Streetlight
tags : surealism // mention of death
“Aku sendiri lagi,” katanya memulai percakapan. Aku mengangguk sebagai pemberitahuan bahwa aku mendengarkannya.
Kami duduk bersandar dinding tinggi pagar entah milik siapa. Di bawah temaram lampu jalan yang selalu menjadi titik temu kami di jalan pulang. Kemudian berkisah tentang hari yang kami lalui. Kadang menangis, kadang tertawa. Perasaan sehari-hari memang dinamis.
“Apakah aku tidak cukup baik untuk setidaknya memiliki seorang teman?”
“Kata siapa?”
“Kurasa memang begitu. Satu persatu pergi lantas aku mulai merasa sepi. Atau memang menjadi dewasa seperti itu ya?”
Tatap matanya mengawang di langit malam. Seakan mencari jawaban untuk tanya yang tak mungkin disampaikan langit secara langsung. Hanya gemerlap bintang dan rembulan tanggal 7 yang ada di pandang.
“Kamu lebih dari cukup.”
“Aku memang menyedihkan ya? Tidak bisa apa-apa. Tidak punya apa-apa.”
“Berhenti berkata-kata jahat pada dirimu atau aku akan memukul belakang kepa—”
“Berbeda denganmu yang meskipun mengeluhkan hidup, kau punya banyak teman,” katanya memutus kalimatku begitu saja. “Apa kau menghitungku sebagai teman?” lanjutnya bertanya.
“Tentu saja. Bahkan kau lebih dari te—”
“Gak mungkin kehitung. Kita kan ketemunya cuma tiap malam. Di bawah lampu jalan pula.”
“Berhenti memotong kali—”
“Tapi aku bahagia bisa bertemu denganmu. Aku bebas bercerita apapun padamu. Dan sedikit banyak kamu membuatku tidak kesepian. Aku sangat berterima kasih untuk itu.”
Itu sungguh tak terduga. Terima kasih ya? Rasanya sudah lama tak pernah mendengarkan itu. Sungguh itu kata-kata yang sangat langka untuk runguku menerimanya.
Aku tak pernah benar-benar berharap orang-orang berterima kasih atas bantuan yang mereka terima dariku. Tetapi, hey! Aku telah meluangkan waktuku dan tak jarang sedikit dari uang yang kupunya. Tetapi tak pernah ada yang benar-benar berterima kasih.
Dan perempuan ini dengan begitu saja mengucapkan terima kasih hanya karena aku mendengarkan curahan hatinya tentang hidupnya—yang kusadari lebih berat dariku.
“Satu-satunya hal yang kusesali tuh kita gak sempat tukeran nomer.”
“Hey, aku sudah sempat minta. Kamu kan yang maunya kita tetap stranger?”
Di pertemuan kedua, aku sempat menawarkannya untuk bertukar nomor ponsel. Bukan apa. Aku hanya merasa perempuan ini memang membutuhkan tempat berkeluh kesah. Dan aku senang menjadi tempat menampung banyak cerita. Seolah aku memang diciptakan untuk menjadi itu.
“Ah benar juga. Kamu pernah minta tapi aku enggan memberikannya. Aku cuma gak nyaman kalau harus cerita hal-hal bodoh di hidupku ini dengan orang yang kukenal. Memalukan.”
Aku menatapnya pilu. Tak dapat kupungkiri bahwa sorotnya kali ini terlihat jauh lebih lelah dari biasanya. Cenderung kosong sebab ia berusaha sekuat mungkin menepis semua rasa yang valid. Yang tak ada salahnya untuk ia terima. Rasa sedih yang selalu ia elak. Rasa lelah yang selalu ia abaikan.
“Aku lelah mendengar orang -orang mengeluh padahal mereka memiliki apa yang tidak aku miliki. Harta, tahta, keluarga. Mereka punya semuanya tetapi kenapa mereka mengeluh padaku tanpa memikirkan perasaanku?” keluhnya.
“Kau—”
“Aku ingin menyerah. Aku lelah kesepian. Apa aku boleh mati lebih cepat?”
“Jangan mengatakan hal bodoh yang akan kau sesali nantinya. Kau pikir mati menyelesaikan masalah?”
“Tapi aku tidak punya siapa-siapa yang akan menangisi kematianku. Astaga, malang sekali nasibku. Kenapa aku harus dilahirkan sih.”
Kehidupan di pertengahan usia dua puluhan memang melelahkan. Apalagi ketika kamu berjuang sendiri sementara masih ada tuntutan ketika yang lebih dewasa melepas tanggung jawab. Rasanya kau ingin marah pada dunia. Tetapi marah-marah tak akan menyelesaiakan segala urusan yang ada.
Begitulah ia kerap bercerita. Ia hanya ingin didengarkan. Tak apa tak memberi solusi asalkan didengar.
Dia lelah.
Dia hanya lelah menjadi tumpuan sementara ia tak miliki sandaran yang kuat selain dirinya sendiri. Ia terlalu lama kesepian.
Hadirku saat itu barangkali seperti pelipur lara kendati kita tak saling kenal. Meski pada akhirnya, aku pun pergi.
Dan dia tetap sebatang kara melewati setiap fase hidupnya dengan susah payah.
“Suatu hari nanti, kau pasti bahagia. Selalu ada harga yang dibayar untuk mendapatkan yang terbaik. Bertahanlah,” kataku sembari mengusap belakang kepalanya meski ia tak merasakannya lagi.
end
jika kisah singkat ini rilis publik, maka yang menulisnya telah berada di titik terendah