Ngobrol

tags : mature content

18.00

Leo tiba di lobi utama gedung kantor Seruni. Menunggu gadisnya tuntaskan pekerjaan lembur kendati pesan yang dikirimkannya tak lagi berbalas. Toh siang tadi telah ia kabarkan Seruni bahwa mereka akan pulang bersama sore ini.

19.00

Satu jam berlalu dan belum ada tanda-tanda Seruni segera keluar. Pikiran Leo benar-benar kalut. Kondisi sama-sama lelah kemarin membawa keduanya pada penarikan kesimpulan yang salah. Ditambah pesan ambigu yang Seruni kirimkan padanya siang tadi makin membuat Leon ingin melepas kepala sejenak lantas dibersihkan ke binatu.

19.25

Leon memutuskan untuk keluar dari mobil. Deja vu. Leon pernah seperti ini. Menjemput Seruni—lebih malam dari ini—yang masih berkutat di depan layar komputer dalam keadaan demam.

Mungkinkah kali ini begitu?

Berbekal akses yang diberikan resepsionis dengan mudah—siapa juga yang tidak kenal Caesar Leon di kantor ini—Leon kini sudah berada di lantai 6 letak departemen Seruni berada.

Sepi.

Kecuali satu kubikel di sudut tak jauh dari jendela. Suara ketikan masih jelas terdengar. Leo mendekat.

“SelesaAA—AYAH!” pekik Seruni saat menyadari Leo sudah berdiri di sisinya.

“Demi Tuhan leo aku masih mau umur panjang. Kamu ngapain?” tanya Seruni yang sepertinya lupa akan pesan siang tadi.

“Jemput?”

“Memangnya ini jam—HAH KOK UDAH MAU JAM 8?”

Leo menarik kursi milik rekan di sebelah kanan Seruni. Memperhatikan si gadis sibuk mengobrak abrik isi tas mencari sesuatu.

“Leo bisa tolong telponin hp aku gak? Aku lupa taruh dimana.”

“Oke.”

Sesuai pintanya, Leo mencoba menghubungi ponsel Seruni. Suara getar pun terdengar dari saku blazer Seruni yang tersampir di kursinya.

“Ya Tuhan...maaf ya Leo aku gak denger. Ternyata missed call dari kamu udah sebanyak ini.”

Sengaja.

Seruni memang awalnya sengaja mengabaikan panggilan dan pesan dari Leo hari ini. Lalu berujung ia betulan lupa semuanya karena fokus menuntaskan tumpukan pekerjaannya hari ini.

“Ru.”

“Iya.”

“Mau ngobrol dimana?”

Sejujurnya ini perkara sepele. Tetapi keadaan memang kurang menguntungkan keduanya kemarin. Seruni yang masih sensitif karena siklus bulanannya, dan Leo yang baru pulang mengawal proses mediasi alot.

Seruni menghela napas. “Di sini. Sekarang,” jawab Seruni mantap. Paling tidak setelah keluar dari gedung ini, keduanya sama-sama sudah lega.

“Oke.”

Seruni pamit sebentar ambilkan 2 cup kopi untuk temani keduanya dalam sesi rekonsiliasi. Ledakan-ledakan itu sudah berlalu kemarin. Satu malam dirasa cukup untuk keduanya menenangkan diri dan introspeksi.

“Kenapa kamu gak bilang pulang bareng Kevin?”

“Karena kamu gak nanya.”

“Kamu bisa bilang tanpa perlu aku tanya kan?”

“Apa semua harus aku kasih tau kamu? Kamu gak biasanya kayak gini, Leo. Memangnya kenapa kalau Kevin?”

“Dia mantan kamu, Ru.”

“Iya dia mantan aku. Ya sudah. Ceritanya udah selesai. Bukunya udah ditutup. Hari ini numpang lewat doang dia nganter aku karena meetingnya kelar pas jam pulang. Aku sendiri juga baru tahu kalau Kevin pic dari perusahaan rekanan.”

“Kamu bisa aja nolak, Ru.”

“Oke, jadi mau kamu gimana? Salahku? Oke. Oke Leo. Karena kamu udah terlanjur sampai sini, aku juga bisa nimpal balik kan?”

“Maksud kamu?”

“Clara. Sorry—Laras. Gitu kan panggilan sayang kamu ke dia? Kamu nemenin dia ke dokter kandungan bulan lalu kalau kamu lupa, Leo.”

“Kamu tau darimana?”

“Kamu tau darimana? Seriusan Leo kamu nanya kayak gitu? Berarti kalau gak aku up gini gak bakalan kamu cerita ke aku kan? Misalkan hari itu aku gak jenguk temen aku mungkin sampai hari ini pun aku tetap gak akan tahu kamu nganter Clara—I mean Laras ke dokter kandungan. Dia udah punya suami, Leo.”

“Suaminya lagi di luar kota.”

“Kamu sebut itu alasan?”

“Ya terus apalagi. Ru? Laras temen aku—”

“Kevin juga teman aku, Leo. Dan Laras juga mantan kamu.”

Seruni melepas cincin yang tersemat di jari manisnya. “Bawa. Balikin ke aku kalau kamu rasa aku pantas buat itu.”

“Seruni!”

“Jadi?” Seruni menginisiasi.

“Aku minta maaf soal kemarin. Aku gak tahu kenapa aku benar-benar gak bisa berpikiran jernih kemarin. Aku juga udah kasar sama kamu kemarin, Ru.”

Seruni mengangguk. “Aku juga minta maaf ya, Leo.”

“Kamu gak salah.”

“Kita sama-sama salah.”

“Soal Laras...iya memang niatku gak mau ngasih tahu kamu. Ternyata kamu tahu sendiri dan malah jadi bumerang buat aku. Tapi hari itu aku betul-betul cuma nganter dia, Ru. Gak nemenin sesi konsultasinya. itupun karena suaminya dia sendiri yang minta tolong ke aku. Aku inget juga hari itu kamu chat aku waktu lagi futsal sama Mas Noah. Mungkin maksud kamu nanya itu biar aku cerita soal Laras, tapi karena jawabanku gak sesuai yang kamu terka, aku jadi terkesan bohong.”

Ya. Seruni ingat ia sempat merasa gondok karena Leo yang tidak terus terang. Tetapi hari ini ia sudah mendengar cerita lengkapnya.

“Giliran aku ya. Soal Kevin, kayak yang aku bilang dia pic dari perusahaan rekanan buat meeting project kemarin. Dia nawarin pulang bareng karena emang meetingnya kelar udah lewat jam pulang. Aku iyain dong lumayan uang transport bisa aku tabung kan. Dan aku gak nyangka juga mobil kamu di depan mobil Kevin waktu antri POM berakhir kamu buntutin kita sampai rumahku. Kesannya jadi kayak disergap ketahuan selingkuh.”

Tawa ringan menguar begitu saja dari Seruni. Tawa ringan yang dengan mudah menular pada Leo di hadapannya. Menertawakan ego masing-masing di hari kemarin.

2 cup kopi itu sudah tandas menemani sesi rekonsiliasi Leo dan Seruni. Final yaitu Leo yang meraih tangan kiri Seruni. Menyematkan kembali cincin yang dilepas si gadis kemarin.

“Jangan dilepas lagi, ya. Aku benar-benar gak bisa tidur satu malam gara-gara ini.”

“Leo.”

“Iya.”

“Boleh peluk?”

“Boleh.”


“Ru, telat tadi siang maksudnya gimana?”

“Telat?”

“Oooh. Aku telat ngajuin cuti. Masih punya 5 hari tahun ini. Ya udah kusimpan buat ultah aja.”

“Ya Tuhan...kirain apaan.”

“Apa? Isi?”

“Barangkali kan.”

“Iya sih ini udah telat 4 hari. Ntar kalau telatnya udah 2 minggu baru aku test.”

“Kenapa kamu santai banget?”

“Kenapa aku mesti panik kalau bapaknya cuma kamu?”

-end-