minggu ke-5
Apa yang berubah setelah punya pacar?
Satu bulan pertama pasca aksi penembakan apa adanya di lapangan basket indoor, tidak ada satu hari pun bagi Jehan hidup tenang. Belia ternyata lebih luar biasa ajaib dari dugaannya.
Jehan tidak tahu bahwa Belia sanggup berbicara 15 menit non stop tanpa interupsi. Dan itu terjadi di kencan kedua mereka—setelah pacaran ya—saat menghabiskan waktu di toko buku.
Belia bercerita tentang bagaimana Abang tertuanya sangat menyukai buku sementara Kakak perempuannya hanya membaca buku paling banyak 3 dalam setahun. Dan ia sendiri lebih kurang sama seperti Kakaknya.
“Kak Jejel sama Abang pernah berantem gara-gara buku.”
“Ohya? Gimana tuh?”
“Jadi Abang baru pulang beli buku sama Mama. Ternyata Kakak tertarik sama bukunya. Terus dipinjam Kakak. Tapi Kakak bacanya sampai ketiduran jadi bukunya ketekuk gitu. Abang gak suka bukunya gak rapi. Mereka diam-diaman 3 hari.”
“Damainya gimana?”
“Damainya gara-gara Kakak pingsan waktu kelas olahraga. Jadi Abang yang nungguin Kakak gitu di uks terus mereka maaf-maafan.”
Dari cerita itu, Jehan jadi tahu kalau buku bukan hal yang paling disukai Belia. Ia hanya membaca jika menurutnya perlu. Atau jika Abangnya atau Papanya menyarankan dia untuk membaca satu buku rekomendasi keduanya—yang baru akan selesai dibaca beberapa bulan kemudian.
“Aku tuh dulu pernah baca buku, Kak. Tapi aku lupa judulnya. Itu tentang petualangan seorang anak yang terjebak di mesin waktu hingga mundur ke zaman romawi? Kayaknya gitu...aku gak yakin juga sih.”
Jehan mengangguk-anggup memberi tanggapan. “Berarti kamu suka baca fantasy?”
“Gak juga sih. Cuma waktu itu ceritanya seru aja.”
Ia tak pernah berjarak lebih dari 5 meter dari Jehan selama di toko buku. Jehan pun tidak merasa terganggu. Biarkan Belia bertutur apapun dan ia mendengarkannya dengan senang hati.
Sesekali Belia akan mengambil buku yang menurut dia menarik lantas membaca sinopsis di sampul belakang. Kalau ia tertarik, Jehan akan langsung dipanggilnya.
“Ini buku kayaknya bagus deh Kak.”
“Mana coba lihat?” Jehan akan ikut membaca sinopsisnya. “Mau beli?”
Belia menggeleng. “Nanti sayang gak kebaca kalau udah sampai rumah.”
Sementara jika sinopsisnya tidak seperti yang ia harapkan, si gadis akan mengerutkan kening dan menggeleng beberapa kali.
“Aneh.”
“Dih cringe.”
Sudah lama rasanya Jehan tidak mendengarkan seseorang berbicara panjang lebar dengannya. Di rumah pun Hansel hanya berbicara secukupnya. Kalaupun banyak yang dikeluarkan Hansel dari mulutnya, isinya kurang berkualitas.
Sementara Ayah...beliau banyak bicara sebetulnya. Tetapi jarang pulang. Bertugas sebagai pasukan elite di Angkatan Darat membuat Ayah lebih sering berada di luar negeri.
Ibu...
“Kak Jehan?”
“Oh, hey.”
“Udah ketemu bukunya? Aku mau pipis.”
Satu lagi dari Belia. Gadis itu apa adanya. Dia tidak pernah mencoba berubah menjadi orang lain. Dia tidak berpura-pura bertingkah manis. Ia bertindak tanduk sebagaimana dirinya. Dan semuanya sama seperti saat Jehan mendekatinya dulu.
“Sudah sih. Dibayar dulu ya.”
Jehan hanya tertawa kecil melihat Belia yang berdiri gelisah tak jauh dari pintu masuk. Tetapi masih sempat-sempatnya menyapa anak-anak kecil yang tak sengaja berserobok tatap dengannya.
Belia....
Terlalu membahagiakan.
Sementara minggu ini agendanya adalah menemani Jehan belajar. Minggu ke-5.
Sebetulnya Jehan sudah berkata pada Belia bahwa akhir pekan ini keduanya tidak akan bisa bertemu. Jehan butuh lebih banyak waktu untuk belajar karena hari senin nanti akan ada latihan ujian.
Atas inisiasi si gadis jangkung yang ingin ikut belajar bersama Jehan, di sinilah keduanya berada. Di salah satu sudut tenang coffee-shop tak jauh dari sekolah. Mengganti yang waktu itu tak sempat jadi lantaran Belia tiba-tiba menemani Mama arisan katanya. Study-date.
“Bel?”
“Hmmm.”
“Udah selesai tugasnya? Mau pulang dulu?”
Penampakan Belia yang sedari 5 menit tadi hanya memainkan bolpoin, melempar pandang ke luar jendela. Sesekali mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk ikuti ketukan dari lagu yang tengah mengudara dari speaker cafe.
Agenda belajar dengan tenang seperti ini sangat-sangat tidak cocok untuk Belia yang Jehan tahu lebih suka beraktivitas di luar ruangan. Belia selalu terlihat riang bahkan ketika mereka di toko buku yang bukan tempat favoritnya sekalipun.
Interaksi. Belia sangat suka interaksi.
Si gadis menggeleng sebelum menjawab. “Gak kok. Apa Kak Jehan terganggu ya belajarnya kalau bareng aku?”
“Gak sama sekali. Aku malah takut kamu yang bosan,” aku Jehan.
Jehan sudah menerka hal ini sebelumnya. Gadis jangkung di hadapannya pasti tidak bisa bertahan lebih dari 2 jam hanya diam-diam begini.
Tetapi lagi-lagi Belia menggeleng. Menatap gelas cokelatnya yang sudah kosong.
“Aku mau pesan minum lagi. Kak Jehan mau apa?”
“Croissant.”
“Oke.”
Dari tempatnya duduk, Jehan perhatikan Belia dengan seksama. Si gadis jangkung terlihat ikut menggumamkan lirik dari lagu yang diputar cafe sembari menunggu pesanannya.
Manis. Sepertinya setelah kencan ini Jehan harus buru-buru berkunjung ke dokter sebelum pulang untuk memeriksa kadar gula darahnya.
“Pesan minum apa itu, Bel? Kayaknya beda sama yang tadi?”
“Matcha Latte. Kak Nanas suka Matcha jadi aku mau nyobain Matcha Latte.”
Jehan memperhatikan gadis di hadapannnya yang mulai menyesap sedikit minuman barunya. Lantas mencecap lidahnya untuk kemudian mengerutkan kening. Ciri khasnya ketika ia merasa sesuatu tidak cocok untuknya.
“Kenapa? Gak enak ya?”
Belia hanya tertawa. “Agak kaget dikit,” jawabnya sembari membuat gesture kecil dengan ibu jari dan jari telunjuknya.
Jawaban itu sontak membuat Jehan terkekeh. “Ya udah kalau gak bisa diterima jangan paksain minum.”
“Tapi udah dibeli. Sayang.”
“Iya, Sayang.”
“Apa?!”
“Iya itu minumannya sayang.”
“Oh...hehe iya.”
Jehan sengaja memancing. Sekedar ingin melihat rona kemerahan di pipi si gadis yang perlahan muncul karena satu kata impromptu yang ia sendiri tidak sangka bisa terucap begitu saja.
“Daripada nahan gak enak. Pesan baru aja ya.” Jehan sudah bangkit dari kursinya tapi Belia buru-buru menahan lengan yang lebih tua agar kembali duduk.
“Ih, aku gak bilang gak enak, Kak. Ini tuh cuma agak mengejutkan aja. Kan aku belum pernah nyobain karena warnanya aneh kayak rumput diblender.”
Lagi-lagi jawaban polos Belia sanggup membuat Jehan tertawa. “Yakin? Gak mau beli minum baru aja? Aku yang beliin gak apa-apa.”
“Gak usah. Udah Kakak makan aja itu croissant-nya terus lanjutin belajarnya.”
Piring croissant itu Belia dorong agar lebih dekat dengan Jehan. Jehan pun mulai menggigit sedikit croissant-nya.
“Aku udah agak capek sih belajarnya. Pengin rehat dulu,” ujar Jehan.
Sepertinya Belia menantikan momen ini. Terihat dari gesturnya yang kini menegapkan punggung seakan siap melakukan wawancara selama 48 jam. Kedua netranya berbinar dengan senyum gemas khasnya.
Jehan benar-benar yakin ia harus segera mengunjungi dokter.
“Kalau gitu aku mau tanya.” Nadanya penuh dengan antusias. Jehan pun mengulas senyum.
“Aku mau jawab,” balasnya sembari menyilangkan kedua lengan di atas meja.
“Kak Jehan emang biasa belajar di cafe gini? Emang gak keganggu?”
“Kadang-kadang? Rumah kan sepi banget tuh. Kak Hansel juga paling di rumah sore atau malam doang. Atau malah gak pulang. Jadi ya sesekali keluar. Sendirian di rumah juga kadang bikin kerasa banget kesepian.”
Ada satu hal yang membuat Jehan terpikat pada Belia. Fakta bahwa gadis itu selalu punya banyak hal untuk ia bagi salah satunya. Seperti membawa kembali hal-hal yang sempat hilang 3 tahun terakhir ini.
Sepi memang karib Jehan. Kendati ia punya banyak teman yang selalu ada dan siap untuk menemainya, tetap saja tak merubah keadaan batinnya yang tidak bisa dipahami orang banyak dengan mudah.
Belia seperti menghidupkan kembali bara yang sempat padam. Seperti menghujani lagi ladang kering untuk kembali subur dan berbunga indah.
“Oooh. Iya sih. Aku juga gak betah kalau kelamaan di rumah sendiri.”
Belia kembali menyesap Matcha Latte. Ekspresinya tidak lagi seperti beberapa saat lalu. Lidahnya mungkin sudah beradaptasi dengan rasa baru.
“Eh iya, nanti Kak Jehan mau kuliah dimana?”
Satu pertanyaan tiba-tiba itu cukup mampu membuat Jehan tersedak gigitan terakhir croissantnya. Belia buru-buru berdiri dan meneuk-nepuk punggung Jehan. Ketika batuk-batuk Jehan mulai reda, Belia mengulurkan tumblr air putih yang selalu ia bawa.
“Hati-hati tau, Kak.”
Jehan hanya mengangguk. Ia sendiri tahu suatu hari nanti Belia pasti akan bertanya soal ini. Dan suatu hari itu ternyata adalah hari ini.
“Hmm...belum tau?”
“Belum tau? Emangnya gak ada kampus impian gitu?”
“Ada kok. Tapi masih lama”
“Kok masih lama? Emang Kak Jehan mau gap year?”
“Gak. Gak gap year. Cuma ya emang daftarannya masih lama?”
“Di luar negeri ya?”
Pertanyaan itu tak sempat terjawab oleh karena suara getar dari ponsel Jehan yang tergeletak di atas meja. “Ayah”. Begitu yang tertera di layar.
“Angkat dulu, Kak. Buruan.” Melihat siapa yang menelpon membuat Belia menyuruh Jehan agar lekas mengangkatnya.
“Halo, Ayah?”
”.....”
“Aku lagi di luar sama Belia. Gimana?”
”....”
“Lho Ayah pulang? Kok gak bilang dulu tumbenan?”
”....”
Jehan terbelalak. Lantas menepuk keningnya. “Ah iya lupa. Ya udah Jehan bentar lagi pulang. Kakak udah di rumah?”
”....”
“Oke, Yah. Jehan tutup.”
“Ayahnya Kakak pulang?” Mendengar dari bagaimana Jehan menjawab telpon itu, membuat Belia mengambil kesimpulan yang dijawab dengan anggukan.
“Iya nih, Bel. Kayaknya kita batal dulu deh car free day-nya besok. Gak apa-apa ya?” Jehan rasanya tidak tega harus membatalkan agenda mereka besok. Tetapi hal lebih mendesak sedang menantinya.
“Ya gak apa-apa, Kak. Ayahnya Kak Jehan juga baru datang kan? Kangen-kangenan dulu tuh.”
Jehan hanya mengulas senyum. “Aku antar pulang setelah Matcha Latte-nya habis ya.”