only
Ia duduk sendiri di pelataran belakang rumahnya. Menatap satu persatu rintik langit yang jatuh basahi bumi. Suara gemericik di awal perlahan menjadi deru deras. Angkasa jauh telah sepenuhnya memutih. Pertanda hujan ini akan berlangsung untuk waktu yang lama.
Di hari hujan begini, selalu satu yang menyapa ingatan. Di antara ribuan rol film kehidupannya, hanya satu yang tetap dimainkan di benak.
Ia dan rambut panjangnya yang basah kuyup ditempa hujan. Karet gelang butut adalah satu-satunya yang ia punya untuk menyatukan helai-helai mahkota kepalanya. Hari itu sudah waktunya pensiun. Tugas karet gelang itu usai. Berganti seutas pita berwarna merah yang ia berikan setelah mengumpulkan berhari-hari keberanian untuk menyapa.
Di bawah guyuran hujan ia bantu mengikat rambut panjang hitamnya. Cantik. Ia selalu cantik dan akan selamanya begitu.
Sua itu adalah awal langkah-langkah beriringan berikutnya. Temu yang paling berkesan kendati tak mesti berakhir baik ketika akhirnya perpisahan mesti menyapa.
Tapi Tuhan lewat semesta yang diciptakan-Nya tak pernah salah memberi arah. Bahkan setelah perpisahan pilu oleh impian yang berlawanan, mereka masih diizinkan temu. Mereka masih terhubung oleh seutas benang yang memang terbentang untuk menyatukan keduanya.
Indah….
Jatuh cinta di waktu yang tepat, pada sosok yang tepat memang indah. Pula ketika rumah kecil itu mulai dianugerahi anggota-anggota baru.
Waktu tak pernah berdusta. Ketika semua tumbuh, satu per satu pergi. Sama seperti keduanya yang juga begitu dulu.
Menyisakan keduanya di rumah tua hangat itu. Hangat oleh cinta yang tak pernah kurang sejak dulu. Oleh kasih sayang yang tak pernah habis dimakan usia. Oleh perasaan yang tak pernah berubah bahkan ketika zaman kian sulit untuk dikejar.
Tuhan pun tak pernah berdusta. Ketika mengabulkan doa, semua tergantung kadar cinta sang abdi. Ia pernah berdoa untuk tidak membiarkannya merasa kesepian di masa senja. Tuhan kabulkan. Ia tak pernah merasa kesepian karena memilikinya. Sebab ia pulang lebih dulu ke haribaan pencipta. Meninggalkannya sendiri di rumah hangat ini.
“Kakek, apakah kakek ingin bertemu nenek?” Yang umur 10 bertanya.
“Sangat ingin.”
“Apa aku boleh ikut?” Giliran adik perempuannya turut menyahut. Umurnya 6.
“Aku juga mau ikut. Aku rindu kue lemon buatan nenek.” Kali ini disahut oleh sepupu umur 8.
“Apple pie nenek lebih enak.” Yang umur 6 tidak terima.
“Tidak. Pokoknya kue lemon.”
“Kalian ini selalu ribut.” Yang umur 10 kini berdiri di antara kedua saudaranya melerai.
Ketiga malaikat kecil itu yang tak sadar menyalakan kembali percikan-percikan bara yang nyaris padam. Kemurnian cinta mereka padanya mengingatkan bahwa pernah ada sosok bidadari menjelma kekasih hati yang juga mencintainya.
Satu-satunya bidadari yang datang untuk menjadi miliknya. Satu-satunya kecintaan. Satu-satunya teman merajut langkah, rekan yang tak jemu mendengar keluh sendunya. Sahabat yang selalu membuatnya ingin terus melakukan segala hal dalam versi terbaik. Kekasih yang telah rampungkan tugas dunia dan beristirahat dalam damai.
Hari ini aku tandai lagi di atas kalender Hari ke 100 setelah tugasmu berakhir Hari dimana aku kembali merasakan getir Hari saat aku menyadari bahu rapuh ini bukan lagi tempatmu bersandar
Aku masih merapal mantra saat hujan Barangkali pintaku dikabul Tuhan Sebagaimana yang sebelumnya ia aminkan Untuk tidak biarkanmu kesepian
Sepi takkan pernah menjadi karibmu Oleh karena besar jagatnya cinta milikmu Sampai kita berjumpa dan kembali menari di awan yang bergumul Aku simpan rapat di ruang batin semesta rindu tak berbatas untukmu
-end- 31/08/2021