Yang Tak Sempat

Hari ini, aku mengambil jalan ini lagi. Jalan yang pernah kita lewati. Mencari kembali jejak dari tapak kita yang mengayun langkah di ujung hari.

Paras ayumu masih melekat di ingatan. Manis saat tersenyum berkisah tentang hari baik yang kau lalui. Sementara aku diam mendengarkan dan terpana. Keterbatasan cahaya lampu jalan pun tak jadi masalah. Justru semakin membuatmu menjadi begitu indah.

Saat harimu penuh hal baik, kau bahkan tak sedetikpun hilangkan lengkungan manis itu dari wajahmu. Senyum dan tawamu bagai candu yang membuatku tergugu. Bahkan saat harimu tak berjalan baik pun kau tetap berusaha tersenyum di hadapanku. Meski sorotmu tak dapat menyimpan dusta.

“Aku baik. Hanya saja....”

“Aku sungguhan baik-baik saja. Itu bukan masalah besar. Tetapi....”

Kau akan mulai berbagi hari burukmu ketika aku melontar tanya. Pernah sekali aku sengaja tak bertanya dan kau tetap diam tersenyum dan tertawa dalam lara. Aku menyesali itu dan lekas mengubungimu setibanya di rumah.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah peduli dan menanyakanku.”

Sesekali kita duduk lebih lama di bangku taman sebelum berpisah di persimpangan oleh arah rumah kita yang berlawanan. Bersanding kita bersama menyaksikan gemintang yang berkilau di angkasa luas. Meski aku tak begitu paham konstelasinya, asalkan bersamamu, semua menakjubkan.

Di penghujung hari kala hujan, kita lebih dulu berteduh di pelataran gereja. Kemudian bertukar cerita tentang masa kecil kita. Berbagi memori dan keluguan khas anak-anak. Melepas lelahnya hari hingga tak sadar hujan telah lama pergi saking asiknya berbagi.

Hari-hari berlalu hingga aku tak lagi tahu kemana dirimu. Aku tak pernah lagi menjumpamu saat turun dari angkutan umum. Aku tak pernah lagi berpapasan denganmu di persimpangan ini saat pagi. Semua begitu tiba-tiba.

Dari kisah yang pernah kau tuturkan, bukan tak mungkin aku tidak termakan angan. Bahwa aku ingin menjadi bagian darimu yang kelak kau ceritakan pada khalayak. Aku tak menafikkan bahwa sejatinya benih-benih itu telah tertanam bersama malam-malam kita menyaksikan bintang.

Kamu kemana?

Aku masih menanti di depan rumahmu setiap malam. Berharap kau keluar tiba-tiba untuk membeli minuman di mini market, atau sekedar membuang sampah. Meski terdengar konyol buang sampah di malam hari.

Rumahmu tetap terlihat seperti biasa. Hanya kamu yang entah kemana. Tak berkabar. Bahkan setiap pesan yang kukirimkan tak terbaca.

Untukmu, bintangku. Dimanapun kamu, aku hanya berharap kau tetap ceria. Bagaimanapun adanya kamu, kukirim doa agar kau selalu bercahaya.

Aku mencintaimu. Meski kalimat ini belum sampai di rungumu.

Dari aku yang masih membumbung asa 'tuk tetap menjadi 'teman' di jalanmu pulang. Dari aku yang masih menunggu sosokmu datang dan berteduh bersamaku di pelataran gereja kala hujan menyapa dunia.

end