[Tidak ada] kupu-kupu dalam perut

Jika seseorang bertanya pada Rara kemarin kapan terakhir kali ia berjalan di bawah naungan payung saat hujan ditemani seorang laki-laki maka jawabannya adalah sewaktu kelas 6 sd dan laki-laki itu adalah ayahnya. Tetapi jika pertanyaan yang sama diajukan sekarang, maka jawabannya adalah sekitar 10 menit lalu dengan laki-lakinya adalah Hansel. Teman Mbak Nana sekaligus tutor bahasa Inggrisnya selama tingkat akhir sekolah menengah atas ini.

Rara tahu kok, beberapa teman beda kelas mulai membicarakannya. Tentang Rara yang beberapa kali dijemput oleh mahasiswa tampan yang suatu hari mengendarai motor besar dan di hari lainnya mengendarai mobil bagus. Beranggapan bahwa mungkin laki-laki itu hanya menjadikan Rara 'mainan' saat membutuhkan distraksi sejenak dari serangkaian tugas kuliah yang memuakkan.

Persetan. Itu kan karena mereka mengira Hansel adalah pacarnya. Sementara status Rara dan Hansel hanya sebatas murid-tutor. Tidak lebih dari itu—di luarnya. Sebab Rara sudah lebih dari sekedar paham di usianya sekarang bahwa rasa menggelitik di perut setiap kali ia berinteraksi dengan Hansel adalah bukan disebabkan oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.

Hei, Rara tidak pernah menelan telur kupu-kupu omong-omong. Jadi, sangat tidak mungkin kupu-kupu betulan ada di dalam perutnya.

Rara pernah bertanya pada Ryama yang punya pacar seorang kakak tingkat populer. Seangkatan dengan Mbak Nana. Kenapa Ryama suka pada Kak Harsa? Apa alasan Ryama jatuh cinta pada Kak Harsa?

“Gak tahu juga. Mungkin karena dia tampan? Tapi banyak kok yang lebih tampan dari Kak Harsa. Mas Noah yang pernah jadi guru magang itu juga tampan. Atau karena baik? Tapi banyak juga yang baik.”

“Duuh...jadi kenapa kamu jatuh cinta sama Kak Harsa?”

Ryama mengedikkan bahu. “Mungkin karena hati aku milih dia.”

Setelahnya Rara berpura-pura muntah-muntah karena jawaban Ryama sangat menggelikan.

“Kenapa geleng-geleng, Ra? Ngelamunin apa?” Suara Hansel berhasil ditangkap rungunya. Membawa kembali Rara yang sempat terperangkap dalam ruang lamunan.

“Gak ngelamun kok.”

Hansel tertawa kecil. “Aku ajak ngobrol daritadi. Tapi gak disahutin.”

“Aaa...maaf ya, Kak.”

Rara kembali mengalihkan perhatian pada rak buku di hadapannya. Mencoba membuang rasa malu karena mengabaikan obrolan Hansel. Tak terbayang berapa banyak yang Hansel bicarakan sejak keduanya masuk di toko buku ini.

“Buku ini gimana, Ra?”

Hansel menunjukkan sebuah buku grammar. Demi apapun Rara sudah tidak bisa fokus lagi dengan tujuan awalnya sehingga ia hanya mengangguk.

“Coba dilihat ini ada yang udah dibuka. Oh kayaknya bukunya cocok buat kamu—”

Hansel masih menggebu menjelaskan pada Rara tentang buku yang ia temukan dan ia rasa cocok untuk Rara. Sementara Rara kembali melamun. Oh tidak. Rara malah salah fokus. Memperhatikan side profil Hansel. Pipinya...boleh disentuh tidak ya? Oh, Kak Hansel juga mancung. Dan bibirnya saat berbicara....

Rara....otaknya....

“Oke?” Hansel menoleh tiba-tiba. Membuat Rara terkejut hingga mundur satu langkah.

“Oke.”

“Apanya?”

“Bukunya?”

Hansel mengulas senyum. “Kamu capek ya, Ra? Harusnya tadi kita langsung pulang aja sih ketimbang mampir dulu. Iya gak?”

Rara buru-buru menggeleng. “Gak kok, Kak,” elaknya. Lantas buru-buru merebut buku dari tangan Hansel. “Aku bayar bukunya ini ya. Makasih udah dipilihin, Kak Hansel.”

Kata Mbak Nana kalau Kak Hansel menawarkan untuk membayarkan beli buku, Rara semestinya menolak dengan keras. Karena apa? Ya Rara sendiri tahu karena buku itu kebutuhannya. Ia juga selalu menerima uang lebih dari Papa Mama untuk membeli buku. Sebagaimana cepatnya tangan Hansel mengulurkan kartu kreditnya di meja kasir, secepat itu pula Rara mengeluarkan beberapa lembar uang cash dari dompetnya.

“Aku yang bayar aja.”

“Gak boleh, Kak. Ini kan buku buat aku,” tolak Rara dengan tegas. “Ambil uang cash nya aja, Mbak,“pinta Rara pada cashier yang bertugas—yang sempat bingung harus memilih yang mana.

Kenapa?

Kenapa Mbak Nana selalu bisa menerka pergerakan Hansel? Apa mungkin laki-laki selalu suka membelikan barang untuk perempuan? Tetapi Mbak Nana selalu menerima benda pemberian Kak Juan. Apa mungkin itu karena mereka sudah pacaran? Sementara ia dan Hansel—

“Kamu hari ini banyak melamun, Ra.”

—hanya murid dan tutor. Ya meskipun Hansel teman Mbak Nana.

“Rara boleh tanya, Kak?”

Hujan sudah reda sedari tadi. Tidak lagi ada adegan sepayung berdua dari lobby toko buku ke parkiran. Tetapi dalam jarak aman seperti ini pun Rara tetap tidak sanggup mengontrol debaran jantungnya yang sedikit kurang ajar ini.

“Boleh. Tapi sambil jalan pulang ya. Biar kamu gak kemaleman. Nanti aku yang dipenggal Nana kalau telat antar kamu pulang,” jawab Hansel berujung gurau. Membukakan pintu untuk Rara sebelum ia sendiri masuk ke sisi kemudi.

Sebagaimana sore-sore umumnya, perjalanan ke arah barat itu menyajikan pemandangan mentari yang mulai terbenar, Memberikan guratan jingga dan lila di angkasa barat. Meski tetap tidak mampu meredakan gelenyar aneh di hati Rara yang kini setengah berharap Hansel melupakan niatnya.

“Jadi mau nanya apa, Ra? Sambil nunggu traffic nih.”

Ya Tuhan...Rara ingin tenggelam saja. Tetapi lautan jauh di sana.

“Gimana perasaan Kak Hansel kalau ada orang yang ngira aku pacarnya Kakak?”


Jika ada yang bertanya apa yang paling dibutuhkan Rara saat ini maka ia akan menjawabnya dengan penuh keyakinana bahwa ia butuh mesin waktu. Mundur ke beberapa menit lalu sebelum pertanyaan itu ia lontarkan sehingga atmosfer di mobil ini menjadi hening—dan sedikit canggung.

“Errmmm gak usah dijawab gak apa-apa sih, Kak. Aku—”

“Gak apa-apa.”

“Hmm?”

“Kamu dari tadi banyak melamun karena mikirin ini, Ra?”

“Errr...gak juga sih. Tapi...ya iya juga. Sedikit.”

Tolong. Sekarang Rara ingin melebur menjadi debu dan menyanyi syalalalala. Hansel dan tawanya selalu bisa membuat kupu-kupu—yang tidak pernah benar-benar ada—i perutnya penuh sesak.

“Gak apa-apa. Gak perlu khawatir. Aku gak masalah sama tanggapan orang lain karena kenyataannya bukan seperti yang mereka kira, kan?” ujar Hansel akhirnya.

“Iya sih. Cuma aku gak enak aja kan Kak Hansel jalan sama anak SMA.”

“Harusnya aku yang khawatir sama kamu sih, Ra. Mungkin beberapa orang merasa sangsi kamu sering jalan sama aku.”

“Tapi Kak Hansel gak punya pacar kan?”

“Memangnya aku belum pernah bilang?”

“Lho? Jadi udah ada pacar ya?”

Tanya itu menggantung di utara. Karena berikutnya suara klakson mobil di belakang mobil Hansel telah meraung perintah maju. Hansel belum sempat menjawab. Tak lagi sempat mengalihkan fokus dari lalu lintas sore yang padat.

Sementara Rara...entahlah. Mual? Sepertinya kupu-kupu sialan itu mendesak untuk dimuntahkan. Sudah lelah beterbangan sembarangan dalam perut untuk setiap tingkah mengesankan Hansel padanya.

Memanggil namanya dengan manis. Menarik beberapa lembar tisu untuk menyeka noda eskrimnya. Menaunginya dari hujan dengan payung. Membangunkannya tanpa mengusik setiap kali ia ketiduran di sesi belajar mereka. Memberi reward sederhana untuk setiap pencapaian belajarnya. Memberi rekomendasi musik yang pas untuk Rara break sejenak dari belajar. Melempar kelakar setiap kali Rara merasa suntuk dan kehilangan motivasi belajar. Membelikannya strawbery smoothie. Menemaninya makan seblak padahal toleransi rasa pedasnya rendah. Membukakan pintu mobil.

Banyak. Banyak sekali hal-hal yang membuat Rara overthinking sebelum tidur. Bahwa hal-hal sederhana semacam itu yang ia dapatkan dari Hansel, bagaimana tidak bisa membuatnya tidak jatuh cinta pada Hansel?

Aduh ribet sekali, Rara.

Maksudnya...mana mungkin Rara tidak jatuh cinta pada Hansel sementara yang dilakukan laki-laki itu adalah hal-hal manis yang membuatnya ingin menangis kalau saja benar Hansel telah memiliki seorang kekasih?

Kalau sudah punya pacar, kenapa Mbak Nana ngotot sekali menyuruhnya menjadi tutor Rara? Bagaimana kalau pacarnya cemburu pada Rara?

Ya ampun, Rara. Memangnya Kak Hansel suka sama kamu? Pede banget.

“Sampai,” seru Hansel mengembalikan penuh kesadaran Rara. Mengantar kembali jiwanya yang berkelana pada berbagai praduga tentang Hansel dan hubungan merah muda laki-laki itu.

“Makasih ya, Kak Hansel. Besok sore ketemu lagi. Ada tugas tambahan?”

“Sama-sama. Gak ada.”

“Oke, Kak”

“Gak ada.”

“Iya aku denger, Kak.”

“Pacar. Maksudku pacar. Aku gak ada pacar.”

“Oh...iya.”

Apa ini?

Kupu-kupu sialan itu kembali turun ke perut padahal tadi sudah di pangkal lidah siap dimuntahkan. Dan seulas senyum dengan mudahnya menghiasi wajah manis Rara.

“Kenapa senyum gitu?”

“Eh? GAK APA-APA KOK. AKU PAMIT KAK.”

Rara buru-buru membuka pintu. Sekali lagi melambaikan tangan pada Hansel sebelum berlari bergegas masuk ke rumah.

“Rara!”

Langkah Rara terhenti tepat sebelum ia menutup kembali pintu pagar. Mendapati sosok Hansel dengan plastik toko buku yang mereka sambangi tadi.

“Bukunya ketinggalan.”

“Makasih, Kak.”

“Ra.”

“Iya. Ada lagi, Kak?”

Hansel mengusap tengkuknya. Lantas mengulas senyum pada Rara dan menggeleng.

“Gak apa-apa. Jangan lupa belajar tapi tetap jaga kondisi. Jangan sakit.”

“Oke, Kak.”

“Dan jangan dipikirin omongan orang. Aminkan aja.”

Rara mengerutkan kening. Tidak paham. “Maksudnya?”

“Ya aminkan saja omongan orang. Siapa tahu jadi doa.”

“Omongan orang yang mana?” Demi apapun Rara tidak paham kemana arah pembicaraan Hansel.

“Yang ngira aku pacar kamu.”

Dan ketika Rara akhirnya paham, ia tahu ada yang membara dalam dada. Kadar dopamin dalam dirinya tumpah ruah. Bahkan ketika Hansel melambaikan tangan seadanya lalu melenggang pergi begitu saja—oh Rara sempat melihat telinganya yang merah pekat—Rara sadar bahwa ia punya dominasi kesempatan untuk—paling tidak—tidak merasakan jatuh cinta bertepuk sebelah tangan.

Iya, terima kasih kupu-kupu dalam perut.