MASA ANAK BAND SINGLE??

Empat kata lengkap dengan capslock berujung tanda tanya itu penuhi benak Jehan; gitaris D'Ordie yang paling pendiam. Empat kata yang ditanyakan oleh adik kelas yang baru sore tadi ia ajak kenalan.

Kalau Galih tahu Jehan yang mengajak Belia berkenalan lebih dulu, bukan tak mungkin gitaris D'Ordie yang satu itu menggelar syukuran bagi-bagi sembako dan bebek helm. Bagi Galih bisa mendengar satu kata/hari dari Jehan saja sudah lumayan. Dalam arti, Jehan memang masih hidup. Bukan jadi-jadian.

Jehan juga tidak mengerti dengan dirinya. Mengapa begitu sulit memulai suatu hubungan. Mengapa begitu sulit menyapa lebih dulu, atau bertanya lebih dulu. Bersosialisasi adalah tantangan terbesar dalam 18 tahun hidup seorang Jehan. Benar-benar bertolak belakang dengan ayahnya yang punya teman dimana-mana dengan beragam latar belakang ras agama serta pekerjaan.

Tetapi entah apa yang membuatnya berani menyebutkan namanya lebih dulu pada Belia. Si gadis yang baru menginjak bangku SMA. Yang beberapa hari ini memang sedang hangat dijodoh-jodohkan dengannya.

Sebuah progress yang mengarah pada hasil positif melihat Jehan si mayat hidup D'Ordie dengan gagahnya menolong Belia si anak baru yang berani melawan panitia MOS karena menghukum teman beda kelompok yang demam. Jehan tentu saja tidak tahu cerita itu. Ia sendiri sama seperti Belia; tidak menduga bahwa menolong si gadis yang hampir terpeleset itu malah berujung berkenalan dengannya di ruang musik.

Jehan semakin tidak mengerti mengapa dengan mudahnya menawarkan tiket untuk festival yang dihadiri D'Ordie awal bulan depan. Namun jika boleh terus terang, Belia meninggalkan kesan yang cukup mempengaruhi jam tidur Jehan.

“Je, lampunya masih nyala. Lo belum tidur?” Suara ketukan beriring kalimat tanya menyadarkan Jehan yang sedari tadi melamun di meja belajarnya. Adalah suara si sulung yang memanggilnya. Hansel.

“Apa, Kak?” sahut Jehan.

“Pinjem gitar dong.”

Dengan berat hati, Jehan bangkit. Membuka pintu kamar dan mendapati sosok kakaknya berdiri di depan pintu mengulas senyum lebar khasnya.

“Malam sabtu tumben gak nongki?” tanya Hansel yang kini sudah merebahkan diri di atas kasur adiknya. Sementara Jehan mengambil gitar yang biasa dipinjam si sulung.

Jehan menggeleng. “Banyak tugas buat senin.”

“Senin masih 2 hari lagi.”

“Biar besok kalau nongki gak kepikiran.”

Jehan mengulurkan gitarnya pada Hansel lantas kembali duduk di kursi meja belajarnya. Membuka ponsel alih-alih membuka buku. Mengundang rasa penasaran dalam diri Hansel.

“Lo ada pacar, Je?”

“Gak. Ini gue ngirim tugas ke Galih.”

“Masa anak band gak ada pacar?”

Satu pertanyaan dari si sulung mencuri perhatian Jehan. Ponsel ia letakkan kembali ke meja. Fokus perhatikan si sulung yang tengah menyetel gitarnya.

“Memangnya anak band harus punya pacar?” tanya Jehan.

Hansel dan Jehan hanya terpaut usia 2 tahun. Jika sauadara biasanya sering bertengkar karena jarak usia yang cukup dekat, tapi tidak dengan keduanya. Hansel memang usil, tapi Jehan itu luar biasa penyabar dan memang tidak suka membuat keributan sejak kecil.

“Ya gak harus sih. Gak cuma anak band. Siapapun gak harus punya pacar,” jawab Hansel. “Tapi lo ngerti stigma kan? Maksud gue stigma soal anak band yang “player” dan lain-lain karena suka tepe tepe di atas panggung?”

Jehan mengangguk. “Tapi gak bisa dipukul rata lah, Kak.”

“Lo kayak gak paham masyarakat kita aja, Je,” celetuk Hansel.

Hening mengisi ruangan itu. Hansel sibul kembali menyetel gitar sedangkan pikiran Jehan mendadak penuh—oleh entah apa.

“Kak.”

“Hmmm.”

“Lo tau gue susah hadapin orang baru kan?”

“Hmmm.”

“Kalau gue bilang gue habis ngajak kenalan dan ngobrol satu paragraf sama orang itu, lo percaya?”

Hansel menatap sang adik dan mengangguk yakin. “Hmm. Percaya.”

“Kenapa?”

Satu tanya itu mampu mengubah posisi Hansel yang semula duduk sila di atas kasur menjadi ke tepian. Gitar ia letakkan begitu saja di atas kasur sementara ia duduk di pinggiran dan menatap sang adik.

“Lo adek gue, Je. Kenapa gue percaya? Sebab artinya orang yang lo ajak kenalan itu emang menarik buat lo. Dan itu yang gue lakuin waktu pertama kali kenalan sama Caeris.”

“Gue juga susah kok ketemu orang baru,” lanjut Hansel. Tapi waktu pertama kali ketemu Caeris, yang di pikiran gue cuma “gimana caranya biar dia tahu ada manusia bernama Hansel yang tertarik sama dia” gitu.”

Jehan mengerutkan kening. Masih belum bisa terima penjelasan Hansel.

“Gue gak naksir sih,” elak Jehan. Sebab ia sendiri tidak yakin.

Apa memang terbayang orang itu setiap sebelum tidur artinya kita sedang menyukainya?

“Terus kenapa lo ajak kenalan?”

“Gue cuma nyebutin nama gue doang sebenernya.”

Jawaban polos Jehan sepertinya tak memberikan kepuasan untuk Hansel. Wajahnya sangsi menatap si bungsu.

“Maksud gue, ya...karena dia nerka-nerka nama gue sambil jalan. Ya sudah gue sebut nama gue yang benar.”

“Kalau ngobrol satu pragaraf?”

Jehan menghela napas. “Okelah. Gue kalah. Gue gak ngerti juga kenapa gue penasaran sama dia dan—”

“Karena lo tertarik.” Titik. Hansel membetulkan posisi duduknya agar lebih tegap.

“Je, lo bentar lagi lulus SMA. Emang gak harus punya pacar. Tapi kalau hari itu tiba—hari dimana lo ngerasa tertarik sama seseorang, jangan dielak. Bisa aja jadi inspirasi buat lo atau paling gak ada cerita baru tentang masa SMA yang bisa lo kenang pas udah dewasa nanti.”

Jehan termangu.

Apa iya ini yang orang-orang bilang naksir?

“Boys, Ayah pulang nih bawa martabak!”

Suara dari bawah menyadarkan kedua kakak beradik itu. Saling tatap untuk kemudian berlari berebut meraih pintu kamar Jehan.

“Ayah, Jehan akhirnya punya crush!!”

“HANSEL!!”

“Kakak, Je.”

—tbc