tadi bilang lo keren waktu main gitar. Bukan gue pengen makan pisang.”

Butuh 2 detik sampai Jehan ikut tertawa. Telinganya merah menahan malu. Sementara Belia lagi-lagi ikut tertawa.

“Ya udah lah, Kak. Udah terlanjur berhenti juga. Beli minum kali ya?”

“Gue aja yang beli.”

“Gak. Gue aja. Lo udah beliin gue tiket festivalnya. Sekarang biar gue bales biarpun gak setara.”

Dengan begitu, Belia melepas sebentar beban gitar di punggungnya. Lantas berjalan terburu ke dalam toko. Meninggalkan sebentar Jehan yang sedang memproses arti degupan jantungnya yang tak menentu saat Belia tertawa tadi.

-tbc-