D.
casts: skz changbin as Andra f9 jisun as Jia
tags // family issue , mention of death , suicide trial
.
.
.
Keduanya berbaju putih tanpa disengaja.
Sama seperti tahun lalu. Sama pula seperti 18 bulan lalu. Putih seakan simbol awalan untuk keduanya. Kendati putih hari ini mesti menyisakan perasaan tak keruan di dada.
Sekalipun memang sudah menjadi puncak ingin, tak pernah ada yang benar-benar siap tuk ucap perpisahan. Tapi keduanya sudah mufakat. Keterpaksaan selama 2 tahun ini, tidak akan pernah bisa menjadi baik-baik saja.
Jia bukan polos apalagi naif. Ia hanya benar-benar bodoh. Sudah seharusnya ia menjauh sedari awal alih-alih meneruskan rasa. Lantas jatuh cinta pada orang yang salah di waktu yang juga salah.
“Kamu bisa ajuin banding, Ji.”
Jia menggeleng mantap. Ini ketiga kalinya Andra membisikkan kalimat yang sama. Keputusannya sudah bulat.
Ia akan melepas Nayla.
Bukan karena tak sayang. Lebih pada rasa bersalahnya untuk peri kecil itu yang tak bisa ia maafkan. Jia kesulitan berdamai dengan dirinya. Jia masih belum bisa menerima apa yang ia lalui 2 tahun belakangan ini.
Jia menyerah. Jia tidak bisa lagi berpura-pura. Jia tidak bisa lagi terlihat baik-baik saja ketika kenyataannya ia sendiri yang berusaha bertahan. Ia sendiri yang berjuang. Ia sendiri yang mencinta. 2 tahun, Andra hanya sebatas raga yang hidup bersamanya dalam satu naungan atap.
Jia putuskan berhenti. Jia telan pahit kata egois yang sudah barang tentu akan melekat di dirinya oleh karena melepas tanggung jawabnya untuk Nayla. Ya, biarkan tetap begitu karena apa yang terjadi antara dia Andra dan Nayla hanya mereka yang tahu.
Ketika palu diketuk hakim, Jia tahu pasti inilah awal kehidupan barunya. Ia akan menulis lagi meski harus dengan darah dan airmata . Jia hanya ingin ia memafkan dirinya. Jia hanya ingin ia menerima dirinya kembali.
Hari itu Jia telah berikrar. Melepas Andra yang tak pernah benar-benar menerimanya, yang tidak pernah punya ruang di hati untuknya. Memisah dari Nayla, si peri kecil suci yang tak tahu mengapa hari itu tangisnya memilukan setelah Jia mencium keningnya untuk yang terakhir kali.
Selamat pagi, Jia. sdg sibuk packing y? mami boleh ketemu?
Pesan singkat yang Jia terima pagi itu membawanya duduk di salah satu restoran langganan mami—ibunya Andra. Duduk berhadapan dengan Mami yang hari itu—menurut Jia—tidak seceria hari-hari biasanya. Mami juga memesan ini itu yang Jia sadari adalah deretan makanan kesukaannya.
“Kan 2 hari lagi Jia berangkat. Ini makan dulu yang banyak. Di Paris susah kayaknya nyari makanan lokal ya, Nak.”
Jia mengangguk. “Terima kashi, Mami. Mami juga makan teratur ya. Jangan biarin perutnya kosong.”
Selama menanti hidangan, obrolan terus mengalir antara Jia dan Mami. Seputar persiapan Jia yang akan menempuh pendidikan di Paris untuk mengejar mimpi yang sempat tertunda. Satu dari sekian alasan Jia masih ingin melanjutkan kehidupannya yang sempat ternoktah. Sementara Mami berbagi cerita kesehariannya bersama teman-teman arisannya dan koleksi tanaman di halaman belakang rumah yang makin beragam.
“Jia ingat waktu mengandung Nayla, Mami selalu bawain tanaman kan tiap dateng ke rumah kalian?”
Jia mengangguk. “Ingat banget, Mi. Tapi Jia gak setelaten Mami ngerawat tanaman gitu.”
“Gak apa-apa, Nak. Tanaman itu hanya alat Mami supaya Jia tetap kuat.”
“Maksud Mami?”
“Mami tahu soal yang di rooftop kantor Andra.”
Jia terpekur. Di benaknya kini terputar tragedi rooftop di tengah sang yang terik itu. Belum lama sejak Nayla telah benar-benar hidup di rahimnya. Hanya beberapa hari sejak ia pertama kali menangis oleh suara detak jantung Nayla.
“Jia berhenti!” Secepat yang ia mampu, Andra berlari menghampiri Jia sebelum perempuan itu benar-benar nekat naik ke tepian gedung 15 lantai itu. “Kenapa aku harus berhenti?” “Bahaya.” Andra ulurkan tangan. Berharap Jia menyambut. Tetapi si puan tetap berpaling dan terus berjalan ke tepian. Beruntung Andra lebih cepat menarik Jia hingga membuatnya jatuh terduduk dan menangis. “Bahaya? Kamu takut aku mati atau anak ini yang mati? Kenapa kamu gak bunuh aku aja, Andra?” Susah payah Jia bangkit berdiri. Melepas kuasa Andra dan kembali berjalan mendekat tepian gedung. Andra secepat yang ia mampu meraih tangan Jia dan membawanya dalam dekapan. “Jia please jangan. Aku salah. Tolong beri aku waktu, Ji.” Pada akhirnya Jia kembali tersungkur. Lekas Andra mendekat dan memeluknya erat. “Maafin aku, Jia. Please, kasih aku kesempatan. I will try. I'll try to avoid her.” Jia menangis di pelukan Andra. Membasahi kemeja kerja si lelaki di pundak. Kalimat yang diucapkan Andra terasa kosong. Jia menggeleng. “You'll never forget her, Andra. You'll always love Clara.” “No, Jia. Give me another chance. I'll love. I'll try to love you, Jia.”
Satu tahun adalah waktu yang diberi Jia. Sampai lelahnya telah berada di titik terendah. Sampai semua waktu itu ternyata habis dan berakhir pada lembaran berkas ikrar perpisahan.
Malam-malam terasa seperti neraka. Rumah yang menjanjikan kenyamanan dan ketentraman untuk penghuninya, seakan tempat singgah yang pada akhirnya ditinggalkan.
“Maafin Jia, Mi.” Jia menunduk.
Bagaimana bisa ia terima tawaran banding Andra atas hak asuh Nayla ketika ia sendiri hampir membunuh 2 nyawa. Rasa sakitnya oleh Andra terlalu bersarang. Ia tidak tahu hal buruk apa yang bisa ia lakukan pada Nayla sementara peri kecil itu selalu mengingatkannya pada Andra
Mami menggeleng. “Maafin Mami juga yang diam-diam mengusik rumah tangga kalian. Andra anak Mami, Jia. Maka Mami jelas tahu ada hal-hal yang tidak baik terjadi antara kalian.”
“Mami sayang sekali dengan Jia. Makanya Mami sering datangi rumah kalian temui Jia. Kasih Jia tanaman buat hiburan. Supaya Jia tidak terus-terusan merasa bersalah. Supaya Jia sadar kalau Mami juga peduli dan sayang pada Jia.”
Sejak keluar dari ruang sidang, Jia berusaha untuk tidak menangis. Bahkan ketika ia mencium Nayla dan mendengar tangis pilu peri kecil itu pun ia tetap menahan desakan air mata di pelupuk.
Tetapi hari ini di hadapan Mami, Jia menunjukkan sisi paling rapuh yang ia punya. Gejolak rasa sakit yang selama ini tertahan di batin, ia luruhkan saat itu juga. Jia hanya bisa menunduk tanpa berani menatap Mami.
Kata orang, cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Kata orang cinta itu tumbuh karena terbiasa bersama. Kata orang ya...dan kata orang-orang itu tidak pernah berlaku dalam hidup Jia.
“Jia.” Tangan Jia di atas meja diraih Mami. Diusap lembut ibu jarinya dan digenggam. “Maaf ya, Nak. Maafin Mami yang gagal ngedidik Andra.”
Jia menggeleng berulang kali. Mengusap airmata dengan tangan kiri sebelum menatap Mami.
“Mami jangan bilang gitu.”
Dengan tangan kanan, Mami usap air mata di pipi Jia. “Jia tahu? Mami sebenarnya belum ikhlas dengan perpisahan kalian. Tapi lihat air mata kamu hari ini, Mami mulai memahami seberapa banyak rasa sakit yang Jia simpan sendiri. Mencintai sendiri tidak pernah mudah. Apalagi setelah mimpi-mimpi masa depan dihancurkan oleh dia yang kamu cintai.”
Jia masih sesenggukan. Teringat kembali deretan pencapaian yang ingin ia raih. Segudang mimpi yang selalu ia tuangkan di halaman pertama buku hariannya.
Dan ia ingat betul. Setelah mengirim pesan 2 garis biru pada Andra, buku harian itu ia bakar.
“Jia tolong tetap bertahan ya, Nak. Tolong tetap berusaha yang terbaik untuk mimpi kamu. Belajar dengan tekun. Mami janji akan jaga Nayla dengan baik.”
Selain pertemuan dengan Mami, Jia juga menerima surat dari Papi yang beliau titipkan pada Mami. Sebuah pesan panjang yang membuatnya lebih lapang atas keputusan yang dipilihnya.
Untuk Jia. anak mantu Papi yang hanya sebentar ada di keluarga ini. Papi teringat ketika pertama bertemu Jia di rumah. Saat Andra datang bawa kabar yang jujur Papi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Papi hanya diam hari itu jika Jia ingat. Memikirkan reaksi seperti apa yang akan keluarga Papi terima ketika kami harus membawa kalian berdua bertemua keluarga Jia.
Keadaan sulit ini, tidak semua keluarga bisa menerima. Terlebih keluarga perempuan yang paling sering dirugikan dan “disalahkan”. Satu malam Papi tidak bisa tidur. Papi terlalu malu jika harus berhadapan dengan Ayah Ibu Jia. Tetapi melihat Mami yang begitu mendamba, esok paginya Papi ajak Mami temuI langsung Ayah Ibu Jia. Kumpulkan berani seadanya. Bahkan jika Papi harus sujud pun Papi lakukan.
Papi juga ingin Andra bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan. Sengaja ataupun tidak. Hingga Nayla lahir, Papi tidak pernah sesali keputusan Papi hari itu menemui keluarga Jia. Bungah rasanya dalam keluarga Papi bertambah 2 bidadari—Jia dan Nayla.
Tetapi saat surat itu datang, Papi kembali merenungkan keputusan Papi dulu. Rupanya keegoisan kami mempertahankan Jia dan Nayla berujung lara untuk Jia dan mungkin Andra. Ketika Jia menyerah untuk Nayla, Papi seperti ditampar oleh kenyataan bahwa Jia sudah terlalu lama sakit sendiri.
Maaf, Nak. Papi belum bisa memberikan yang terbaik untuk Jia selama nyaris 3 tahun ini. Tetapi terima kasih karena Jia masih tetap bertahan. Melepas Nayla bukan hal mudah untuk Jia. Papi juga akan bahagiakan Nayla. Jia pun juga. Kejarlah bahagia Jia. Temukan penawar lara-lara itu. Papi mungkin menyesal tak pernah pedulikan perasaan Jia. Tetapi Papi tidak pernah menyesal Jia menjadi mantu Papi.
Terima kasih, Nak. Bahagialah. Doa Papi selalu membersamai langkahmu.
jia dmna? angkat telpon
Jia sudah duduk di ruang tunggu. Menanti pesawat yang akan membawanya menjauh. Tetapi ponselnya terus bergetar sejak tadi. Ini pukul 5 pagi di hari sabtu dan Andra terus berusaha menghubunginya.
“Jia ini udah pagi. Kenapa belum pulang? Kamu dimana? Biar aku jemput sama Nayla. Anaknya nangis terus ini, agak demam juga.”
Tanpa salam pembuka, Andra langsung membombardirnya dengan tanya dan informasi krusial. Nayla sakit, tapi Andra malah mencarinya.
“Aku udah di ruang tunggu.”
“Ruang tunggu mana? RS? Aku ke sana sama Nayla.”
“Bandara. Hari ini aku berangkat, Andra.”
“Berangkat kemana? Kenapa gak bilang aku?”
“Aku udah bukan istri kamu, Andra. Kalau kamu betulan lupa, sidang kita baru selesai 5 hari lalu.”
Hanya keheningan setelah itu antara Andra dan Jia. Sepertinya Andra memang betulan lupa. Samar-samar Jia bisa mendengar suara tangisan Nayla. Demi apapun, Jia rindu. Tangis itu membuat dadanya sesak.
“Maaf. Kalau gitu hati-ha—”
“Bawa ke dokter Sarah. Telpon dulu. Nomernya ada di laci rak TV. Bilang aja Papanya Nayla. Jam segini dokter Sarah udah bangun subuhan. Rumahnya di blok G.”
“Oke. Thanks Ji.”
“Iya. Tolong jaga Nayla ya, Andra.”
“Iya.”
Waktu terus berlalu. Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun. Jia telah melalui pasang surut di perantauan. Tekadnya sudah bulat dan ia akan sangat kecewa jika semua pengorbanan yang ia tinggalkan tidak lantas membuatnya menjadi lebih baik.
Satu per satu mimpi yang pernah ia angankan terwujud. Semua memang tidak mudah. Apalagi ia hanya sendiri di benua biru ini. Kendati pesan-pesan pendukung tak pernah absen ia terima dari keluarga dan teman-temannya. Pun pesan terakhir dari Mami dan Papi yang masih menjadi motivasi tertingginya.
Nyaris satu dekade waktu yang Jia habiskan untuk dirinya. Mengobati jiwa, berdamai dengan masa lalu yang masih ia sesali. Di waktu-waktu tertentu, Jia masih menangis. Rindu sembari mengelus perut ratanya. Ruang dimana pernah ada nyawa yang hidup di dalamnya.
9 bulan yang penuh tekanan. 9 bulan menyedihkan. Nayla. Peri kecil itu pasti sudah tumbuh cantik. Di usianya yang menginjak angka 11 dalam hitungan hari, Jia kadang menyesali tak sempat menyaksikannya tumbuh. Tak sempat mendengar si cantik memanggilnya “Mama” lebih lama. Tetapi dia sudah memilih dan ini adalah konsekuensi atas pilihannya.
9 tahun dan baru hari ini Jia beranikan diri mengetik nama itu di laman email baru. Satu helaan napas, beriring jemarinya dengan lihai menyusun kata.
From: mentarijia@fmail.com to: andra0811@smail.com subject: Something hard to Say
Hi, Andra. Ini Jia, Apparently I lost ur number so here I'm coming thru ur inbox. Hope you'll open it soon. How you've been doing? 9 tahun berlalu gitu aja. Semoga kamu tetap baik dan sehat. Aku sedang teringat h-3 sidang kamu tiba-tiba jemput aku dan Nayla di rumah ibu. Aku benar-benar gatau apa rencana kamu sore itu. Tapi ternyata kamu behenti di playground. Kamu bilang ingin lihat Nayla membaur dengan anak-anak lain padahal dia belum lancar jalan. Lucu. Hari itu juga pertama kalinya aku mendengar pengakuan cinta dari kamu setelah 2 tahun kita bersama.
“Mau ngapain?” tanya Jia ketika mendapati Andra sudah berdiri di teras rumah orangtuanya. Lelaki itu juga sudah membawa Nayla kecil dalam rengkuhnya.
“Ayo keluar bentar. Di taman deket sini aja.”
Jia tidak tahu apa maksud Andra mengajaknya keluar tiba-tiba. Di rumah hanya ada adiknya yang sedang mengerjakan tugas. Segera Jia mengambil cardigan untuk melapisi kaos yang ia kenakan dan sepatu untuk Nayla. Lantas menyusul Andra yang tengah asyik bergurau dengan Nayla.
Berjalan bersisian. Entah sudah berapa lama tak lagi dilakukan Andra dan Jia. Atau memang hal itu sangat jarang dilakukan keduanya. Jia tak lagi ingat. Tidak ada hal baik yang bisa ia ingat tentang Andra dan hubungan mereka.
Di taman, Andra melepas Nayla bermain. Ada banyak anak-anak seusianya. Nayla tampak riang bertemu orang baru. Apalagi ia kini sudah bisa berjalan sendiri—bahkan berlari kecil. Nayla termasuk bayi yang lebih cepat bisa berjalan. Sementara ia dan Jia duduk berdampingan tanpa lepas pengawasan pada Nayla.
“Kamu udah makan, Ji?”
“Kamu mau ngomong apa?”
Tanya itu terlontar bersamaan dari keduanya. Mengundang perhatian satu sama lain untuk kemudian tertawa kecil.
“Aku udah makan. Sekalian sama Nayla tadi,” jawab Jia. “Kamu ngapain ke sini jam segini? Kan belum jam pulang kantor.” Lanjut Jia bertanya. Teringat bahwa ini belum ada pukul 5 dan Andra sudah sampai di rumah orangtuanya.
“Aku kangen Nayla,” jawab Andra. Pandangan fokus pada si kecil yang sedang tertawa bersama seorang balita yang lebih tua darinya.
“Maaf, ya. Lusa aku antar Nayla sebelum si—”
“Aku juga kangen kamu, Jia.”
Jia terpekur. Ungkapan Andra barusan mengundang perhatiannya. Membuatnya menoleh pada lelaki di sisinya yang juga tengah menatapnya. Mencari dusta di sorotnya tapi nihil. Jia tertawa pahit.
“Ini pertama kalinya kamu bilang kangen sama aku, Andra.” Jia tersenyum getir. Menatap Andra yang tak bisa sembunyikan sorot hampa di kedua netranya.
“2 tahun dan ketika udah benar-benar di ujung jurang, aku baru sadar. Maafin aku, Jia. Ternyata aku juga udah sayang sama kamu,” aku Andra.
Lagi-lagi hari ini Jia tidak menemukan kebohongan di sorot Andra. Kesedihan lebih mendominasi. 2 tahun Jia tidak pernah berani menatap Andra. Sebab ia tahu yang dilihatnya hanya akan membuah kecewa.
Lain hari ini. Sepasang obsidian yang pernah membuatnya jatuh cinta sampai bodoh, hari ini sendu oleh tumpukan rasa yang berkecamuk. Sedih dan pilu. Jia pernah menemui sorot ini tertuju untuk perempuan yang paling membuatnya sakit. Perempuan yang memenuhi ruang hati Andra tanpa memberi celah untuk Jia tempati kendati perempuan itu tak pernah benar-benar menghampiri.
“Egois ya, Ji. Aku egois banget kalau sekarang aku minta kamu kembali. Egois banget kalau aku minta kamu buat kasih aku kesempatan lagi dan kita mulai semua dari nol. Padahal sudah tidak terhitung berapa banyak kesempatan yang kamu kasih ke aku, tapi tidak pernah aku pergunakan dengan baik.”
Getaran suara Andra berubah. Ia tidak lagi menatap Jia. Berpaling pada kedua telapak yang jemarinya ia tautkan, Menunduk menatap rerumputan hijau di pijakan. Sesekali mendongak, pada langit sore menahan riak gemuruh yang hendak berburu lepas dari mata.
Tangan Jia bergerak menarik tangan kiri Andra. Lantas menautkan jemarinya pada milik Andra. “Aku juga masih sayang kamu, Andra,” ujar Jia yang membuat Andra kembali duduk tegap.
“Tapi aku udah gak sayang sama diri aku, Andra. Sikap dan perlakuan kamu 2 tahun terakhir ini makin bikin aku mikir mungkin aku memang tidak bisa dicintai baik oleh kamu maupun Nayla. Nayla yang lebih tenang waktu sama kamu mungkin juga karena dia pernah merasa hampir mati di tangan ibunya sendiri.”
Nayla berlari kecil ke arah Jia. Tersenyum riang ketika pipi tembamnya dikecup Jia.
“Mama aya au ini.” Nayla menunjuk ikat rambut di kepala Jia lantas menggelengkan kepala kibaskan surai sebahunya.
Jia yang paham melepas karet rambut dan ia gunakan untuk mengikat rambut Nayla. Si kecil tertawa senang tahu rambutnya sedang dikucir.
“Aya cium papa juga dong.” Andra mencubit-cubit pelan pipi tembam Nayla. Selesai dikucir Jia, Nayla mendekati Andra dan mendaratkan satu kecupan di pipi kiri sang ayah.
Jia tersenyum melihat Andra dan Nayla. Dalam hitungan hari, keduanya bukan lagi menjadi pemandangan yang bisa ia saksikan sehari-hari. Keduanya hanya berupa kenangan yang menempati sebagian kecil ruang dan masa di hidupnya.
Saat langit hampir gelap, bertiga kembali ke rumah orangtua Jia. Kali ini Nayla tidak ingin digendong. Ia memilih berjalan. Menggandeng Jia dan Andra di masing-masing tangan kiri dan kanannya.
“Nayla senang main?” tanya Andra yang hanya dijawab anggukan oleh Nayla.
Saat tiba di rumah, orangtua Jia sudah kembali. Andra menyapa seadanya dan meninggalkan bingkisan sebelum undur diri pamit. Hanya Jia yang mengantar. Tidak dengan Nayla yang sudah asyik bermain dengan eyangnya.
“Ngobrol bentar di mobil ya, Ji.” Jia menurut. Ikut masuk di mobil Andra dan duduk di seat yang biasa ia tempati.
Mobil Andra menyimpan banyak kenangan. Temu pertamanya dengan Andra di tengah malam hujan deras. Pelukan pertamanya untuk Andra yang menangisi Clara. Tangis pertamanya oleh kehadiran Nayla yang tak terduga. Dan masih banyak hal lain yang terjadi di mobil ini antara dia dan Andra.
“Kamu beneran ke Eropa setelah sidang, Ji?”
“Iya.”
“I'll let you go to heal, but—”
“Gak, Andra. Gak bisa. Jangan bikin aku marah.”
“Kalau gitu bawa Nayla sama kamu, Jia. Dia lebih butuh kamu daripada aku.”
Jia menggeleng. “Aku lebih percaya Nayla sama kamu daripada sama aku, Andra. Apa aku perlu sebutin lagi berapa banyak usaha yang aku lakuin biar Nayla gak lahir?”
“Tapi kamu ibunya, Jia.”
“Kamu juga ayahnya, Andra. Kamu lebih dulu jatuh cinta sama Nayla daripada aku so please kali ini ikutin kata aku, Andra. Safest place for Nayla is you. And will always be you.” Final. Jia tidak akan pernah menarik kata-katanya.
“Kamu yakin bisa jauh dari Nayla, Ji?”
“Gak. Tapi itu konsekuensi pilihanku. Jadi, aku harus terima apapun itu.”
Helaan napas rilis dari Andra. Sore itu, usahanya membujuk Jia tidak berbuah hasil yang baik dan semua telah ia duga. Terlambat. Semua sudah terlanjur. Perpisahan sudah nyata menanti keduanya di depan mata.
“Udah gelap. Kalau gak ada lagi yang mau dibicarakan, baiknya kamu pulang. Istirahat. Lusa aku antar Nayla,” ucap Jia dingin.”
Jia sudah bersiap keluar dari mobil. Namun tangan Andra lebih cepat menahan geraknya.
“Can you give me farewel kiss and hug, Ji?”
“Sure!”
Sore itu satu lagi kenangan tercipta di mobil Andra. Kenangan terakhir sebelum sepasang itu benar-benar terpisah oleh putusan hakim dunia. Mengakhiri cerita singkat yang diawali tanpa kerelaan yang sungguh.
Aku akui batinku hampir goyah ketika kamu bilang kamu sudah jatuh cinta ke aku. Namun, logikaku lebih cepat mengingatkan. Meski tak dapat dipungkiri aku sedikit merasa senang sebab cinta bertepuk sebelah tangan itu, sempat terbalas. Kendati di ambang perpisahan. 3 hari kemudian, aku ninggalin kalian. 9 tahun, aku pupuk rindu aku ke kalian. Aku biarin tumbuh sampai aku benar-benar berani menemui kalian lagi. Itupun jika kalian masih menerima aku. Ah, aku juga rindu Mami. Mami sehat kan? Terakhir Mami bilang sebelum aku berangkat kalau beliau bakalan jaga Nayla. Dan Papi. Doa baik Papi buat aku sepertinya dikabul Tuhan. Perdamaian antara aku dan diriku sudah terlaksana. Segala salah dan keliru yang pernah aku lakukan di masa lalu, nyatanya jadi pembelajaran yang baik buat aku selama 9 tahun terakhir ini. Dan aku juga berharap kamu pun begitu. Nayla....our cinderella is going to be 11th next month. Sudah sebesar apa putriku? Pasti dia cantik kan? Setiap sebelum tidur, aku selalu selipkan doa buat kalian berdua. Terutama Nayla. Doa bahagia dan sehat untuk kalian. Kekuatan yang ekstra untuk Nayla yang harus kehilangan 1 tumpuan bahkan sebelum dia lancar bicara.' Di hari-hari awal kedatanganku di benua biru ini, tidak pernah aku tidak menangis sebelum tidur hanya karena memikirkan our cinderella. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sakit? Apakah dia makan dengan baik? Seiring waktu berlalu, semakin banyak hal kompleks yang aku pikirkan tentang Nayla. Adakah yang mendengarkannya bercerita? Apakah masa pubertas sudah menyapanya? Apa Nayla punya alergi makanan? Aku terlalu banyak bicara ya? Selain itu, aku mengirim surel ini untuk memberitahumu kalau minggu depan aku akan menikah. Aku sempat takut karena kegagalan kita. Tetapi hal yang menyadarkanku adalah kenyataan bahwa kita memang memulai pernikahan kita dengan salah. Kita masih terlalu muda dan rapuh ketika Nayla tiba-tiba hadir di antara kita. Tidak banyak pintaku selain doa dari kamu supaya kita bertiga bisa tetap bahagia untuk apapun yang kita pilih. Sama seperti doaku yang tak pernah putus untuk kamu dan Nayla. 2 atau 3 tahun lagi. Semoga kita bisa bertemu lagi. Dan saat itu tiba, semoga kita dalam keadaan terbaik dari apa yang telah kita petik pelajarannya di masa lalu. Terima kasih Andra. Tolong jaga Nayla. Terakhir, Selamat ulang tahun, Our Cinderella. p.s. tolong kecup kening Nayla sekali dari aku.
jia
Rumah besar itu kembali sepi. Malam telah menginjak pukul 11 ketika Andra diam-diam membuka pintu kamar Nayla. Memastikan putrinya sudah tertidur atau belum.
Andra melangkah mendekati tempat tidur Nayla. Duduk di tepian kasur dan mengusap lembut surainya.
“11 tahun. Kamu cepat banget besarnya, Nayla. Kayaknya baru kemaren papa bingung waktu kamu demam tapi Mama udah berangkat.”
“Kadang Papa mikir, seandainya Papa gak nyia-nyiain waktu dan kesempatan yang Mama kamu kasih, mungkin saat ini kamu tumbuh lebih baik lagi dengan kehadiran Mama sebagai tumpuan kamu yang lain. Maaf, Nay. Papa belum bisa megang dua peran ini dengan baik. Tapi papa bersyukur karena Nayla dikeilingi orang-orang yang benar-benar sayang Nayla.” Andra bermonolog sebelum akhirnya ia berdiri dan mengecupp kening Nayla.
“Terakhir ... selamat ulang tahun, Our Cinderella. Ini kecup dari Mama.”
Takut membangunkan Nayla, Andra bergegas keluar. Tanpa pernah tahu, Nayla masih terjaga dan menangisi Mama untuk pertama kalinya di balik selimut.
-end- 091121