###Apa Serunya???
“Apa serunya dari menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”
Belia merutuk sepanjang jalannya menuju ruang musik. Akhir-akhir ini, sekolah sedang hangat oleh cerita tentang dia sendiri dengan seorang siswa tingkat akhir yang sempat membantunya saat membawa setumpuk buku tugas yang harus dikumpulkan ke ruang guru.
Ya bagaimana tidak dibantu, Belia saja hampir terpeleset karena lantai yang baru saja dipel oleh petugas kebersihan akibat galon yang pecah. Dan saat itu, kebetulan si kakak kelas lewat dan bergerak sat-set-sat-set membantunya kembali seimbang.
Dan siapa sangka ada saja makhluk sekolah yang memotret momen itu hingga menjadi topik hangat seminggu terakhir.
Tolong nih ya...Belia tidak kenal. Waktu itu hanya sempat ucap terima kasih karena si kakak kelas juga diam membisu. Sudah diam membisu, gak berekspresi apa-apa pula.
“Doi emang pendiem banget, Bel. Tapi gue denger-denger nih kalau lagi manggung, beeuuhh keren banget. Jago banget doi gitarnya. Gak apa-apa kali aja cocok sama lo. Saling melengkapi tuh lo kan bar-bar,” ujar Jihan yang menurut Belia sangat-sangat tidak penting.
“Siapa sih namanya? Jenal? Jere? Jehan? Jco? Je—MAMA!!” Belia memekik begitu masuki ruang musik. Ia pikir baru saja melihat penampakan hantu ruang musik yang suka pegang gitar di kursi pojok.
Itu si kakak kelas. Yang sepanjang jalan tadi ia pikirkan.
“Gue kira gak ada orang. Maaf, Kak,” ucap Belia seiring langkahnya menuju loker di ruang musik.
Bukannya menjawab atau merespon, si kakak kelas malah membereskan gitarnya. Seakan bersiap untuk pergi dari ruang itu.
“Eh, Kak. Gue ganggu Kakak latihan ya?”
Belia jelas merasa tidak enak. Seakan jedatangannya benar-benar mengusik suasana latihan mandiri gitaris D'Ordie—band kebanggaan sekolah yang juga kerap menerima undangan untum tampil dari luar sekolah.
”....”
Lagi. Tak ada respon.
“Gak apa-apa kok, Kak. Gue cuma mau ambil buku paranada gue yang ketinggalan kok.”
Belia masih belum membuka lokernya. Pandangan terarah sepenuhnya pada sosok laki-laki yang memunggunginya dan tengah berkutat dengan tas gitarnya.
”....”
Kalau boleh jujur nih, Belia sebetulnya sudah agak merinding. Barangkali sosok ini memang benar hantu ruang musik?
Well....gak ada salahnya Belia menatap ke arah kaki. Oke, lega. Paling tidak dia menapak di lantai. Jadi ini memang si kakak kelas yang—
“Jehan.”
—apa?
“Iya, Kak?” Belia merespon dengan tanya. Ingin memastikan bahwa memang kakak kelasnya sedang berbicara.
“Gue Jehan. Gak sengaja dengar gumaman lo tadi.”
“Eh? Ya, Kak. Maaf. Gue—”
“Belia. Akhir-akhir ini gue juga sering denger nama lo.”
Bukan. Belia bukan ingin memperkenalkan diri. Tapi iya juga sih. Maksudnya, sebenarnya Belia ingin minta maaf karena ternyata gumamannya itu bukan menggumam. Lebih tepatnya ia berbicara dengan diri sendiri.
Dan dengan suara yang keras. Kalau sekedar menggumam, harusnya si Jehan Jehan ini gak sampai dengar lah rutukannya.
Ya Tuhan, Belia sekarang malu. Jujur.
Ketika akhirnya Belia berhasil menemukan buku paranadanya, lekas ia masukkan buku itu ke dalam tas. Bersiap untuk pamit pada Jehan yang—oke sekarang laki-laki itu malah pindah duduk tak jauh dari pintu. Memangku gitar yang sudah terbungkus tasnya.
Manis sih. Tapi Belia tidak suka rambutnya. Panjang banget gemas ingin cukur jadi gundul.
“Lo ambil ekskul musik?” tanya Jehan. Menatap lurus pada Belia yang masih berdiri di depan loker.
“Iya, Kak.”
“Good luck then.”
“Thanks, Kak. Gue—”
“Btw—”
Demi Tuhan Belia ingin segera pulang. Namun, entah dorongan apa yang malah membuatnya mendekati si kakak kelas lantas menarik kursi dan duduk berhadapan.
“Apa serunya menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”
Ini manusia apa hantu. Sepertinya Belia salah ambil keputusan. Seharusnya ia tadi melenggang pergi saja dan abaikan sosok ini biar sendiri sepi bersama gitar yang menemani.
Pertanyaan itu...pertanyaan yang sama dipikirkan Belia sejak keluar dari kelas tadi.
“Kakak tau soal itu?“tanya Belia ragu-ragu.
“Gue punya telinga dan ponsel, Belia,” jawab Jehan yang membuat Belia merasa sedikit bodoh.
“Ah...ya.”
“Kita seperti hujan di kemarau. Tau seperti apa panasnya kemarau kan?” Belia mengangguk. Tatapan penuh fokus pada Jehan yang bertutur. “8 jam, kadang 10 jam full di sekolah. Pelajaran memuakkan, kegiatan melelahkan. Semua menguras pikiran. Lantas momen dimana tidak sengaja kita tertangkap kamera, seperti membawa udara segar. Pelipur lara untuk isi kepala yang sedang membara.”
“Wah....”
“Wah??”
“Untuk ukuran orang yang katanya pendiam, Kakak hebat juga ya kata-katanya.”
Jehan mengulas senyum. Hingga membuat Belia merasa perutnya mendadak penuh.
“Sudah pukul 5.” Jehan menoleh pada jam dinding. “Lo mestinya udah pulang dari tadi.”
Belia menggeleng. “Gak apa-apa, Kak. Ternyata denger Kak Jehan ngomong, asik juga.” Belia tersenyum....bodoh(?)
“Kapan-kapan lagi. Gue juga gak tau kenapa bisa ngomong sebanyak tadi ke lo,” kata Jehan sembari mengedikkan bahu.
“Boleh gak gue hubungin lo, Kak? Kalau gue butuh temen ngobrol.”
Belia yakin sebagian dirinya sudah gila. Namun...hey apa salahnya berteman dengan siapa saja.
Termasuk dengan orang tak dikenal yang dijodoh-jodohkan denganmu—meski kini telah saling kenal.
“Dengan senang hati, Belia.”
~tbc~