—suatu siang di uks

Belia pikir urusannya dengan si kakak kelas sewaktu mos dulu sudah berakhir. Anak kelas 11 itu rupanya masih menyimpan dendam padanya. Belia tidak akan menyadari sampai beberapa menit lalu ketika dia terpeleset di tangga. Si perempuan yang melapisi parasnya dengan bedak—yang Belia yakini hampir satu kilo—itu sengaja menjulurkan kakinya saat Belia lewat hingga membuat si gadis terjatuh.

“Seru ya diboncengin gitaris D'Ordie?”

“Gak usah sok kecakepan cuma karena lo dibonceng sama Jehan. Lo gak lebih baik dari gue.”

“Brengsek!”

Banyak kesal Belia masuk ruang uks sembari menahan perih di lutut kanan. Berniat membersihkan luka karena tersandung tadi.

“Dasar cewe gak jelas. Gemes pengen gue jambak. Untung gue lagi gak mood ngeladenin orang,” gerutu Belia. Selain enggan meladeni, ia juga teringat Mama sempat dipanggil pihak sekolah pasca kejadian mos dulu.

Dan kalau sampai mama dipanggil lagi untuk urusan dengan manusia yang sama, sepertinya Belia harus menyiapkan koper dan mencari keluarga baru yang mau menerimanya.

“Ini mana sih perawat—MAMA!”

Saking sibuknya mencari kotak p3k sendiri, membuat Belia terkejut ketika gordyn salah satu ranjang dibuka dari dalam. Hadirkan sosok pemuda yang malam minggu lalu memboncengnya pulang.

“Kak Jehan? Lo sakit?” tanya Belia yang kini mendekati si pemuda.

Jehan menggeleng lalu menunjuk lutut Belia. “Lo yang sakit. Duduk sini. Gue ambilin kotak p3k.”

Bak kerbau dicucuk hidungnya, Belia menurut. Duduk di ranjang lain sementara Jehan mengambil kotak p3k dan kembali dengan menarik kursi agar lebih mudah untuk mengobati luka Belia.

“Sorry, Bel. Ini gue pegang kaki lo gak apa-apa kan?”

“Hmmm.” Belia mengangguk.

Luka itu bukan luka yang parah hingga berdarah-darah. Hanya goresan dan sedikit memar tapi cukup membuat perih.

“Lo boleh jambak gue kalau kerasa perih, ya.”

Jehan mulai membersihkan area luka dengan handuk yang telah direndam air hangat. Sementara Belia duduk di ranjang meringis menahan perih.

Tidak kok. Belia tidak berani menjambak rambut Jehan. Lebih ingin menjambak rambut anak kelas 11 tadi malahan.

“Gue gak tau lo bisa ngumpat juga ternyata.” Sembari mengobati luka, Jehan memulai obrolan.

“Lo denger tadi, Kak?”

“Iya.” Jehan mengangguk. Lantas menatap Belia sekilas dan kembali fokus pada lutut si gadis. “Emang yang kayak gitu layak buat diumpat,” lanjutnya membuat Belia mengerutkan kening.

“Yang kayak gitu?”

“Di tangga. Gue liet kok,” jawab Jehan santai.

Sementara Belia tidak santai lagi. Entah mengapa hatinya mendadak terasa pengap. Kekesalan itu sepertinya malah bertambah. Jehan melihatnya dijegal si anak kelas 11 dan hanya membiarkannya?

Oh, sepertinya Belia salah menilai seseorang. Dia pikir Jehan pemuda yang baik.

“Kenapa lo gak bantuin gue kalau lo liet?” tanya Belia sedikit ketus.

Jehan yang hendak mengambil plester menghentikan geraknya. Duduk tegap menatap Belia yang air mukanya terlihat kesal.

“Kenapa gue harus bantuin lo kalau lo bisa ngelawan dia sendiri?” jawab Jehan dengan tanya retoris.

Setelahnya Jehan ambil kembali plester dan mulai membuka pembungkusnya. Perlahan ia tempelkan plester tersebut di atas luka yang telah dibersihkan dan diberi betadine.

“Gimana tadi? 'Kalau lo ngerasa lo lebih baik dari gue, harusnya lo yang dibonceng Kak Jehan. See?'” Jehan terkekeh kecil. “Lo keren tadi, Bel.”

Jehan peragakan kembali gerakan tangan Belia hingga membuat wajah si gadis mirip kepiting rebus.

“Dia naksir lo ya, Kak?”

“Pernah nembak gue. Dan lo pasti tau apa jawaban gue.”

Belia manggut-manggut. Sampai tak sadar bahwa Jehan sudah sedari tadi selesai mengobati lututnya.

“Dia selalu datang dimanapun D'Ordie manggung,” Jehan lanjutkan cerita setelah meletakkan kembali kotak p3k di tempat semula.

“Setia banget.”

“Tapi perangainya kayak gitu. Lo belum seberapa, Bel. Ada yang pernah sampai pindah sekolah.”

“Dih. Freak banget jadi orang,” cibir Belia.

“Gue jadi mikir-mikir juga mau nerusin sama lo. Tapi lihat lo tadi, kayaknya gue bakalan maju sih.”

“M-maksud lo? Gimana, Kak?”

“Lo balik kelas gak. Ntar malam gue chat ya.”

—tbc—