Waktu Lagi Sedih [8]

Jeongin x Yuna

Yuna itu selalu cantik mengenakan apapun. Apalagi warna-warna cerah seperti kuning. Hari ini pun begitu. Menemani Jeongin menghadiri pernikahan sepupunya berbalut dress kuning yang manis.

Tetapi sorot di matanya berbanding terbalik dengan pancaran aura menyenangkan dari tindak tanduknya. Yuna terlihat kurang baik dan Jeongin terlambat menyadarinya.

“Maaf ya. Kayaknya mending tadi aku gak ngajak kamu aja ya,” ujar Jeongin ketika akhirnya ia memiliki kesempatan berbincang dengan Yuna. Sebelumnya Yuna sepenuhnya disabotase oleh Ibu dan para bibi yang memang sangat senang mengobrol dengan Yuna.

“Kenapa Kakak ngomong gitu? Kakak mau bawa selingkuhan ya?”

“Hush sembarangan kalau ngomong.” Yuna tertawa tapi tidak dengan matanya.

“Kamu kelihatan lagi punya emosi lain.”

“Yuna!”

Belum sempat Yuna menjawab, satu suara telah lebih dulu tertangkap rungunya. Salah satu sepupu Jeongin rupanya. Ganti menyabotase pacarnya.

“Nanti aja aku ceritain ya.” Bisik Yuna sebelum ia pergi dibawa sepupu Jeongin untuk entah apa.

Sepanjang sisa acara, Jeongin berusaha memikirkan alasan kehadiran emosi lain dalam diri Yuna. Terakhir kali yang Jeongin tahu, Yuna sedang menggebu-gebu mengerjakan sebuah karya ilmiah untuk diajukan dalam kontes yang diselenggarakan kementerian pendidikan tinggi. Jeongin ingat Yuna sampai melarangnya mengajak pergi apalagi berkunjung karena ia benar-benar fokus dari mulai riset hingga penyusunan. Gak ada waktu pacaran, katanya.

Setelah acara berakhir, Jeongin segera menarik Yuna dan pamit dengan cepat pada keluarganya. Ia khawatir Yuna semakin kelelahan jika harus meladeni sepupu-sepupu Jeongin yang lain—yang sebenarnya masih ingin mengajak Yuna bermain.

“Jadi bingung ini sebenarnya yang saudara aku apa kamu kayaknya pada lebih asyiknya sama kamu ya. Mana disabotase aku berasa datang kondangan sendiri,” keluh Jeongin saat keduanya sudah berada di mobil. Yuna tertawa menanggapi.

“Aku juga bingung sebenarnya. Tapi bibi-bibinya Kakak seru-seru orangnya. Sepupu-sepupu juga asyik.”

“Aku tuh baru inget kamu habis ngerjain karya ilmiah, Malah jadi nanggap banyak orang tadi. Capeknya jadi berkali lipat.”

Tidak ada respon dari Yuna selain helaan napas.

“Kenapa malah menghela napas?”

“Aku sedih gara-gara karya ilmiah itu,” aku Yuna akhirnya.

“Lho? Bukannya kemarin kamu antusias banget?”

Yuna mengangguk membenarkan. “Awalnya gitu. Yang ikut tuh 5 orang kan. Aku gak lolos. Oke gak apa-apa. Yang bikin kesel dan sedih tuh karena yang dilolosin ponakannya salah satu dosen pembina. Aku bakalan terima dengan lapang dada kalau bukan dia yang lolos sebab yang lainnya sama kayak aku kak prosesnya. Sementara dia, di saat kita riset cari referensi sana sini dia malah asyik clubbing, liburan juga. Gak pernah keliatan ngerjain. Gak pernah keliatan susah payah lah,” tutur Yuna menggebu-gebu. Wajahnya sampai merah padam, tetapi matanya berkaca-kaca.

“Mungkin dia susah payahnya sembunyi-sembunyi.”

Yuna menatap tajam pada Jeongin yang fokus menyetir. “Aku udah gak bisa berpikiran positif lagi tentang dia.”

Sangat ketus. Kalau sudah begini, hanya ice cream yang mampu mendinginkan kepala Yuna yang sudah mendidih oleh amarah.

Siapapun jelas jengkel ketika usahanya tidak dihargai. Untuk kasus Yuna, malah seperti tidak ada artinya meluangkan waktu berhari-hari kalau pada akhirnya jalur orang dalam lebih mulus dilewati. Ya...begitulah realita yang kerap ditemui. Sukur-sukur bisa dapat hasil yang baik. Namun biasanya hasil baik itu tak akan bertahan lama.

Sesuatu yang diawali dengan tidak baik, bukan tidak mungkin berakhir dengan lebih buruk lagi. Cepat atau lambat, kebusukan seperti itu pasti akan terungkap.

“Pokoknya aku masih gak ikhlas!” Sekali lagi Yuna tegaskan.

Kini keduanya sudah duduk bersisian di salah satu bangku taman. Menikmati pemandangan sore berteman satu cone ice cream vanilla di tangan masing-masing.

Jeongin mengangguk paham menanggapi. “Aku juga gak terima usaha pacarku gak dihargai. Tapi lebih gak terima lagi kalau pacarku sedih hanya karena hal kayak gitu. You deserve better, right? Team up aja sama temen-temen kamu yang lain. Kalian bisa ikutin karya ilmiah kalian di kontes lain. Tingkat internasional mungkin? Yang diadain ivy league misalnya.”

Yuna terdiam. Menatap Jeongin tak percaya. Es krim di tangan diabaikan. Netra fokus pada Jeongin yang masih tak terusik oleh tatapannya.

“Kenapa aku gak kepikiran kayak gitu?”

“Ya….karena kamu lebih dikuasain amarah. Jadi susah buat berpikir logis. Benar atau benar?” Yuna mengangguk.

Jujur, Jeongin sebenarnya asal bicara, Tetapi entah mengapa Yuna jadi terlihat lebih antusias. Binar-binar ambisi yang membara di sorotnya kembali hidup. Seakan Jeongin baru saja menyiramkan secawan emisi pada kobaran yang sempat meredup.

“Harusnya aku cerita sama Kakak dari kemarin-kemarin ya. Jadi waktunya gak kebuang sia-sia.”

“Gak apa-apa. Kan kita juga baru sempat ketemu. Kalau kamu lupa, kamu sendiri kan yang ngelarang aku temui.”

“Hehehe… iya sih, Tapi makasih ya, Kak. Aku mau balas dendam sama mereka yang udah curangin aku sama temen-temenku.”

“Gak usah aja.”

“Kenapa? Kan tadi kakak yang usulin.”

“Nanti aku gak boleh nemuin kamu.”

“Hehe..kali ini boleh kok. Soalnya Kakak yang ngasih usulan. Hehe...once again makasih usul dan es krimnya, Kak.”

Sepertinya Jeongin jadi kelebihan glukosa. Perpaduan Es krim dan senyum Yuna ternyata tidak cukup baik untuk stabilitas gula darahnya. Tapi paling tidak, gadisnya sudah tidak sesedih tadi.

—end—