piechocolix

she writes as memories....

a baby step

Agaknya percakapan terakhir di chat 3 minggu lalu membuat Jehan mengambil satu langkah ke belakang. Pun tindak tanduk Belia padanya 3 minggu terakhir ini—membalas pesan seadanya, tidak menyapa atau membalas sapaan saat berpapasan di sekolah—semakin meyakinkan Jehan untuk tidak lebih jauh melangkah.

Barangkali memang sedari awal keduanya bertukar nama hanya untuk berkenalan. Barangkali bertukar nomor ponsel pun hanya untuk menjalin relasi baru tanpa menjurus pada kisah kasih picisan.

Atau mungkin Jehan terlalu terburu. Sungguh Jehan benar-benar tidak tahu langkah seperti apa yang harus ia ambil. Ini pertama kali untuknya dan sangat asing.

Semua kemungkinan-kemungkinan itu sirna begitu ia menemukan sosok si jangkung di antara kerumunan penonton. Iya, Belia betulan datang di panggung terakhir D'Ordie sebelum mereka vakum sementara waktu untuk persiapan 4/6 membernya Ujian Akhir.

Haruskah Jehan kembali menginjak pedal gas atau bertahan di pedal rem untuk waktu yang lebih lama?


Belia, bisa ngobrol bentar?

Pesan itu entah sudah berapa kali Belia terima dari Jehan selama 3 minggu terakhir dan hanya dia biarkan begitu saja. Belia sadar bahwa dia sudah lebih dulu tertarik pada Jehan sementara sendiri telah bertekad untuk tidak memacari anak kelas akhir.

Konyol sebenarnya. Tapi mengingat insiden bersama si bedak sekilo dari kelas 11 waktu itu dan keambiguan yang ditinggalkan Jehan membuat Belia memilih menjauh. Meskipun ia tetap datang menyaksikan D'Ordie tampil sebelum vakum—Jihan sedikit memaksa untuk mereka berangkat nonton.

Satu lagi.

Belia merasa ini terlalu terburu. Atau mungkin dia terlalu percaya diri bahwa Jehan memang menyukainya.

Entahlah.

“Belia.”

Belia nyaris mengumpat ketika melangkahkan kaki keluar ruang kelas dan sosok Jehan sudah berdiri bersandar tembok depan kelasnya. Shellyn yang awalnya mengamit lengan Belia, melepasnya. Jihan yang menyusul keduanya pun sedikit terkejut dengan kehadiran Jehan.

“Bisa ngobrol bentar?”

Belia menghela napas. “Gue mau per—”

“Gak gak. Udah Kak bawa aja Belianya.” Jihan segera memotong kalimat Belia dan lekas menarik tangan Shellyn menjauh.

“Ji!” Belia mendelik. Sementara Jihan mengedipkan sebelah mata dan tersenyum lebar.

“Kita duluan ya.”

Jihan dan Shellyn berlalu setelah melambaikan tangan. Tinggalkan Jehan dan Belia berdiri canggung menghadap satu sama lain.

“Mau ngobrolin apa, Kak?”

“Ayo ikut bentar.”

“Disini aja.”

Jehan menghela napas. Edarkan tatap pada sekeliling keduanya. Belia turut melakukan hal yang sama. Lantas menyadari bahwa tempat ini—di depan kelasnya—bukan tempat yang tepat untuk membicarakan hal serius.

“Oke. Mau dimana?”


Belia menyerah. Mengikuti Jehan yang kini membawanya duduk di selasar gedung perpustakaan. Tempat yang tidak begitu ramai untuk mengganggu keduanya berbincang dan juga tidak terlalu sepi untuk membuat Belia merasa tidak nyaman.

“Jadi?”

Belia membuka percakapan dengan satu kata bernada tanya. Menginginkan Jehan untuk tidak perlu berbasa-basi. Kalian boleh katakan Belia gadis muda yang Tidak sabaran—meski memang benar begitu adanya. Tetapi sungguh 3 minggu ini pun Belia merasa bersalah karena ... Ya ia tidak semestinya menghindar dari Jehan bukan?

“Soal yang di UKS ... gue pikir lo cukup pintar membaca makna tersirat dari kata-kata gue waktu itu.”

“Lo naks—”

“Jangan potong omongan gue dulu, Bel.”

“Oke...maaf.”

Jehan benarkan posisi duduknya. Sedikit condong menghadap pada Belia yang ada di sebelah kirinya. Belia pun melakukan hal yang sama agar lebih mudah untuk keduanya saling menatap.

Belia sudah sempat menceritakan permasalahannya ini pada Kak Jejel—meski dia harus kehilangan satu minggu jatah uang sakunya sebagai upah tutup mulut Jejel agar tak sampai telinga Harsa. Jika suatu hari Belia ada waktu untuk bicara empat mata dengan Jehan, maka tatap tepat di matanya. Begitu saran Jejel.

“Mata yang jujur emang kayak gimana?”

“Ih, pokoknya nanti lo bisa ngerasain kok Bel mana yang main-main dan mana yang betulan.”

“Ya tapi kayak gimana?”

Belia tidak tahu seperti apa sorot mata yang tak berbohong. Yang ia tahu saat ini punggungnya mendadak panas dingin. Perutnya penuh dan ia mual. Sungguh sepertinya Belia siap melebur menjadi debu dan menari di udara oleh tatapan Jehan.

“Am I moving too fast?” Satu tanya mengudara dari Jehan. Belia mengedikkan bahu sebagai jawaban.

Tidak tahu. Belia tidak tahu apakah semua yang terjadi antara ia dan Jehan ini termasuk cepat. Berkenalan, tukar pesan, pulang bersama dan mengobrol ringan di depan indoapril sembari minum teh boks dan buah pisang.

Apakah hal-hal itu bisa menumbuhkan benih semudah itu

Semua memang baru terjadi sekali. Tapi begitu melekat di ingatan. Dan masing-masing berharap hal itu bisa terulang lagi.

“Gue boleh nanya, Kak?”

Demi apapun kuriositas Belia sudah tumpah ruah di atmosfer. Ia hanya ingin jawaban pasti agar ia pun bisa memberi konklusi.

“Lo suka sama gue, Kak?”

“Iya.” Tanpa ragu, tanpa jeda Jehan menjawab.

Belia mengangguk. Paling tidak ia tahu perasaannya bukan sepihak. Paling tidak dua telapak tangan itu saling menepuk. Meskipun—

“Gue juga suka sama lo, Kak. Tapi gue gak mau pacaran sama anak kelas tiga.”

—Belia dan idealisme bodohnya. Masih bersemayam damai di jiwanya.

“Kenapa?”

“Nanti gue diputusin waktu mau Ujian.”

Jawaban yang terdengar konyol itu serta merta membuat Jehan tertawa. Belia juga ikut tertawa karena—remaja jatuh cinta memang begitu ya—tawa Jehan terdengar menyenangkan.

“Kenapa lo bisa berpikiran begitu?”

“Kakak gue dulu juga pacaran sama anak kelas 3 dan diputusin karena dia mau fokus ujian.”

Lagi-lagi Jehan tertawa. “Menurut lo sendiri, apa gue tipikal orang yang bakalan mutusin pacarnya karena ujian?”

Belia hendak menggeleng. Namun urung dan memilih mengedikkan bahu untuk yang ke 271204 kali sore ini.

“One last question then. Gue pikir awalnya lo bolehin gue maju karena lo juga suka sama gue. Tapi keadaannya gue udah di kelas 3 dan lo gak mau pacaran sama anak kelas 3. Jadi, gue boleh maju atau gue harus mundur?”

Belia menghela napas. Ia bisa merasakan basah di telapak tangannya oleh perasaan gugup.

“Maju...kayaknya?”

“Kayaknya?”

Demi Tuhan pertanyaan ini jauh lebih sulit dari mengerjakan ulangan harian matematika. Jika disuruh memilih, Belia akan pilih menjawab 10 lembar soal matematika saja ketimbang harus menjawab pertanyaan ini.

“M—”

“Ayo gue antar pulang. Udah sore.”


Jika malam minggu awal bulan lalu Jehan mengantar Belia sampai depan rumah tanpa mematikan mesin motor, berbeda dengan sore ini. Ia mematikan mesin motor. Turun dari motor dan membantu Belia melepas helmnya.

“Lo jangan merasa terbebani sama pertanyaan terakhir gue tadi, Bel,” ujar Jehan sembari menyimpan helm yang dipakai Belia ke bagasi jok.

Belia menggeleng. “Gak. Malah gue yang kesannya plin-plan ya gak sih?”

“Gak juga. Lo cuma belum menemukan kecenderungan yakin lo kemana aja.”

“Iya mungkin gitu.” Belia mengangguk-angguk.

“Tapi lo bakalan membatasi gue buat deket sama lo gak, Bel?”

“Maksudnya?”

“Kalau lo gue ajak jalan, gue chat, atau gue antar pulang gini. Lo keberatan?”

Belia menggelang cepat. “Gak sama sekali. Gue oke-oke aja, Kak. Yang penting gak ganggu waktu bel—”

“BELIN?!”

“LAH ADEK GUE!?”

—well, Belin today is not the day.

—tbc—

—suatu siang di uks

Belia pikir urusannya dengan si kakak kelas sewaktu mos dulu sudah berakhir. Anak kelas 11 itu rupanya masih menyimpan dendam padanya. Belia tidak akan menyadari sampai beberapa menit lalu ketika dia terpeleset di tangga. Si perempuan yang melapisi parasnya dengan bedak—yang Belia yakini hampir satu kilo—itu sengaja menjulurkan kakinya saat Belia lewat hingga membuat si gadis terjatuh.

“Seru ya diboncengin gitaris D'Ordie?”

“Gak usah sok kecakepan cuma karena lo dibonceng sama Jehan. Lo gak lebih baik dari gue.”

“Brengsek!”

Banyak kesal Belia masuk ruang uks sembari menahan perih di lutut kanan. Berniat membersihkan luka karena tersandung tadi.

“Dasar cewe gak jelas. Gemes pengen gue jambak. Untung gue lagi gak mood ngeladenin orang,” gerutu Belia. Selain enggan meladeni, ia juga teringat Mama sempat dipanggil pihak sekolah pasca kejadian mos dulu.

Dan kalau sampai mama dipanggil lagi untuk urusan dengan manusia yang sama, sepertinya Belia harus menyiapkan koper dan mencari keluarga baru yang mau menerimanya.

“Ini mana sih perawat—MAMA!”

Saking sibuknya mencari kotak p3k sendiri, membuat Belia terkejut ketika gordyn salah satu ranjang dibuka dari dalam. Hadirkan sosok pemuda yang malam minggu lalu memboncengnya pulang.

“Kak Jehan? Lo sakit?” tanya Belia yang kini mendekati si pemuda.

Jehan menggeleng lalu menunjuk lutut Belia. “Lo yang sakit. Duduk sini. Gue ambilin kotak p3k.”

Bak kerbau dicucuk hidungnya, Belia menurut. Duduk di ranjang lain sementara Jehan mengambil kotak p3k dan kembali dengan menarik kursi agar lebih mudah untuk mengobati luka Belia.

“Sorry, Bel. Ini gue pegang kaki lo gak apa-apa kan?”

“Hmmm.” Belia mengangguk.

Luka itu bukan luka yang parah hingga berdarah-darah. Hanya goresan dan sedikit memar tapi cukup membuat perih.

“Lo boleh jambak gue kalau kerasa perih, ya.”

Jehan mulai membersihkan area luka dengan handuk yang telah direndam air hangat. Sementara Belia duduk di ranjang meringis menahan perih.

Tidak kok. Belia tidak berani menjambak rambut Jehan. Lebih ingin menjambak rambut anak kelas 11 tadi malahan.

“Gue gak tau lo bisa ngumpat juga ternyata.” Sembari mengobati luka, Jehan memulai obrolan.

“Lo denger tadi, Kak?”

“Iya.” Jehan mengangguk. Lantas menatap Belia sekilas dan kembali fokus pada lutut si gadis. “Emang yang kayak gitu layak buat diumpat,” lanjutnya membuat Belia mengerutkan kening.

“Yang kayak gitu?”

“Di tangga. Gue liet kok,” jawab Jehan santai.

Sementara Belia tidak santai lagi. Entah mengapa hatinya mendadak terasa pengap. Kekesalan itu sepertinya malah bertambah. Jehan melihatnya dijegal si anak kelas 11 dan hanya membiarkannya?

Oh, sepertinya Belia salah menilai seseorang. Dia pikir Jehan pemuda yang baik.

“Kenapa lo gak bantuin gue kalau lo liet?” tanya Belia sedikit ketus.

Jehan yang hendak mengambil plester menghentikan geraknya. Duduk tegap menatap Belia yang air mukanya terlihat kesal.

“Kenapa gue harus bantuin lo kalau lo bisa ngelawan dia sendiri?” jawab Jehan dengan tanya retoris.

Setelahnya Jehan ambil kembali plester dan mulai membuka pembungkusnya. Perlahan ia tempelkan plester tersebut di atas luka yang telah dibersihkan dan diberi betadine.

“Gimana tadi? 'Kalau lo ngerasa lo lebih baik dari gue, harusnya lo yang dibonceng Kak Jehan. See?'” Jehan terkekeh kecil. “Lo keren tadi, Bel.”

Jehan peragakan kembali gerakan tangan Belia hingga membuat wajah si gadis mirip kepiting rebus.

“Dia naksir lo ya, Kak?”

“Pernah nembak gue. Dan lo pasti tau apa jawaban gue.”

Belia manggut-manggut. Sampai tak sadar bahwa Jehan sudah sedari tadi selesai mengobati lututnya.

“Dia selalu datang dimanapun D'Ordie manggung,” Jehan lanjutkan cerita setelah meletakkan kembali kotak p3k di tempat semula.

“Setia banget.”

“Tapi perangainya kayak gitu. Lo belum seberapa, Bel. Ada yang pernah sampai pindah sekolah.”

“Dih. Freak banget jadi orang,” cibir Belia.

“Gue jadi mikir-mikir juga mau nerusin sama lo. Tapi lihat lo tadi, kayaknya gue bakalan maju sih.”

“M-maksud lo? Gimana, Kak?”

“Lo balik kelas gak. Ntar malam gue chat ya.”

—tbc—

—buah pisang dan tawa

Harus Jehan akui—dengan berat hati—bahwa Hansel memang lebih pakar urusan percintaan. Merelakan helmnya dibawa Jehan dengan dalih si adik pasti membutuhkannya. Oh, dia benar. Jehan butuh helm tambahan untuk mengantar Belia pulang.

Festival berakhir pukul 6. Belia ditarik Hanin ke tenda performer. Sambangi manusia-manusia yang beberapa saat lalu tampil di penghujung acara. Hanin berbincang santai dengan anggota D'Ordie. Sementara Belia berdiri canggung meski tak butuh waktu lama oleh Glenn—si pemimpin grup—yang lebih dulu mencairkan suasana. Membuat si gadis lebih nyaman.

“Bel, lo nanti balik sama Jehan kan?” tanya Hanin sehingga Belia mengerutkan kening.

“Ga—”

“Iya. Nanti gue anter pulang.” Belum sempat Belia menjawab, Jehan yang berdiri di memunggunginya—sibuk membereskan perlengkapannya—lebih dulu menyahut. “Sekomplek sama Hanin kan?” tanya Jehan untuk Belia dijawabnya dengan anggukan.

Inisiasi itu berujung pada keduanya yang kini berdiri bingung di hadapan motor Jehan. Tidak ada yang salah dengan motor Jehan. Masalahnya ada pada gitar yang dibawa Jehan.

Menurut Belia, ketika seseorang menggendong tas gitar itu sangat keren. Seperti pacar Kak Jejel—Kakak Perempuannya—yang kerap kali menggendong gitar di punggung saat main ke rumah.

“Siniin Kak gitarnya. Gue yang bawa.”

Jehan menggeleng berarti penolakan. “Ini berat banget, Bel.”

“Daripada ribet di tengah. Kan kita juga naik motor bukan jalan kaki.”

Tak dapat dipungkiri Jehan ragu. Namun si gadis lebih cepat merebut paksa gitar itu dari tangannya.

Dan hampir menjatuhkannya.

“Kan gue udah bilang berat.”

“Gak apa-apa, Kak. Gue biasa ngangkat galon kok.”

“Kan ngangkat. Bukan digendong di punggung begini galonnya.”

Pada akhirnya gitar itu tetap bertengger di punggung Belia. Tak lupa Jehan pasangkan helm untuk Belia yang kesulitan karena beban di punggungnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 7 ketika keduanya berhasil meninggalkan area festival untuk pulang. Bagi Belia, ini pengalaman pertamanya pulang lewat pukul 6 bersama orang lain—selain Abang Harsa dan Kak Jejel. Ada secuil perasaan asing membersamai perjalanan pulang petang itu. Tetapi Belia tetaplah Belia. Gadis muda dengan segunung kejujuran yang enggan untuk ia sembunyikan.

“Kak!” Belia coba panggil Jehan yang fokus ke depan tanpa suara. Karena tak ada sahutan, Belia memanggil sekali lagi sembari menepuk pundaknya.

“Hmmm? Apa Bel? Lo manggil gue?” sahut Jehan.

“Lo keren waktu main gitar.”

“Lo pengen makan pisang?”

“LO KEREN WAKTU MAIN GITAR!!”

“Oke.”

Kendati respon itu cukup singkat, tapi mampu membuat Belia merasa lega. Pujian itu telah tertahan sejak ia menyambangi tenda performer tadi bersama Hanin.

Sampai akhirnya motor Jehan berbelok menepi ke arah indoapril 24 jam tak jauh dari area perumahan tempat Belia tinggal. Ketika mesin motor telah benar-benar mati, tidak ada satu dari keduanya yang turun.

“Jadi mau beli pisang?” tanya Jehan yang membuat Belia mengerutkan kening. Lantas si gadis turun dari boncengan dan membetulkan tali tas gitar di pundaknya.

“Siapa mau beli pisang?”

“Lo tadi bilang mau beli pisang kan?”

“Hah?”

Demi Tuhan Belia bingung. Seingatnya, ia tidak pernah mengatakan ingin makan pisang—well. Kini Belia paham. Lantas terbahak sembari memegang perutnya.

“Kok lo malah ketawa, Bel?”

Belia melambaikan telapak tangan kanannya ke kiri dan ke kanan. “Bentar, Kak. Ini lucu banget.”

Perlahan Belia menenangkan diri. Menarik napas dalam, lalu dihembuskan. Sementara Jehan masih terpaku bingung.

“Gue tuh tadi bilang lo keren waktu main gitar. Bukan gue pengen makan pisang.”

Butuh 2 detik sampai Jehan ikut tertawa. Telinganya merah menahan malu. Sementara Belia lagi-lagi ikut tertawa.

“Ya udah lah, Kak. Udah terlanjur berhenti juga. Beli minum kali ya?”

“Gue aja yang beli.”

“Gak. Gue aja. Lo udah beliin gue tiket festivalnya. Sekarang biar gue bales biarpun gak setara.”

Dengan begitu, Belia melepas sebentar beban gitar di punggungnya. Lantas berjalan terburu ke dalam toko. Meninggalkan sebentar Jehan yang sedang memproses arti degupan jantungnya yang tak menentu saat Belia tertawa tadi.

-tbc-

MASA ANAK BAND SINGLE??

Empat kata lengkap dengan capslock berujung tanda tanya itu penuhi benak Jehan; gitaris D'Ordie yang paling pendiam. Empat kata yang ditanyakan oleh adik kelas yang baru sore tadi ia ajak kenalan.

Kalau Galih tahu Jehan yang mengajak Belia berkenalan lebih dulu, bukan tak mungkin gitaris D'Ordie yang satu itu menggelar syukuran bagi-bagi sembako dan bebek helm. Bagi Galih bisa mendengar satu kata/hari dari Jehan saja sudah lumayan. Dalam arti, Jehan memang masih hidup. Bukan jadi-jadian.

Jehan juga tidak mengerti dengan dirinya. Mengapa begitu sulit memulai suatu hubungan. Mengapa begitu sulit menyapa lebih dulu, atau bertanya lebih dulu. Bersosialisasi adalah tantangan terbesar dalam 18 tahun hidup seorang Jehan. Benar-benar bertolak belakang dengan ayahnya yang punya teman dimana-mana dengan beragam latar belakang ras agama serta pekerjaan.

Tetapi entah apa yang membuatnya berani menyebutkan namanya lebih dulu pada Belia. Si gadis yang baru menginjak bangku SMA. Yang beberapa hari ini memang sedang hangat dijodoh-jodohkan dengannya.

Sebuah progress yang mengarah pada hasil positif melihat Jehan si mayat hidup D'Ordie dengan gagahnya menolong Belia si anak baru yang berani melawan panitia MOS karena menghukum teman beda kelompok yang demam. Jehan tentu saja tidak tahu cerita itu. Ia sendiri sama seperti Belia; tidak menduga bahwa menolong si gadis yang hampir terpeleset itu malah berujung berkenalan dengannya di ruang musik.

Jehan semakin tidak mengerti mengapa dengan mudahnya menawarkan tiket untuk festival yang dihadiri D'Ordie awal bulan depan. Namun jika boleh terus terang, Belia meninggalkan kesan yang cukup mempengaruhi jam tidur Jehan.

“Je, lampunya masih nyala. Lo belum tidur?” Suara ketukan beriring kalimat tanya menyadarkan Jehan yang sedari tadi melamun di meja belajarnya. Adalah suara si sulung yang memanggilnya. Hansel.

“Apa, Kak?” sahut Jehan.

“Pinjem gitar dong.”

Dengan berat hati, Jehan bangkit. Membuka pintu kamar dan mendapati sosok kakaknya berdiri di depan pintu mengulas senyum lebar khasnya.

“Malam sabtu tumben gak nongki?” tanya Hansel yang kini sudah merebahkan diri di atas kasur adiknya. Sementara Jehan mengambil gitar yang biasa dipinjam si sulung.

Jehan menggeleng. “Banyak tugas buat senin.”

“Senin masih 2 hari lagi.”

“Biar besok kalau nongki gak kepikiran.”

Jehan mengulurkan gitarnya pada Hansel lantas kembali duduk di kursi meja belajarnya. Membuka ponsel alih-alih membuka buku. Mengundang rasa penasaran dalam diri Hansel.

“Lo ada pacar, Je?”

“Gak. Ini gue ngirim tugas ke Galih.”

“Masa anak band gak ada pacar?”

Satu pertanyaan dari si sulung mencuri perhatian Jehan. Ponsel ia letakkan kembali ke meja. Fokus perhatikan si sulung yang tengah menyetel gitarnya.

“Memangnya anak band harus punya pacar?” tanya Jehan.

Hansel dan Jehan hanya terpaut usia 2 tahun. Jika sauadara biasanya sering bertengkar karena jarak usia yang cukup dekat, tapi tidak dengan keduanya. Hansel memang usil, tapi Jehan itu luar biasa penyabar dan memang tidak suka membuat keributan sejak kecil.

“Ya gak harus sih. Gak cuma anak band. Siapapun gak harus punya pacar,” jawab Hansel. “Tapi lo ngerti stigma kan? Maksud gue stigma soal anak band yang “player” dan lain-lain karena suka tepe tepe di atas panggung?”

Jehan mengangguk. “Tapi gak bisa dipukul rata lah, Kak.”

“Lo kayak gak paham masyarakat kita aja, Je,” celetuk Hansel.

Hening mengisi ruangan itu. Hansel sibul kembali menyetel gitar sedangkan pikiran Jehan mendadak penuh—oleh entah apa.

“Kak.”

“Hmmm.”

“Lo tau gue susah hadapin orang baru kan?”

“Hmmm.”

“Kalau gue bilang gue habis ngajak kenalan dan ngobrol satu paragraf sama orang itu, lo percaya?”

Hansel menatap sang adik dan mengangguk yakin. “Hmm. Percaya.”

“Kenapa?”

Satu tanya itu mampu mengubah posisi Hansel yang semula duduk sila di atas kasur menjadi ke tepian. Gitar ia letakkan begitu saja di atas kasur sementara ia duduk di pinggiran dan menatap sang adik.

“Lo adek gue, Je. Kenapa gue percaya? Sebab artinya orang yang lo ajak kenalan itu emang menarik buat lo. Dan itu yang gue lakuin waktu pertama kali kenalan sama Caeris.”

“Gue juga susah kok ketemu orang baru,” lanjut Hansel. Tapi waktu pertama kali ketemu Caeris, yang di pikiran gue cuma “gimana caranya biar dia tahu ada manusia bernama Hansel yang tertarik sama dia” gitu.”

Jehan mengerutkan kening. Masih belum bisa terima penjelasan Hansel.

“Gue gak naksir sih,” elak Jehan. Sebab ia sendiri tidak yakin.

Apa memang terbayang orang itu setiap sebelum tidur artinya kita sedang menyukainya?

“Terus kenapa lo ajak kenalan?”

“Gue cuma nyebutin nama gue doang sebenernya.”

Jawaban polos Jehan sepertinya tak memberikan kepuasan untuk Hansel. Wajahnya sangsi menatap si bungsu.

“Maksud gue, ya...karena dia nerka-nerka nama gue sambil jalan. Ya sudah gue sebut nama gue yang benar.”

“Kalau ngobrol satu pragaraf?”

Jehan menghela napas. “Okelah. Gue kalah. Gue gak ngerti juga kenapa gue penasaran sama dia dan—”

“Karena lo tertarik.” Titik. Hansel membetulkan posisi duduknya agar lebih tegap.

“Je, lo bentar lagi lulus SMA. Emang gak harus punya pacar. Tapi kalau hari itu tiba—hari dimana lo ngerasa tertarik sama seseorang, jangan dielak. Bisa aja jadi inspirasi buat lo atau paling gak ada cerita baru tentang masa SMA yang bisa lo kenang pas udah dewasa nanti.”

Jehan termangu.

Apa iya ini yang orang-orang bilang naksir?

“Boys, Ayah pulang nih bawa martabak!”

Suara dari bawah menyadarkan kedua kakak beradik itu. Saling tatap untuk kemudian berlari berebut meraih pintu kamar Jehan.

“Ayah, Jehan akhirnya punya crush!!”

“HANSEL!!”

“Kakak, Je.”

—tbc

###Apa Serunya???

“Apa serunya dari menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”

Belia merutuk sepanjang jalannya menuju ruang musik. Akhir-akhir ini, sekolah sedang hangat oleh cerita tentang dia sendiri dengan seorang siswa tingkat akhir yang sempat membantunya saat membawa setumpuk buku tugas yang harus dikumpulkan ke ruang guru.

Ya bagaimana tidak dibantu, Belia saja hampir terpeleset karena lantai yang baru saja dipel oleh petugas kebersihan akibat galon yang pecah. Dan saat itu, kebetulan si kakak kelas lewat dan bergerak sat-set-sat-set membantunya kembali seimbang.

Dan siapa sangka ada saja makhluk sekolah yang memotret momen itu hingga menjadi topik hangat seminggu terakhir.

Tolong nih ya...Belia tidak kenal. Waktu itu hanya sempat ucap terima kasih karena si kakak kelas juga diam membisu. Sudah diam membisu, gak berekspresi apa-apa pula.

“Doi emang pendiem banget, Bel. Tapi gue denger-denger nih kalau lagi manggung, beeuuhh keren banget. Jago banget doi gitarnya. Gak apa-apa kali aja cocok sama lo. Saling melengkapi tuh lo kan bar-bar,” ujar Jihan yang menurut Belia sangat-sangat tidak penting.

“Siapa sih namanya? Jenal? Jere? Jehan? Jco? Je—MAMA!!” Belia memekik begitu masuki ruang musik. Ia pikir baru saja melihat penampakan hantu ruang musik yang suka pegang gitar di kursi pojok.

Itu si kakak kelas. Yang sepanjang jalan tadi ia pikirkan.

“Gue kira gak ada orang. Maaf, Kak,” ucap Belia seiring langkahnya menuju loker di ruang musik.

Bukannya menjawab atau merespon, si kakak kelas malah membereskan gitarnya. Seakan bersiap untuk pergi dari ruang itu.

“Eh, Kak. Gue ganggu Kakak latihan ya?”

Belia jelas merasa tidak enak. Seakan jedatangannya benar-benar mengusik suasana latihan mandiri gitaris D'Ordie—band kebanggaan sekolah yang juga kerap menerima undangan untum tampil dari luar sekolah.

”....”

Lagi. Tak ada respon.

“Gak apa-apa kok, Kak. Gue cuma mau ambil buku paranada gue yang ketinggalan kok.”

Belia masih belum membuka lokernya. Pandangan terarah sepenuhnya pada sosok laki-laki yang memunggunginya dan tengah berkutat dengan tas gitarnya.

”....”

Kalau boleh jujur nih, Belia sebetulnya sudah agak merinding. Barangkali sosok ini memang benar hantu ruang musik?

Well....gak ada salahnya Belia menatap ke arah kaki. Oke, lega. Paling tidak dia menapak di lantai. Jadi ini memang si kakak kelas yang—

“Jehan.”

—apa?

“Iya, Kak?” Belia merespon dengan tanya. Ingin memastikan bahwa memang kakak kelasnya sedang berbicara.

“Gue Jehan. Gak sengaja dengar gumaman lo tadi.”

“Eh? Ya, Kak. Maaf. Gue—”

“Belia. Akhir-akhir ini gue juga sering denger nama lo.”

Bukan. Belia bukan ingin memperkenalkan diri. Tapi iya juga sih. Maksudnya, sebenarnya Belia ingin minta maaf karena ternyata gumamannya itu bukan menggumam. Lebih tepatnya ia berbicara dengan diri sendiri.

Dan dengan suara yang keras. Kalau sekedar menggumam, harusnya si Jehan Jehan ini gak sampai dengar lah rutukannya.

Ya Tuhan, Belia sekarang malu. Jujur.

Ketika akhirnya Belia berhasil menemukan buku paranadanya, lekas ia masukkan buku itu ke dalam tas. Bersiap untuk pamit pada Jehan yang—oke sekarang laki-laki itu malah pindah duduk tak jauh dari pintu. Memangku gitar yang sudah terbungkus tasnya.

Manis sih. Tapi Belia tidak suka rambutnya. Panjang banget gemas ingin cukur jadi gundul.

“Lo ambil ekskul musik?” tanya Jehan. Menatap lurus pada Belia yang masih berdiri di depan loker.

“Iya, Kak.”

“Good luck then.”

“Thanks, Kak. Gue—”

“Btw—”

Demi Tuhan Belia ingin segera pulang. Namun, entah dorongan apa yang malah membuatnya mendekati si kakak kelas lantas menarik kursi dan duduk berhadapan.

“Apa serunya menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”

Ini manusia apa hantu. Sepertinya Belia salah ambil keputusan. Seharusnya ia tadi melenggang pergi saja dan abaikan sosok ini biar sendiri sepi bersama gitar yang menemani.

Pertanyaan itu...pertanyaan yang sama dipikirkan Belia sejak keluar dari kelas tadi.

“Kakak tau soal itu?“tanya Belia ragu-ragu.

“Gue punya telinga dan ponsel, Belia,” jawab Jehan yang membuat Belia merasa sedikit bodoh.

“Ah...ya.”

“Kita seperti hujan di kemarau. Tau seperti apa panasnya kemarau kan?” Belia mengangguk. Tatapan penuh fokus pada Jehan yang bertutur. “8 jam, kadang 10 jam full di sekolah. Pelajaran memuakkan, kegiatan melelahkan. Semua menguras pikiran. Lantas momen dimana tidak sengaja kita tertangkap kamera, seperti membawa udara segar. Pelipur lara untuk isi kepala yang sedang membara.”

“Wah....”

“Wah??”

“Untuk ukuran orang yang katanya pendiam, Kakak hebat juga ya kata-katanya.”

Jehan mengulas senyum. Hingga membuat Belia merasa perutnya mendadak penuh.

“Sudah pukul 5.” Jehan menoleh pada jam dinding. “Lo mestinya udah pulang dari tadi.”

Belia menggeleng. “Gak apa-apa, Kak. Ternyata denger Kak Jehan ngomong, asik juga.” Belia tersenyum....bodoh(?)

“Kapan-kapan lagi. Gue juga gak tau kenapa bisa ngomong sebanyak tadi ke lo,” kata Jehan sembari mengedikkan bahu.

“Boleh gak gue hubungin lo, Kak? Kalau gue butuh temen ngobrol.”

Belia yakin sebagian dirinya sudah gila. Namun...hey apa salahnya berteman dengan siapa saja.

Termasuk dengan orang tak dikenal yang dijodoh-jodohkan denganmu—meski kini telah saling kenal.

“Dengan senang hati, Belia.”

~tbc~

Apa Serunya???

“Apa serunya dari menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”

Belia merutuk sepanjang jalannya menuju ruang musik. Akhir-akhir ini, sekolah sedang hangat oleh cerita tentang dia sendiri dengan seorang siswa tingkat akhir yang sempat membantunya saat membawa setumpuk buku tugas yang harus dikumpulkan ke ruang guru.

Ya bagaimana tidak dibantu, Belia saja hampir terpeleset karena lantai yang baru saja dipel oleh petugas kebersihan akibat galon yang pecah. Dan saat itu, kebetulan si kakak kelas lewat dan bergerak sat-set-sat-set membantunya kembali seimbang.

Dan siapa sangka ada saja makhluk sekolah yang memotret momen itu hingga menjadi topik hangat seminggu terakhir.

Tolong nih ya...Belia tidak kenal. Waktu itu hanya sempat ucap terima kasih karena si kakak kelas juga diam membisu. Sudah diam membisu, gak berekspresi apa-apa pula.

“Doi emang pendiem banget, Bel. Tapi gue denger-denger nih kalau lagi manggung, beeuuhh keren banget. Jago banget doi gitarnya. Gak apa-apa kali aja cocok sama lo. Saling melengkapi tuh lo kan bar-bar,” ujar Jihan yang menurut Belia sangat-sangat tidak penting.

“Siapa sih namanya? Jenal? Jere? Jehan? Jco? Je—MAMA!!” Belia memekik begitu masuki ruang musik. Ia pikir baru saja melihat penampakan hantu ruang musik yang suka pegang gitar di kursi pojok.

Itu si kakak kelas. Yang sepanjang jalan tadi ia pikirkan.

“Gue kira gak ada orang. Maaf, Kak,” ucap Belia seiring langkahnya menuju loker di ruang musik.

Bukannya menjawab atau merespon, si kakak kelas malah membereskan gitarnya. Seakan bersiap untuk pergi dari ruang itu.

“Eh, Kak. Gue ganggu Kakak latihan ya?”

Belia jelas merasa tidak enak. Seakan jedatangannya benar-benar mengusik suasana latihan mandiri gitaris D'Ordie—band kebanggaan sekolah yang juga kerap menerima undangan untum tampil dari luar sekolah.

”....”

Lagi. Tak ada respon.

“Gak apa-apa kok, Kak. Gue cuma mau ambil buku paranada gue yang ketinggalan kok.”

Belia masih belum membuka lokernya. Pandangan terarah sepenuhnya pada sosok laki-laki yang memunggunginya dan tengah berkutat dengan tas gitarnya.

”....”

Kalau boleh jujur nih, Belia sebetulnya sudah agak merinding. Barangkali sosok ini memang benar hantu ruang musik?

Well....gak ada salahnya Belia menatap ke arah kaki. Oke, lega. Paling tidak dia menapak di lantai. Jadi ini memang si kakak kelas yang—

“Jehan.”

—apa?

“Iya, Kak?” Belia merespon dengan tanya. Ingin memastikan bahwa memang kakak kelasnya sedang berbicara.

“Gue Jehan. Gak sengaja dengar gumaman lo tadi.”

“Eh? Ya, Kak. Maaf. Gue—”

“Belia. Akhir-akhir ini gue juga sering denger nama lo.”

Bukan. Belia bukan ingin memperkenalkan diri. Tapi iya juga sih. Maksudnya, sebenarnya Belia ingin minta maaf karena ternyata gumamannya itu bukan menggumam. Lebih tepatnya ia berbicara dengan diri sendiri.

Dan dengan suara yang keras. Kalau sekedar menggumam, harusnya si Jehan Jehan ini gak sampai dengar lah rutukannya.

Ya Tuhan, Belia sekarang malu. Jujur.

Ketika akhirnya Belia berhasil menemukan buku paranadanya, lekas ia masukkan buku itu ke dalam tas. Bersiap untuk pamit pada Jehan yang—oke sekarang laki-laki itu malah pindah duduk tak jauh dari pintu. Memangku gitar yang sudah terbungkus tasnya.

Manis sih. Tapi Belia tidak suka rambutnya. Panjang banget gemas ingin cukur jadi gundul.

“Lo ambil ekskul musik?” tanya Jehan. Menatap lurus pada Belia yang masih berdiri di depan loker.

“Iya, Kak.”

“Good luck then.”

“Thanks, Kak. Gue—”

“Btw—”

Demi Tuhan Belia ingin segera pulang. Namun, entah dorongan apa yang malah membuatnya mendekati si kakak kelas lantas menarik kursi dan duduk berhadapan.

“Apa serunya menjodoh-jodohkan dua orang yang tidak saling kenal?”

Ini manusia apa hantu. Sepertinya Belia salah ambil keputusan. Seharusnya ia tadi melenggang pergi saja dan abaikan sosok ini biar sendiri sepi bersama gitar yang menemani.

Pertanyaan itu...pertanyaan yang sama dipikirkan Belia sejak keluar dari kelas tadi.

“Kakak tau soal itu?“tanya Belia ragu-ragu.

“Gue punya telinga dan ponsel, Belia,” jawab Jehan yang membuat Belia merasa sedikit bodoh.

“Ah...ya.”

“Kita seperti hujan di kemarau. Tau seperti apa panasnya kemarau kan?” Belia mengangguk. Tatapan penuh fokus pada Jehan yang bertutur. “8 jam, kadang 10 jam full di sekolah. Pelajaran memuakkan, kegiatan melelahkan. Semua menguras pikiran. Lantas momen dimana tidak sengaja kita tertangkap kamera, seperti membawa udara segar. Pelipur lara untuk isi kepala yang sedang membara.”

“Wah....”

“Wah??”

“Untuk ukuran orang yang katanya pendiam, Kakak hebat juga ya kata-katanya.”

Jehan mengulas senyum. Hingga membuat Belia merasa perutnya mendadak penuh.

“Sudah pukul 5.” Jehan menoleh pada jam dinding. “Lo mestinya udah pulang dari tadi.”

Belia menggeleng. “Gak apa-apa, Kak. Ternyata denger Kak Jehan ngomong, asik juga.” Belia tersenyum....bodoh(?)

“Kapan-kapan lagi. Gue juga gak tau kenapa bisa ngomong sebanyak tadi ke lo,” kata Jehan sembari mengedikkan bahu.

“Boleh gak gue hubungin lo, Kak? Kalau gue butuh temen ngobrol.”

Belia yakin sebagian dirinya sudah gila. Namun...hey apa salahnya berteman dengan siapa saja.

Termasuk dengan orang tak dikenal yang dijodoh-jodohkan denganmu—meski kini telah saling kenal.

“Dengan senang hati, Belia.”

~tbc~

Pesan Tak Sampai

untuk teman pulang....

Beberapa tahun terakhir ini, aku mendapat teman baru yang seru. Yang mendengarkan segala celotehan tak berguna yang keluar dari bibirku. Yang menemaniku mengeluh seiring kaki melangkah maju.

Sudah pernahkah ada yang mengatakan ini padamu? Bahwa kau adalah seorang pendengar yang baik? Berbeda denganku yang tak pernah bisa fokus mendengarkanmu berkisah. Sebab aku lebih tertarik menatap sepasang obsidian cokelat yang indahnya mengalahkan konstelasi bintang.

Aku tak tahu sejak kapan aku mulai menghafal tentangmu. Tentang rasa jus buah yang selalu membersamaimu di sisi kiri tas. Tentang telingamu yang merah mirip kepiting rebus setiap kali menerima pujian dariku. Tentang wangi parfummu yang kerap kali masih dapat kugambarkan jelas aromanya kendati aku telah mengunci diri di kamar.

Semua ingatanku tentangmu telah membawaku pada satu kesi.pulan bahwa aku telah jatuh padamu. Pada senyummu yang candu, senyum yang selalu berhasil menular padaku karena aku benar-benar menyukainya. Semua. Tentangmu, aku suka. Kamu, aku suka.

Tapi....

Ketahuilah bahwa tulisan ini bisa saja sampai ke kamu atau tidak sama sekali. Aku bisa melihat diriku di kedua netramu. Sosok yang juga telah membuatmu jatuh tetapi kau harus bangun 'tuk terus berjalan. Sebab bukan padaku kau seharusnya jatuh.

Hari ini, esok, entahlah. Aku akan pergi jauh lebih cepat dari yang kau tahu. Aku sungguh marah karena ketika kita telah benar-benar memiliki satu rasa, semesta tak beri izin untuk kita bersama.

Aku tidak akan pernah pamit. Tetapi aku ingin mengucap terima kasih karena kau telah menjadi satu dari sekian alasanku tuk tetap bertahan. Kumohon jikalau kau menungguku, maka berhentilah dan menyerahlah. Sebab aku takkan pernah bisa menemanimu menghabiskan sisa umur kita.

Untuk pertama dan terakhir kalinya, aku tuliskan perasaanku padamu. Aku mencintaimu sampai rasanya aku ingin hidup 1000 tahun dan menua bersamamu. Tapi masaku telah di ujung. Kepada-Nya aku akan pulang. Rumahku adalah Dia. Bukan kamu.

Salamku untuk angkasa luas bahwa aku akan menjadi satu dari sekian banyak bintang. Nantikan hadirku di kanvas malam. Aku akan menjagamu dari sana.

Kepada pelataran gereja, yang menjadi saksi kisah masa kecil kita. Aku mungkin takkan pernah kembali, tetapi aku berharap di dalamnya kau mendoakanku—dan kita—agar tetap baik meski kita tak lagi menjadi bagian dari kisah satu sama lain di masa depan.

Aku mencintaimu. Ini kalimat terakhirku.

-end-

Yang Tak Sempat

Hari ini, aku mengambil jalan ini lagi. Jalan yang pernah kita lewati. Mencari kembali jejak dari tapak kita yang mengayun langkah di ujung hari.

Paras ayumu masih melekat di ingatan. Manis saat tersenyum berkisah tentang hari baik yang kau lalui. Sementara aku diam mendengarkan dan terpana. Keterbatasan cahaya lampu jalan pun tak jadi masalah. Justru semakin membuatmu menjadi begitu indah.

Saat harimu penuh hal baik, kau bahkan tak sedetikpun hilangkan lengkungan manis itu dari wajahmu. Senyum dan tawamu bagai candu yang membuatku tergugu. Bahkan saat harimu tak berjalan baik pun kau tetap berusaha tersenyum di hadapanku. Meski sorotmu tak dapat menyimpan dusta.

“Aku baik. Hanya saja....”

“Aku sungguhan baik-baik saja. Itu bukan masalah besar. Tetapi....”

Kau akan mulai berbagi hari burukmu ketika aku melontar tanya. Pernah sekali aku sengaja tak bertanya dan kau tetap diam tersenyum dan tertawa dalam lara. Aku menyesali itu dan lekas mengubungimu setibanya di rumah.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah peduli dan menanyakanku.”

Sesekali kita duduk lebih lama di bangku taman sebelum berpisah di persimpangan oleh arah rumah kita yang berlawanan. Bersanding kita bersama menyaksikan gemintang yang berkilau di angkasa luas. Meski aku tak begitu paham konstelasinya, asalkan bersamamu, semua menakjubkan.

Di penghujung hari kala hujan, kita lebih dulu berteduh di pelataran gereja. Kemudian bertukar cerita tentang masa kecil kita. Berbagi memori dan keluguan khas anak-anak. Melepas lelahnya hari hingga tak sadar hujan telah lama pergi saking asiknya berbagi.

Hari-hari berlalu hingga aku tak lagi tahu kemana dirimu. Aku tak pernah lagi menjumpamu saat turun dari angkutan umum. Aku tak pernah lagi berpapasan denganmu di persimpangan ini saat pagi. Semua begitu tiba-tiba.

Dari kisah yang pernah kau tuturkan, bukan tak mungkin aku tidak termakan angan. Bahwa aku ingin menjadi bagian darimu yang kelak kau ceritakan pada khalayak. Aku tak menafikkan bahwa sejatinya benih-benih itu telah tertanam bersama malam-malam kita menyaksikan bintang.

Kamu kemana?

Aku masih menanti di depan rumahmu setiap malam. Berharap kau keluar tiba-tiba untuk membeli minuman di mini market, atau sekedar membuang sampah. Meski terdengar konyol buang sampah di malam hari.

Rumahmu tetap terlihat seperti biasa. Hanya kamu yang entah kemana. Tak berkabar. Bahkan setiap pesan yang kukirimkan tak terbaca.

Untukmu, bintangku. Dimanapun kamu, aku hanya berharap kau tetap ceria. Bagaimanapun adanya kamu, kukirim doa agar kau selalu bercahaya.

Aku mencintaimu. Meski kalimat ini belum sampai di rungumu.

Dari aku yang masih membumbung asa 'tuk tetap menjadi 'teman' di jalanmu pulang. Dari aku yang masih menunggu sosokmu datang dan berteduh bersamaku di pelataran gereja kala hujan menyapa dunia.

end

Streetlight

tags : surealism // mention of death

“Aku sendiri lagi,” katanya memulai percakapan. Aku mengangguk sebagai pemberitahuan bahwa aku mendengarkannya.

Kami duduk bersandar dinding tinggi pagar entah milik siapa. Di bawah temaram lampu jalan yang selalu menjadi titik temu kami di jalan pulang. Kemudian berkisah tentang hari yang kami lalui. Kadang menangis, kadang tertawa. Perasaan sehari-hari memang dinamis.

“Apakah aku tidak cukup baik untuk setidaknya memiliki seorang teman?”

“Kata siapa?”

“Kurasa memang begitu. Satu persatu pergi lantas aku mulai merasa sepi. Atau memang menjadi dewasa seperti itu ya?”

Tatap matanya mengawang di langit malam. Seakan mencari jawaban untuk tanya yang tak mungkin disampaikan langit secara langsung. Hanya gemerlap bintang dan rembulan tanggal 7 yang ada di pandang.

“Kamu lebih dari cukup.”

“Aku memang menyedihkan ya? Tidak bisa apa-apa. Tidak punya apa-apa.”

“Berhenti berkata-kata jahat pada dirimu atau aku akan memukul belakang kepa—”

“Berbeda denganmu yang meskipun mengeluhkan hidup, kau punya banyak teman,” katanya memutus kalimatku begitu saja. “Apa kau menghitungku sebagai teman?” lanjutnya bertanya.

“Tentu saja. Bahkan kau lebih dari te—”

“Gak mungkin kehitung. Kita kan ketemunya cuma tiap malam. Di bawah lampu jalan pula.”

“Berhenti memotong kali—”

“Tapi aku bahagia bisa bertemu denganmu. Aku bebas bercerita apapun padamu. Dan sedikit banyak kamu membuatku tidak kesepian. Aku sangat berterima kasih untuk itu.”

Itu sungguh tak terduga. Terima kasih ya? Rasanya sudah lama tak pernah mendengarkan itu. Sungguh itu kata-kata yang sangat langka untuk runguku menerimanya.

Aku tak pernah benar-benar berharap orang-orang berterima kasih atas bantuan yang mereka terima dariku. Tetapi, hey! Aku telah meluangkan waktuku dan tak jarang sedikit dari uang yang kupunya. Tetapi tak pernah ada yang benar-benar berterima kasih.

Dan perempuan ini dengan begitu saja mengucapkan terima kasih hanya karena aku mendengarkan curahan hatinya tentang hidupnya—yang kusadari lebih berat dariku.

“Satu-satunya hal yang kusesali tuh kita gak sempat tukeran nomer.”

“Hey, aku sudah sempat minta. Kamu kan yang maunya kita tetap stranger?”

Di pertemuan kedua, aku sempat menawarkannya untuk bertukar nomor ponsel. Bukan apa. Aku hanya merasa perempuan ini memang membutuhkan tempat berkeluh kesah. Dan aku senang menjadi tempat menampung banyak cerita. Seolah aku memang diciptakan untuk menjadi itu.

“Ah benar juga. Kamu pernah minta tapi aku enggan memberikannya. Aku cuma gak nyaman kalau harus cerita hal-hal bodoh di hidupku ini dengan orang yang kukenal. Memalukan.”

Aku menatapnya pilu. Tak dapat kupungkiri bahwa sorotnya kali ini terlihat jauh lebih lelah dari biasanya. Cenderung kosong sebab ia berusaha sekuat mungkin menepis semua rasa yang valid. Yang tak ada salahnya untuk ia terima. Rasa sedih yang selalu ia elak. Rasa lelah yang selalu ia abaikan.

“Aku lelah mendengar orang -orang mengeluh padahal mereka memiliki apa yang tidak aku miliki. Harta, tahta, keluarga. Mereka punya semuanya tetapi kenapa mereka mengeluh padaku tanpa memikirkan perasaanku?” keluhnya.

“Kau—”

“Aku ingin menyerah. Aku lelah kesepian. Apa aku boleh mati lebih cepat?”

“Jangan mengatakan hal bodoh yang akan kau sesali nantinya. Kau pikir mati menyelesaikan masalah?”

“Tapi aku tidak punya siapa-siapa yang akan menangisi kematianku. Astaga, malang sekali nasibku. Kenapa aku harus dilahirkan sih.”

Kehidupan di pertengahan usia dua puluhan memang melelahkan. Apalagi ketika kamu berjuang sendiri sementara masih ada tuntutan ketika yang lebih dewasa melepas tanggung jawab. Rasanya kau ingin marah pada dunia. Tetapi marah-marah tak akan menyelesaiakan segala urusan yang ada.

Begitulah ia kerap bercerita. Ia hanya ingin didengarkan. Tak apa tak memberi solusi asalkan didengar.

Dia lelah.

Dia hanya lelah menjadi tumpuan sementara ia tak miliki sandaran yang kuat selain dirinya sendiri. Ia terlalu lama kesepian.

Hadirku saat itu barangkali seperti pelipur lara kendati kita tak saling kenal. Meski pada akhirnya, aku pun pergi.

Dan dia tetap sebatang kara melewati setiap fase hidupnya dengan susah payah.

“Suatu hari nanti, kau pasti bahagia. Selalu ada harga yang dibayar untuk mendapatkan yang terbaik. Bertahanlah,” kataku sembari mengusap belakang kepalanya meski ia tak merasakannya lagi.

end


jika kisah singkat ini rilis publik, maka yang menulisnya telah berada di titik terendah

ALTERNATIF PEPERO

Karena kalau cuma ngasih pepero, sudah terlalu biasa

“Kenapa kamu gak ngasih aku pepero?”

“Kenapa aku harus ngasih Kakak pepero?”

Demi Tuhan Shin Yuna sedang fokus menuntaskan tugas di salah satu sudut kantin fakultas teknik ketika tiba-tiba oknum Yang Jeongin menghampirinya dan langsung mempertanyakan hal sepele. Pepero. Oke, Yuna tahu hari ini Pepero Day, tapi bisakah Yang Jeongin tahu waktu dan tempat karena—Hey pacarnya sedang pusing dengan tugasnya. Apalagi Yuna masih mahasiswa baru. Sedang semangat-semangatnya dan penuh antusias menerima tugas.

“Karena Kakak orang yang kamu sayang,” jawab Jeongin penuh percaya diri hingga menarik perhatian Yuna.

Pede banget.” Yuna mencibir. “Aku juga mau pepero kalau gitu. Aku kan juga orang yang Kakak sayang,” lanjutnya.

Pede banget,” timpal Jeongin menirukan cibiran Yuna sebelumnya.

“Males ih. Sana sana jangan gangguin dulu.”

Meski Yuna sudah mencoba mendorong-dorong Jeongin agar menjauh, pemuda itu malah menarik kursi di sisi Yuna. Menghadapkan tubuhnya ke arah sang kekasih lantas menatapnya hingga telinga si gadis memerah.

Oh, Jeongin tahu kok penyebab Yuna begini. Selain karena tugas—yang juju Jeongin sangat yakin kalau itu akal-akalan si cantik saja—ia juga cemburu karena kejadian pagi ini. Kejadian di parkiran ketika Jeongin tiba-tiba diserbu beberapa gadis yang memberinya pepero. Baru juga Yuna turun dari boncengan, gadis-gadis itu sudah menghampiri Jeongin. Yuna kesal dan langsung melenggang pergi tanpa pamit. Bisa-bisanya gadis-gadis itu memberikan pepero untuk Jeongin di depan pacarnya.

Ya meskipun tidak ada yang percaya kalau Jeongin dan Yuna itu pacaran karena sikap mereka lebih terlihat seperti sepasang kakak adik ketimbang sejoli.

“Kamu marah karena tadi pagi?”

“Gak.”

“Yakin?”

Yuna menghela napas. Sungguhan ia harus segera menuntaskan tugasnya jika tidak ingin pulang lepas matahari terbenam. Tetapi Jeongin terus mengganggunya dan ini tidak akan berakhir jika Yuna tidak menuruti maunya.

Yuna pun menoleh. Memposisikan diri menghadap Jeongin. Keduanya saling bertatap. Sama-sama menumpu kepala dengan tangan di meja.

“Well...aku tanya sekarang Kakak maunya apa?” Dengan wajah serius Yuna bertanya.

“Pepero dari Yuna.”

“Pepero dariku? Oke. Aku ada alternatif lain sambil menunggu tugasku selesai dan Kakak menerima pepero dariku.”

“Apa?” Jeongin terlihat antusias.

“Tapi ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?”

“Kakak harus jaga jarak minimal 10 meter dariku setelahnya. Aku akan mengabari Kakak begitu tugasku selesai lalu kita pulang dan membeli pepero. Gimana?”

Jeongin berpikir sejenak. Mencoba menerka isi kepala Yuna untuk mencari tahu gerangan alternatif yang akan diberikan kekasihnya. Tidak ada yang terlintas. Ia menyerah.

“Baiklah. Setuju.”

Jujur saja Yuna sekarang benar-benar gugup. Sedikit ia menoleh kanan dan kiri. Memastikan sekali lagi suasana kantin fakultasnya Ia rasanya waktunya tepat dan aman sekarang. Tepat dan aman untuk mendaratkan satu kecupan dengan cepat di pipi Jeongin. Sampai-sampai kedua netra sipit Jeongin terbelalak karena—Ya Tuhan...seorang Shin Yuna mana pernah mau mencium Jeongin lebih dulu. Pemalu. Lalu siapa yang mengajarinya—

“Sudah ya.”—gemas. Gemas sekali sampai Jeongin rasa tingkat gula dalam darahnya naik mendadak. Diabetes oleh senyum lebar nan cantik milik Yuna yang ditujukan untuknya.

“Sekarang silakan jaga jarak atau kita bakalan lebih malam lagi pulangnya,” ujar Yuna sambil mengisyaratkan Jeongin untuk segera bangkit berdiri dan meninggalkan tempat duduknya saat ini.

Jeongin seperti tersihi. Ia langsung berdiri dan berbalik. Menyentuh pipinya lagi lantas tertawa kecil seperti orang gila. 5 langkah sampai Jeongin menyadari sesuatu dan berbalik mendekati Yuna.

“Apalag—” Belum sempat Yuna ajukan tanya—dan protes—ia lebih dulu dibuat bungkam oleh kecupan Jeongin di puncak kepalanya. Tak lupa diakhiri dengan mengusak gemas surai Yuna.

Terkekeh Jeongin menatap Yuna seraya berkata, “Impas. Sampai jumpa. Kakak tungguin di perpustakaan ya.” Meninggalkan Yuna yang sebenarnya sudah berantakan bersamaan dengan rambutnya yang diusak Jeongin tadi.

Yuna rasa setelah ini ia tidak perlu membelikan pepero untuk Jeongin. Begitupun sebaliknya. Karena ternyata alternatif ini lebih baik dari sekedar si skinny stick berlapis cokelat.


Sore harinya, Yuna dapati beberapa menfess anonim di base kampus tentang adegannya mencium pipi Jeongin dan Jeongin mencium puncak kepalanya. Well...itu memang tujuan Yuna sih. Supaya orang-orang jadi percaya kalau dia itu memang pacarnya Jeongin. Bukan sekedar tetangga, apalagi adik kecil.

—end—