Sunday-Nite Call-date

cw // mention of death // mention of crash

Ponsel Belia menyala tiba-tiba menampilkan pop-up notifikasi pesan dari seseorang yang sedang ia nanti pesannya. Jehan.

Kendati pagi tadi Belia bertemu dengan yang lebih tua, tetapi tak ada sempat untuk keduanya bisa bercengkrama. Acara 1000 hari itu dihadiri banyak orang. Keluarga, rekan-rekan kerja ibunya dulu. Belia masih merasa seperti tamu tak diundang sebenarnya.

Sebab memang begitu adanya.

Pesan singkat itu berujung pada suara getar cukup lama dari ponsel Belia. Menandakan sebuah panggilan masuk dari Jehan.

“Hey belum ngantuk?” tanya suara di seberang setelah mengucap salam sebelumnya.

“Belum. Ini baru jam berapa juga sih, Kak.”

Belia yang semula duduk di hadapan meja belajar ini berpindah ke kursi dekat tempat tidur untuk mencari posisi nyaman. Duduk mengerjakan tugas sejak habis maghrib cukup membuat pinggangnya nyeri.

“Baru jam berapa? Ini udah jam setengah sepuluh.”

“Gak apa-apa. Aku gak akan telat kok besok.”

Sebetulnya, ada terlalu banyak pertanyaan yang mengisi benak Belia pasca menghadiri acara 1000 hari kepergian ibu Jehan dan Hansel pagi tadi. Lucu saja rasanya ketika Belia ada di rumah besar keluarga Jehan tetapi ia bahkan tak punya kesempatan menyapa yang lebih tua. Lebih tepatnya, Jehan menghindar.

Belia tahu kok, Jehan menyadari kehadirannya tanpa diundang. Tetapi ia menghindar. Berpura-pura Belia tidak ada di sana.

“Maaf ya.”

“Hmm? Maaf?”

“Tadi pagi. Di rumah. Maaf.”

“Kak, ngomong tuh yang jelas dong konteksnya.”

Terdengar suara samar tawa Jehan sekilas. “Kesannya aku menghindar ya tadi pagi?”

Belia mengulas senyum tipis. Lebih mirip seringai.

“Gak juga. Kan emang tamunya banyak tadi pagi.”

“Tapi—”

“Atau emang Kak Jehan aja kali yang sengaja ngehindar ya.”

Belia jelas tidak bisa melihat ekspresi terkejut Jehan yang semula rebahan menjadi duduk di tepian tempat tidurnya.Merasakan atmosfer yang berubah dari percakapan ini.

“Bel—”

“Iya. Gak apa-apa.”

“Hansel tuh paling dekat sama Ayah. Aku sama Ibu. Tapi gak berarti ayah gak sayang aku atau ibu gak sayang Hansel.”

“Kayak aku sama Kak Jel yang deket sama Papa dan Abang yang deket sama Mama?”

“Kurleb gitu.”

“Malam sebelum kecelakaan itu ibu masih sempat prepare buat sarapan besok. Ibu masih sempat sarapan, tapi gak sempat ketemu aku sama Hansel karena jam 5 kita baru bangun sementara ibu udah harus di bandara setengah 5 pagi. Ayah cuma bilang ibu masuk kamarku dan Hansel sebelum berangkat.”

“Pesawat take off jam 6. Tapi jam 8 tiba-tiba Hansel nyamperin kelasku. Matanya udah sembab. Kita berdua udah dijemput ajudan ayah. Hansel gak bilang apa-apa waktu ngajak aku selain nyuruh cek trending twitter. Pas itu gue akhirnya sadar, Ibu salah satu passenger di pesawat yang jatuh satu jam sebelumnya.”

“Waktu akhirnya kita ketemu ayah di bandara, Hansel panik meluk ayah. Aku masih bingung karena nolak percaya. Minggu sebelumnya Ibu udah bilang kalau perjalanan dinas ini yang terakhir sebelum akhirnya beliau lepas kerjaannya dan fokus dampingi Ayah aja. Tapi—”

“Kak.”

“Iya.”

“Udah gak usah diterusin.”

Helaan napas rilis dari Jehan. Cerita itu turut membuat Belia sedih. 1000 hari tanpa Ibu?

Meskipun Belia lebih dekat dengan Papa, 2 hari Mama tidak ada di rumah saja sudah bisa membuatnya bingung. Tidak ada suara Mama yang mengomel karena Papa lupa matikan lampu ruang kerja, atau Kak Jejel yang pulang di atas jam 9, Abang yang satu hari satu malam tidak keluar kamar karena menggambar—dan berakhir Mama masuk paksa kamar Abang hanya untuk menyuapi si pangeran.

Kalau Belia lebih sering diomeli karena lupa letak barang.

1000 hari. Besok 1001 dan seterusnya. Belia tanpa sadar meneteskan air mata. Entah mengapa kekosongan pada Jehan itu bisa ia pahami betul.

“Bel?”

“Kak?”

Bersamaan saling panggil. Mungkin sadar bahwa keheningan di panggilan malam ini cukup membekukan suasana.

“Belia dulu.”

“Oke.”

Belia menarik napas sebelum mulai berujar. “Aku mungkin belum pernah ngerasain kehilangan seberat Kak Jehan. Tapi 1000 hari, 1001 hari dan seterusnya hari terus berganti. Aku cuma minta Kak Jehan buat gak terpaku pada kekosongan yang gak akan bisa diganti dengan isian apapun. Dunia masih luas kalau kata Kak Jejel. Selalu ada banyak hal kecil membahagiakan yang bisa bikin Kak Jehan terbiasa sampai akhirnya menerima. Lagipun, Ibunya Kak Jehan pasti pengen Kak Jehan dan Kak Hansel bahagia. Ada maupun tidak adanya sosok beliau di antara kalian.”

Belia mungkin tidak tahu bahwa yang di seberang tengah mengulas senyum yang mengiringi setetes air mata dari kedua hulunya. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba kuasai batinnya.

“Belia.”

“Iya? Aku ada salah ngomong ya Kak?”

Jehan menggeleng meski Belia tidak melihatnya. “Gak ada.”

Belia menghela napas lega “Syukur deh.”

“Makasih ya. Buat apapun, Bel.”

Belia tersipu. Ucapan itu ternyata cukup untuk membuat kedua pipinya merona merah jambu.

“Sama-sama, Kak.”

“Tidur ya sekarang. Sampai keremu besok di sekolah.”

“Oke see you. Good night, Kak.”

“Night-nighy, Bel.”