Validasi

Tags // harsh words

⚠️ Beberapa adegan dalam cerita ini tidak untuk ditiru. Mohon kebijaksanaan pembaca

Demi kolor patrick Abang Harsa, Belia capek banget. Betulan capek.

Salah dugaan Belia jika si senior bedak sekilo itu sudah kapok mengusilinya. Salah besar. Sebab kali ini sasarannya adalah loker Belia yang diisi sampah.

Jadi cewe jangan kegenitan

freak!!!

“Bel—bentar, kenapa loker lo?”

“Jesus Christ!”

Jihan dan Shelyn yang menghampiri terkejut bukan main melihat penampakan loker karib mereka yang dipenuhi sampah. Oleh karena pekikan Shelyn barusan, tentu saja mengundang perhatian siapapun yang sedang lewat di sekitar situ.

Belia menarik napas dalam, lantas menghembuskan perlahan. Jihan dan Shelyn sudah dapat menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Terlebih ketika kaleng minuman bersoda kosong itu diremat oleh Belia untuk kemudian membanting pintu lokernya dan berjalan ke arah kiri.

“Jihan lo ikutin Belia. Gue mau foto ini buat bukti laporan ke BK sama minta rekaman CCTV ke keamanan.”

Menuruti arahan Shelyn, Jihan lekas berlari mengikuti langkah Belia yang penuh keyakinan. Berjalan menaiki anak tangga. Sesekali menubruk bahu siapapun termasuk Jehan.

Iya. Jehan sampai tersentak karena saat dipanggil namanya pun Belia tidak menggubris.

“Jihan?”

“Oh, Kak. Kalau mau tanya kenapa nanti aja atau lihat aja di loker ada Shelyn. Bye. Bel!”

Jihan terengah-engah. Lari bukan passionnya. Dan mengikuti Belia sampai ke ruang kelas XI-4 IPS betul-betul menguras tenaga.

Dan semakin menguras tenaga begitu melihat Belia masuk begitu saja ke ruang kelas itu, menghampiri sekumpulan siswi perempuan yang tengah cekikikan di satu sudut kelas.

Kedatangan Belia—dan Jihan di belakangnya—jelas menarik perhatian penghuni kelas itu. Terlebih yang menjadi tuju Belia adalah gadis-gadis yang sudah sangat terkenal seantero sekolah sebagai troublemaker.

“Apa nih?” Si gadis bedak sekilo masih duduk santai di kursinya ketika Belia datang dan melempar tanya sinis menatap Belia dari atas sampai bawah.

Lantas terkejut ketika Belia melemparkan kaleng minuman bersoda ke hadapan wajahnya.

“Bel!” Jihan panik. Mencoba menarik lengan Belia namun gagal.

Untuk kemudian Jihan teringat karibnya adalah pemegang sabuk hitam 2 Dan.

“Sialan!” Tindakan Belia tentu saja mengundang amarah si bedak sekilo. Yang semula duduk jadi berdiri menatap Belia tanpa rasa takut meskipun Belian lebih tinggi.

“Lo yang sialan. Kurang ajar. Gak bisa bedain tempat sampah sama loker.”

“Loker lo mirip tempat sampah.”

“Bagus. Siapapun yang rekam, makasih. Gue cuma butuh senior kurangajar ini ngaku kalau dia yang ngotorin loker gue.”

Belia pun balik diri. Bermaksud pergi dengan Jihan yang sedikit lega karena Belia tidak mengeluarkan jurus-jurus apapun.

“Brengsek! Cewek kecentilan!”

“Hell no!” pekik Jihan ketika menyaksikan sendiri di depan matanya si bedak sekilo menjambak rambut Belia dari belakang. Namun Belia dengan kelenturan tangannya lekas memutar tangan si senior dan menguncinya.

“Ahhrgg sakit brengsek!”

“Mau gue patahin gak tangannya? Biar gak buang sampah sembarangan lagi?”

“Heh lepas!” Teman-teman si bedak sekilo mencoba melepaskan tangan leader mereka dari Belia.

“Bel udah, Bel.”

Belia pun menurut Jihan. Melepas tangan si bedak sekilo. Namun memang dasarnya sok jagoan, si bedak sekilo ini melayangkan tangannya untuk menampar Belia.

Suara tamparan itu benar-benar kencang. Siapapun yang mendengar suaranya pasti bisa membayangkan seperti apa panasnya di pipi. Tetapi tamparan itu tak pernah mendarat di wajah Belia.

“K-kak Je-jehan...?” Si bedak sekilo terkejut bukan main. Sebab tamparan keras itu mendarat di pipi Jehan.

Belia sendiri pun terkejut dengan kehadiran Jehan yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Menengahi ia dan si bedak sekilo. Sementara Jihan yang sedari tadi menyaksikan semua kejadian ini jadi sakit kepala dan lemas.

Jehan menghela napas. “Lo benar-benar gak ada capek-capeknya, ya?” Tatapan tajam Jehan sepenuhnya mengarah pada si bedak sekilo dan antek-anteknya.

“Gue gak suka aja dia kecentilan sok dekat sok akr—”

“Apa salahnya ada orang lain yang deket dan akrab sama gue? Apa salahnya pacar gue sendiri akrab dan deket sama gue?”

Belia terbelalak mendengar kata-kata Jehan barusan.

Apa? Pacar gue katanya.

“Bohong!”

“Lo dan obsesi gak sehat lo ke gue. Gue benar-benar muak. Harusnya gue gak berbaik hati waktu itu ngebiarin lo masih berkeliaran di sekolah ini.”

“Kak Jehan.”

“Get ready! Say goodbye to this school!”

Jehan berbalik. Menarik Belia keluar dari ruang kelas itu. Sementara Jihan buru-buru ditarik kembarannya—Gio, yang entah sejak kapan sudah berada di sana—sebelum ia betul-betul pingsan di tempat.

Tak lama kemudian guru BK datang bersama Shelyn. Memanggil si bedak sekilo dan antek-anteknya. Kemudian berpesan pada Shelyn untuk menyuruh Belia turut ke ruang BK.


Lapangan Basket indoor itu sepi. Tidak ada jadwal latihan setelah pukul 2 siang ini. Hanya ada Belia dengan tongkat pel.

Belia tetap menerima tindakan kedisiplinan dari pihak sekolah sebagai akibat penyerangan yang ia lakukan tadi meskipun sebagai pertahanan diri. Belia tidak masalah. Ia menyadari kalau sikapnya tadi memang sedikit kelewatan.

Namun si bedak sekilo memang layak menerimanya. Kalau tidak ingat Mama dan Papa, mungkin Belia tadi betulan mematahkan tangan si bedak sekilo.

Sementara bedak sekilo dan antek-anteknya akan menjalani sidang komite sekolah 2 hari lagi sebagai penentuan apakah mereka akan tetap di sekolah ini atau dikeluarkan. Sebab masalah seperti ini bukan kali pertama terjadi. Belia hanya korban ke sekian dan apes untuk mereka karena salah pilih korban.

Setengah lapangan telah dipel oleh Belia ketika ia mendengar suara derit pintu di buka. Jehan. Datang dengan segulung kertas di tangan.

“Diam di situ jangan bantuin gue!” Belia menodongkan tongkat pel ke arah Jehan. Ia tahu laki-laki itu datang untuk membantunya.

“Oke. Gue duduk.” Jehan mengangkat kedua tangan lantas mundur beberapa langkah untuk kemudian duduk di kursi untuk pemain basket dan pelatihnya.

Belia meneruskan mengepel lapangan basket sementara Jehan sibuk membaca kertas yang entah apa Belia tidak paham.

“Kertas apa?”

“Daftar kuliah.”

“Ooh.”

15 menit sampai Belia akhirnya bisa duduk bersebelahan dengan Jehan. Buru-buru Jehan menggulung kembali kertas di tangan dan memasukkannya dalam tas sebelum Belia sempat mengintip—paling tidak logo kampusnya.

“Minum dulu.” Jehan ulurkan sebotol air mineral kepada Belia yang diterima si gadis beriring ucapan terima kasih.

Duduk di sisi kanan Jehan membuat Belia melihat dengan jelas bekas kemerahan di pipi Jehan. Botol air mineral dingin itu pun Belia tempelkan di pipi Jehan hingga si empunya tersentak.

“Bel.”

“Panas banget pasti pipinya perih. Bener-bener orang itu tenaganya kayak setan,” gerutu Belia yang membuat Jehan terkekeh.

“Kakak kok bisa tahu gue di sana? Kok bisa tiba-tiba muncul?”

“Ngikutin lo aja habis nubruk gue.”

“Eh? Gue nubruk lo Kak? Dimana? Maaf gue kesel banget tadi jadi udah bodo amat.”

“Masih kesel gak sekarang?”

“Masih soalnya pipi lo jadi korban.”

“Gak apa-apa. Habis ini dia udah gak di sekolah ini.”

Belia masih di posisinya. Menempelkan botol dingin di pipi Jehan. Tetapi tiba-tiba satu tetes air mata mengalir di pipinya.

“Bel, kenapa?”

Belia menggeleng. Menarik tangannya dari pipi Jehan untuk mengusap pipi. Sayangnya airmata itu enggan berhenti.

“Belia.”

“Ish jangan lietin gue, Kak.”

“Oke gak gue lietin.”

Jehan sedikit panik tentu saja. Ia pun memutuskan untuk duduk membelakangi belia.

“Lo gak mau gue lihat lo nangis kan, Bel? Lo bisa nangis di punggung gue.”

“Gak apa-apa?”

“Gak apa-apa.”

Belia pun mendaratkan keningnya di punggung Jehan lantas menangis tersedu-sedu.

“Kenapa? Lo sedih kenapa?”

“Gara-gara gue jadi ada orang yang dikeluarin dari sekolah.”

“Bukan salah lo, Bel. Emang dia udah terlalu sering bikin masalah buat dirinya sendiri, orang lain dan sekolah.”

“Gue sebel banget berantem sama orang gara-gara cowok. Norak ya, Kak?”

“Gak norak dan enggak, Bel. Lo berantem bukan gara-gara cowok. Lo berantem karena kehidupan lo diganggu sama psycho.”

“Gue freak banget!”

“Ini lagi apaan. Jangan ngomong gitu.”

“Rambut gue rontok dijambak.”

“Gak apa-apa lo masih tetap cantik—Arrgh Bel jangan dipukul punggung gue.”

“Lo sampai harus bohong bilang gue pacar lo.”

“Kan emang lo pacar gue.”

“Eh?”

Belia mengangkat kepalanya dari punggung Jehan. Membuat yang lebih tua berbalik menatapnya. Si gadis yang kini hidungnya merah dan matanya sembab.

“Kenapa?”

“Lo yang bener, Kak? Kan mau ujian?”

“Ya gak apa-apa? Memangnya kenapa?”

“Lo yakin?”

“Yakin.”

“Yakin gue terima?”

“Yaki—eh gue ditolak ya?”

Ekspresi bingung Jehan sontak membuat Belia terpingkal. “Gue gak nolak sih.”

Helaan napas lega rilis dari Jehan yang kemudian ikut tertawa bersama Belia. Sebuah ikrar pacaran yang sedikit aneh tetapi akan selalu meninggalkan kesan yang erat membekas di benak.

“Mau pulang atau masih mau nangis?”

“Pulang.”

“Oke.”

Hari ini, 3 bulan sebelum pelaksanaan ujian untuk kelas akhir, Belia dan Jehan benar-benar pacaran.

–.-