piechocolix

she writes as memories....

D.

casts: skz changbin as Andra f9 jisun as Jia

tags // family issue , mention of death , suicide trial

.

.

.

Keduanya berbaju putih tanpa disengaja.

Sama seperti tahun lalu. Sama pula seperti 18 bulan lalu. Putih seakan simbol awalan untuk keduanya. Kendati putih hari ini mesti menyisakan perasaan tak keruan di dada.

Sekalipun memang sudah menjadi puncak ingin, tak pernah ada yang benar-benar siap tuk ucap perpisahan. Tapi keduanya sudah mufakat. Keterpaksaan selama 2 tahun ini, tidak akan pernah bisa menjadi baik-baik saja.

Jia bukan polos apalagi naif. Ia hanya benar-benar bodoh. Sudah seharusnya ia menjauh sedari awal alih-alih meneruskan rasa. Lantas jatuh cinta pada orang yang salah di waktu yang juga salah.

“Kamu bisa ajuin banding, Ji.”

Jia menggeleng mantap. Ini ketiga kalinya Andra membisikkan kalimat yang sama. Keputusannya sudah bulat.

Ia akan melepas Nayla.

Bukan karena tak sayang. Lebih pada rasa bersalahnya untuk peri kecil itu yang tak bisa ia maafkan. Jia kesulitan berdamai dengan dirinya. Jia masih belum bisa menerima apa yang ia lalui 2 tahun belakangan ini.

Jia menyerah. Jia tidak bisa lagi berpura-pura. Jia tidak bisa lagi terlihat baik-baik saja ketika kenyataannya ia sendiri yang berusaha bertahan. Ia sendiri yang berjuang. Ia sendiri yang mencinta. 2 tahun, Andra hanya sebatas raga yang hidup bersamanya dalam satu naungan atap.

Jia putuskan berhenti. Jia telan pahit kata egois yang sudah barang tentu akan melekat di dirinya oleh karena melepas tanggung jawabnya untuk Nayla. Ya, biarkan tetap begitu karena apa yang terjadi antara dia Andra dan Nayla hanya mereka yang tahu.

Ketika palu diketuk hakim, Jia tahu pasti inilah awal kehidupan barunya. Ia akan menulis lagi meski harus dengan darah dan airmata . Jia hanya ingin ia memafkan dirinya. Jia hanya ingin ia menerima dirinya kembali.

Hari itu Jia telah berikrar. Melepas Andra yang tak pernah benar-benar menerimanya, yang tidak pernah punya ruang di hati untuknya. Memisah dari Nayla, si peri kecil suci yang tak tahu mengapa hari itu tangisnya memilukan setelah Jia mencium keningnya untuk yang terakhir kali.


Selamat pagi, Jia. sdg sibuk packing y? mami boleh ketemu?

Pesan singkat yang Jia terima pagi itu membawanya duduk di salah satu restoran langganan mami—ibunya Andra. Duduk berhadapan dengan Mami yang hari itu—menurut Jia—tidak seceria hari-hari biasanya. Mami juga memesan ini itu yang Jia sadari adalah deretan makanan kesukaannya.

“Kan 2 hari lagi Jia berangkat. Ini makan dulu yang banyak. Di Paris susah kayaknya nyari makanan lokal ya, Nak.”

Jia mengangguk. “Terima kashi, Mami. Mami juga makan teratur ya. Jangan biarin perutnya kosong.”

Selama menanti hidangan, obrolan terus mengalir antara Jia dan Mami. Seputar persiapan Jia yang akan menempuh pendidikan di Paris untuk mengejar mimpi yang sempat tertunda. Satu dari sekian alasan Jia masih ingin melanjutkan kehidupannya yang sempat ternoktah. Sementara Mami berbagi cerita kesehariannya bersama teman-teman arisannya dan koleksi tanaman di halaman belakang rumah yang makin beragam.

“Jia ingat waktu mengandung Nayla, Mami selalu bawain tanaman kan tiap dateng ke rumah kalian?”

Jia mengangguk. “Ingat banget, Mi. Tapi Jia gak setelaten Mami ngerawat tanaman gitu.”

“Gak apa-apa, Nak. Tanaman itu hanya alat Mami supaya Jia tetap kuat.”

“Maksud Mami?”

“Mami tahu soal yang di rooftop kantor Andra.”

Jia terpekur. Di benaknya kini terputar tragedi rooftop di tengah sang yang terik itu. Belum lama sejak Nayla telah benar-benar hidup di rahimnya. Hanya beberapa hari sejak ia pertama kali menangis oleh suara detak jantung Nayla.

“Jia berhenti!” Secepat yang ia mampu, Andra berlari menghampiri Jia sebelum perempuan itu benar-benar nekat naik ke tepian gedung 15 lantai itu. “Kenapa aku harus berhenti?” “Bahaya.” Andra ulurkan tangan. Berharap Jia menyambut. Tetapi si puan tetap berpaling dan terus berjalan ke tepian. Beruntung Andra lebih cepat menarik Jia hingga membuatnya jatuh terduduk dan menangis. “Bahaya? Kamu takut aku mati atau anak ini yang mati? Kenapa kamu gak bunuh aku aja, Andra?” Susah payah Jia bangkit berdiri. Melepas kuasa Andra dan kembali berjalan mendekat tepian gedung. Andra secepat yang ia mampu meraih tangan Jia dan membawanya dalam dekapan. “Jia please jangan. Aku salah. Tolong beri aku waktu, Ji.” Pada akhirnya Jia kembali tersungkur. Lekas Andra mendekat dan memeluknya erat. “Maafin aku, Jia. Please, kasih aku kesempatan. I will try. I'll try to avoid her.” Jia menangis di pelukan Andra. Membasahi kemeja kerja si lelaki di pundak. Kalimat yang diucapkan Andra terasa kosong. Jia menggeleng. “You'll never forget her, Andra. You'll always love Clara.” “No, Jia. Give me another chance. I'll love. I'll try to love you, Jia.”

Satu tahun adalah waktu yang diberi Jia. Sampai lelahnya telah berada di titik terendah. Sampai semua waktu itu ternyata habis dan berakhir pada lembaran berkas ikrar perpisahan.

Malam-malam terasa seperti neraka. Rumah yang menjanjikan kenyamanan dan ketentraman untuk penghuninya, seakan tempat singgah yang pada akhirnya ditinggalkan.

“Maafin Jia, Mi.” Jia menunduk.

Bagaimana bisa ia terima tawaran banding Andra atas hak asuh Nayla ketika ia sendiri hampir membunuh 2 nyawa. Rasa sakitnya oleh Andra terlalu bersarang. Ia tidak tahu hal buruk apa yang bisa ia lakukan pada Nayla sementara peri kecil itu selalu mengingatkannya pada Andra

Mami menggeleng. “Maafin Mami juga yang diam-diam mengusik rumah tangga kalian. Andra anak Mami, Jia. Maka Mami jelas tahu ada hal-hal yang tidak baik terjadi antara kalian.”

“Mami sayang sekali dengan Jia. Makanya Mami sering datangi rumah kalian temui Jia. Kasih Jia tanaman buat hiburan. Supaya Jia tidak terus-terusan merasa bersalah. Supaya Jia sadar kalau Mami juga peduli dan sayang pada Jia.”

Sejak keluar dari ruang sidang, Jia berusaha untuk tidak menangis. Bahkan ketika ia mencium Nayla dan mendengar tangis pilu peri kecil itu pun ia tetap menahan desakan air mata di pelupuk.

Tetapi hari ini di hadapan Mami, Jia menunjukkan sisi paling rapuh yang ia punya. Gejolak rasa sakit yang selama ini tertahan di batin, ia luruhkan saat itu juga. Jia hanya bisa menunduk tanpa berani menatap Mami.

Kata orang, cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Kata orang cinta itu tumbuh karena terbiasa bersama. Kata orang ya...dan kata orang-orang itu tidak pernah berlaku dalam hidup Jia.

“Jia.” Tangan Jia di atas meja diraih Mami. Diusap lembut ibu jarinya dan digenggam. “Maaf ya, Nak. Maafin Mami yang gagal ngedidik Andra.”

Jia menggeleng berulang kali. Mengusap airmata dengan tangan kiri sebelum menatap Mami.

“Mami jangan bilang gitu.”

Dengan tangan kanan, Mami usap air mata di pipi Jia. “Jia tahu? Mami sebenarnya belum ikhlas dengan perpisahan kalian. Tapi lihat air mata kamu hari ini, Mami mulai memahami seberapa banyak rasa sakit yang Jia simpan sendiri. Mencintai sendiri tidak pernah mudah. Apalagi setelah mimpi-mimpi masa depan dihancurkan oleh dia yang kamu cintai.”

Jia masih sesenggukan. Teringat kembali deretan pencapaian yang ingin ia raih. Segudang mimpi yang selalu ia tuangkan di halaman pertama buku hariannya.

Dan ia ingat betul. Setelah mengirim pesan 2 garis biru pada Andra, buku harian itu ia bakar.

“Jia tolong tetap bertahan ya, Nak. Tolong tetap berusaha yang terbaik untuk mimpi kamu. Belajar dengan tekun. Mami janji akan jaga Nayla dengan baik.”

Selain pertemuan dengan Mami, Jia juga menerima surat dari Papi yang beliau titipkan pada Mami. Sebuah pesan panjang yang membuatnya lebih lapang atas keputusan yang dipilihnya.

Untuk Jia. anak mantu Papi yang hanya sebentar ada di keluarga ini. Papi teringat ketika pertama bertemu Jia di rumah. Saat Andra datang bawa kabar yang jujur Papi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Papi hanya diam hari itu jika Jia ingat. Memikirkan reaksi seperti apa yang akan keluarga Papi terima ketika kami harus membawa kalian berdua bertemua keluarga Jia.

Keadaan sulit ini, tidak semua keluarga bisa menerima. Terlebih keluarga perempuan yang paling sering dirugikan dan “disalahkan”. Satu malam Papi tidak bisa tidur. Papi terlalu malu jika harus berhadapan dengan Ayah Ibu Jia. Tetapi melihat Mami yang begitu mendamba, esok paginya Papi ajak Mami temuI langsung Ayah Ibu Jia. Kumpulkan berani seadanya. Bahkan jika Papi harus sujud pun Papi lakukan.

Papi juga ingin Andra bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan. Sengaja ataupun tidak. Hingga Nayla lahir, Papi tidak pernah sesali keputusan Papi hari itu menemui keluarga Jia. Bungah rasanya dalam keluarga Papi bertambah 2 bidadari—Jia dan Nayla.

Tetapi saat surat itu datang, Papi kembali merenungkan keputusan Papi dulu. Rupanya keegoisan kami mempertahankan Jia dan Nayla berujung lara untuk Jia dan mungkin Andra. Ketika Jia menyerah untuk Nayla, Papi seperti ditampar oleh kenyataan bahwa Jia sudah terlalu lama sakit sendiri.

Maaf, Nak. Papi belum bisa memberikan yang terbaik untuk Jia selama nyaris 3 tahun ini. Tetapi terima kasih karena Jia masih tetap bertahan. Melepas Nayla bukan hal mudah untuk Jia. Papi juga akan bahagiakan Nayla. Jia pun juga. Kejarlah bahagia Jia. Temukan penawar lara-lara itu. Papi mungkin menyesal tak pernah pedulikan perasaan Jia. Tetapi Papi tidak pernah menyesal Jia menjadi mantu Papi.

Terima kasih, Nak. Bahagialah. Doa Papi selalu membersamai langkahmu.


jia dmna? angkat telpon

Jia sudah duduk di ruang tunggu. Menanti pesawat yang akan membawanya menjauh. Tetapi ponselnya terus bergetar sejak tadi. Ini pukul 5 pagi di hari sabtu dan Andra terus berusaha menghubunginya.

“Jia ini udah pagi. Kenapa belum pulang? Kamu dimana? Biar aku jemput sama Nayla. Anaknya nangis terus ini, agak demam juga.”

Tanpa salam pembuka, Andra langsung membombardirnya dengan tanya dan informasi krusial. Nayla sakit, tapi Andra malah mencarinya.

“Aku udah di ruang tunggu.”

“Ruang tunggu mana? RS? Aku ke sana sama Nayla.”

“Bandara. Hari ini aku berangkat, Andra.”

“Berangkat kemana? Kenapa gak bilang aku?”

“Aku udah bukan istri kamu, Andra. Kalau kamu betulan lupa, sidang kita baru selesai 5 hari lalu.”

Hanya keheningan setelah itu antara Andra dan Jia. Sepertinya Andra memang betulan lupa. Samar-samar Jia bisa mendengar suara tangisan Nayla. Demi apapun, Jia rindu. Tangis itu membuat dadanya sesak.

“Maaf. Kalau gitu hati-ha—”

“Bawa ke dokter Sarah. Telpon dulu. Nomernya ada di laci rak TV. Bilang aja Papanya Nayla. Jam segini dokter Sarah udah bangun subuhan. Rumahnya di blok G.”

“Oke. Thanks Ji.”

“Iya. Tolong jaga Nayla ya, Andra.”

“Iya.”


Waktu terus berlalu. Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun. Jia telah melalui pasang surut di perantauan. Tekadnya sudah bulat dan ia akan sangat kecewa jika semua pengorbanan yang ia tinggalkan tidak lantas membuatnya menjadi lebih baik.

Satu per satu mimpi yang pernah ia angankan terwujud. Semua memang tidak mudah. Apalagi ia hanya sendiri di benua biru ini. Kendati pesan-pesan pendukung tak pernah absen ia terima dari keluarga dan teman-temannya. Pun pesan terakhir dari Mami dan Papi yang masih menjadi motivasi tertingginya.

Nyaris satu dekade waktu yang Jia habiskan untuk dirinya. Mengobati jiwa, berdamai dengan masa lalu yang masih ia sesali. Di waktu-waktu tertentu, Jia masih menangis. Rindu sembari mengelus perut ratanya. Ruang dimana pernah ada nyawa yang hidup di dalamnya.

9 bulan yang penuh tekanan. 9 bulan menyedihkan. Nayla. Peri kecil itu pasti sudah tumbuh cantik. Di usianya yang menginjak angka 11 dalam hitungan hari, Jia kadang menyesali tak sempat menyaksikannya tumbuh. Tak sempat mendengar si cantik memanggilnya “Mama” lebih lama. Tetapi dia sudah memilih dan ini adalah konsekuensi atas pilihannya.

9 tahun dan baru hari ini Jia beranikan diri mengetik nama itu di laman email baru. Satu helaan napas, beriring jemarinya dengan lihai menyusun kata.

From: mentarijia@fmail.com to: andra0811@smail.com subject: Something hard to Say

Hi, Andra. Ini Jia, Apparently I lost ur number so here I'm coming thru ur inbox. Hope you'll open it soon. How you've been doing? 9 tahun berlalu gitu aja. Semoga kamu tetap baik dan sehat. Aku sedang teringat h-3 sidang kamu tiba-tiba jemput aku dan Nayla di rumah ibu. Aku benar-benar gatau apa rencana kamu sore itu. Tapi ternyata kamu behenti di playground. Kamu bilang ingin lihat Nayla membaur dengan anak-anak lain padahal dia belum lancar jalan. Lucu. Hari itu juga pertama kalinya aku mendengar pengakuan cinta dari kamu setelah 2 tahun kita bersama.

“Mau ngapain?” tanya Jia ketika mendapati Andra sudah berdiri di teras rumah orangtuanya. Lelaki itu juga sudah membawa Nayla kecil dalam rengkuhnya.

“Ayo keluar bentar. Di taman deket sini aja.”

Jia tidak tahu apa maksud Andra mengajaknya keluar tiba-tiba. Di rumah hanya ada adiknya yang sedang mengerjakan tugas. Segera Jia mengambil cardigan untuk melapisi kaos yang ia kenakan dan sepatu untuk Nayla. Lantas menyusul Andra yang tengah asyik bergurau dengan Nayla.

Berjalan bersisian. Entah sudah berapa lama tak lagi dilakukan Andra dan Jia. Atau memang hal itu sangat jarang dilakukan keduanya. Jia tak lagi ingat. Tidak ada hal baik yang bisa ia ingat tentang Andra dan hubungan mereka.

Di taman, Andra melepas Nayla bermain. Ada banyak anak-anak seusianya. Nayla tampak riang bertemu orang baru. Apalagi ia kini sudah bisa berjalan sendiri—bahkan berlari kecil. Nayla termasuk bayi yang lebih cepat bisa berjalan. Sementara ia dan Jia duduk berdampingan tanpa lepas pengawasan pada Nayla.

“Kamu udah makan, Ji?”

“Kamu mau ngomong apa?”

Tanya itu terlontar bersamaan dari keduanya. Mengundang perhatian satu sama lain untuk kemudian tertawa kecil.

“Aku udah makan. Sekalian sama Nayla tadi,” jawab Jia. “Kamu ngapain ke sini jam segini? Kan belum jam pulang kantor.” Lanjut Jia bertanya. Teringat bahwa ini belum ada pukul 5 dan Andra sudah sampai di rumah orangtuanya.

“Aku kangen Nayla,” jawab Andra. Pandangan fokus pada si kecil yang sedang tertawa bersama seorang balita yang lebih tua darinya.

“Maaf, ya. Lusa aku antar Nayla sebelum si—”

“Aku juga kangen kamu, Jia.”

Jia terpekur. Ungkapan Andra barusan mengundang perhatiannya. Membuatnya menoleh pada lelaki di sisinya yang juga tengah menatapnya. Mencari dusta di sorotnya tapi nihil. Jia tertawa pahit.

“Ini pertama kalinya kamu bilang kangen sama aku, Andra.” Jia tersenyum getir. Menatap Andra yang tak bisa sembunyikan sorot hampa di kedua netranya.

“2 tahun dan ketika udah benar-benar di ujung jurang, aku baru sadar. Maafin aku, Jia. Ternyata aku juga udah sayang sama kamu,” aku Andra.

Lagi-lagi hari ini Jia tidak menemukan kebohongan di sorot Andra. Kesedihan lebih mendominasi. 2 tahun Jia tidak pernah berani menatap Andra. Sebab ia tahu yang dilihatnya hanya akan membuah kecewa.

Lain hari ini. Sepasang obsidian yang pernah membuatnya jatuh cinta sampai bodoh, hari ini sendu oleh tumpukan rasa yang berkecamuk. Sedih dan pilu. Jia pernah menemui sorot ini tertuju untuk perempuan yang paling membuatnya sakit. Perempuan yang memenuhi ruang hati Andra tanpa memberi celah untuk Jia tempati kendati perempuan itu tak pernah benar-benar menghampiri.

“Egois ya, Ji. Aku egois banget kalau sekarang aku minta kamu kembali. Egois banget kalau aku minta kamu buat kasih aku kesempatan lagi dan kita mulai semua dari nol. Padahal sudah tidak terhitung berapa banyak kesempatan yang kamu kasih ke aku, tapi tidak pernah aku pergunakan dengan baik.”

Getaran suara Andra berubah. Ia tidak lagi menatap Jia. Berpaling pada kedua telapak yang jemarinya ia tautkan, Menunduk menatap rerumputan hijau di pijakan. Sesekali mendongak, pada langit sore menahan riak gemuruh yang hendak berburu lepas dari mata.

Tangan Jia bergerak menarik tangan kiri Andra. Lantas menautkan jemarinya pada milik Andra. “Aku juga masih sayang kamu, Andra,” ujar Jia yang membuat Andra kembali duduk tegap.

“Tapi aku udah gak sayang sama diri aku, Andra. Sikap dan perlakuan kamu 2 tahun terakhir ini makin bikin aku mikir mungkin aku memang tidak bisa dicintai baik oleh kamu maupun Nayla. Nayla yang lebih tenang waktu sama kamu mungkin juga karena dia pernah merasa hampir mati di tangan ibunya sendiri.”

Nayla berlari kecil ke arah Jia. Tersenyum riang ketika pipi tembamnya dikecup Jia.

“Mama aya au ini.” Nayla menunjuk ikat rambut di kepala Jia lantas menggelengkan kepala kibaskan surai sebahunya.

Jia yang paham melepas karet rambut dan ia gunakan untuk mengikat rambut Nayla. Si kecil tertawa senang tahu rambutnya sedang dikucir.

“Aya cium papa juga dong.” Andra mencubit-cubit pelan pipi tembam Nayla. Selesai dikucir Jia, Nayla mendekati Andra dan mendaratkan satu kecupan di pipi kiri sang ayah.

Jia tersenyum melihat Andra dan Nayla. Dalam hitungan hari, keduanya bukan lagi menjadi pemandangan yang bisa ia saksikan sehari-hari. Keduanya hanya berupa kenangan yang menempati sebagian kecil ruang dan masa di hidupnya.

Saat langit hampir gelap, bertiga kembali ke rumah orangtua Jia. Kali ini Nayla tidak ingin digendong. Ia memilih berjalan. Menggandeng Jia dan Andra di masing-masing tangan kiri dan kanannya.

“Nayla senang main?” tanya Andra yang hanya dijawab anggukan oleh Nayla.

Saat tiba di rumah, orangtua Jia sudah kembali. Andra menyapa seadanya dan meninggalkan bingkisan sebelum undur diri pamit. Hanya Jia yang mengantar. Tidak dengan Nayla yang sudah asyik bermain dengan eyangnya.

“Ngobrol bentar di mobil ya, Ji.” Jia menurut. Ikut masuk di mobil Andra dan duduk di seat yang biasa ia tempati.

Mobil Andra menyimpan banyak kenangan. Temu pertamanya dengan Andra di tengah malam hujan deras. Pelukan pertamanya untuk Andra yang menangisi Clara. Tangis pertamanya oleh kehadiran Nayla yang tak terduga. Dan masih banyak hal lain yang terjadi di mobil ini antara dia dan Andra.

“Kamu beneran ke Eropa setelah sidang, Ji?”

“Iya.”

“I'll let you go to heal, but—”

“Gak, Andra. Gak bisa. Jangan bikin aku marah.”

“Kalau gitu bawa Nayla sama kamu, Jia. Dia lebih butuh kamu daripada aku.”

Jia menggeleng. “Aku lebih percaya Nayla sama kamu daripada sama aku, Andra. Apa aku perlu sebutin lagi berapa banyak usaha yang aku lakuin biar Nayla gak lahir?”

“Tapi kamu ibunya, Jia.”

“Kamu juga ayahnya, Andra. Kamu lebih dulu jatuh cinta sama Nayla daripada aku so please kali ini ikutin kata aku, Andra. Safest place for Nayla is you. And will always be you.” Final. Jia tidak akan pernah menarik kata-katanya.

“Kamu yakin bisa jauh dari Nayla, Ji?”

“Gak. Tapi itu konsekuensi pilihanku. Jadi, aku harus terima apapun itu.”

Helaan napas rilis dari Andra. Sore itu, usahanya membujuk Jia tidak berbuah hasil yang baik dan semua telah ia duga. Terlambat. Semua sudah terlanjur. Perpisahan sudah nyata menanti keduanya di depan mata.

“Udah gelap. Kalau gak ada lagi yang mau dibicarakan, baiknya kamu pulang. Istirahat. Lusa aku antar Nayla,” ucap Jia dingin.”

Jia sudah bersiap keluar dari mobil. Namun tangan Andra lebih cepat menahan geraknya.

“Can you give me farewel kiss and hug, Ji?”

“Sure!”

Sore itu satu lagi kenangan tercipta di mobil Andra. Kenangan terakhir sebelum sepasang itu benar-benar terpisah oleh putusan hakim dunia. Mengakhiri cerita singkat yang diawali tanpa kerelaan yang sungguh.

Aku akui batinku hampir goyah ketika kamu bilang kamu sudah jatuh cinta ke aku. Namun, logikaku lebih cepat mengingatkan. Meski tak dapat dipungkiri aku sedikit merasa senang sebab cinta bertepuk sebelah tangan itu, sempat terbalas. Kendati di ambang perpisahan. 3 hari kemudian, aku ninggalin kalian. 9 tahun, aku pupuk rindu aku ke kalian. Aku biarin tumbuh sampai aku benar-benar berani menemui kalian lagi. Itupun jika kalian masih menerima aku. Ah, aku juga rindu Mami. Mami sehat kan? Terakhir Mami bilang sebelum aku berangkat kalau beliau bakalan jaga Nayla. Dan Papi. Doa baik Papi buat aku sepertinya dikabul Tuhan. Perdamaian antara aku dan diriku sudah terlaksana. Segala salah dan keliru yang pernah aku lakukan di masa lalu, nyatanya jadi pembelajaran yang baik buat aku selama 9 tahun terakhir ini. Dan aku juga berharap kamu pun begitu. Nayla....our cinderella is going to be 11th next month. Sudah sebesar apa putriku? Pasti dia cantik kan? Setiap sebelum tidur, aku selalu selipkan doa buat kalian berdua. Terutama Nayla. Doa bahagia dan sehat untuk kalian. Kekuatan yang ekstra untuk Nayla yang harus kehilangan 1 tumpuan bahkan sebelum dia lancar bicara.' Di hari-hari awal kedatanganku di benua biru ini, tidak pernah aku tidak menangis sebelum tidur hanya karena memikirkan our cinderella. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sakit? Apakah dia makan dengan baik? Seiring waktu berlalu, semakin banyak hal kompleks yang aku pikirkan tentang Nayla. Adakah yang mendengarkannya bercerita? Apakah masa pubertas sudah menyapanya? Apa Nayla punya alergi makanan? Aku terlalu banyak bicara ya? Selain itu, aku mengirim surel ini untuk memberitahumu kalau minggu depan aku akan menikah. Aku sempat takut karena kegagalan kita. Tetapi hal yang menyadarkanku adalah kenyataan bahwa kita memang memulai pernikahan kita dengan salah. Kita masih terlalu muda dan rapuh ketika Nayla tiba-tiba hadir di antara kita. Tidak banyak pintaku selain doa dari kamu supaya kita bertiga bisa tetap bahagia untuk apapun yang kita pilih. Sama seperti doaku yang tak pernah putus untuk kamu dan Nayla. 2 atau 3 tahun lagi. Semoga kita bisa bertemu lagi. Dan saat itu tiba, semoga kita dalam keadaan terbaik dari apa yang telah kita petik pelajarannya di masa lalu. Terima kasih Andra. Tolong jaga Nayla. Terakhir, Selamat ulang tahun, Our Cinderella. p.s. tolong kecup kening Nayla sekali dari aku.

jia


Rumah besar itu kembali sepi. Malam telah menginjak pukul 11 ketika Andra diam-diam membuka pintu kamar Nayla. Memastikan putrinya sudah tertidur atau belum.

Andra melangkah mendekati tempat tidur Nayla. Duduk di tepian kasur dan mengusap lembut surainya.

“11 tahun. Kamu cepat banget besarnya, Nayla. Kayaknya baru kemaren papa bingung waktu kamu demam tapi Mama udah berangkat.”

“Kadang Papa mikir, seandainya Papa gak nyia-nyiain waktu dan kesempatan yang Mama kamu kasih, mungkin saat ini kamu tumbuh lebih baik lagi dengan kehadiran Mama sebagai tumpuan kamu yang lain. Maaf, Nay. Papa belum bisa megang dua peran ini dengan baik. Tapi papa bersyukur karena Nayla dikeilingi orang-orang yang benar-benar sayang Nayla.” Andra bermonolog sebelum akhirnya ia berdiri dan mengecupp kening Nayla.

“Terakhir ... selamat ulang tahun, Our Cinderella. Ini kecup dari Mama.”

Takut membangunkan Nayla, Andra bergegas keluar. Tanpa pernah tahu, Nayla masih terjaga dan menangisi Mama untuk pertama kalinya di balik selimut.

-end- 091121

Pulang

Aku tahu, hari ini ia pulang.

Bukan setahun dua tahun kita saling tahu. Lebih dari itu sehingga pemahamanku atas lelah di air mukanya sudah mesti tak dapat ia sembunyikan di balik seulas senyum yang bagiku menyakitkan.

Ia selalu begitu. Merasakan sendiri. Menyimpin rapi dalam diri. Sejuta rasa yang padahal bisa ia bagi meski sedikit.

Musim gugur telah menyapa dengan rintik hujan dingin mengawali pagi dan hembusan angin sebelum sang surya pamit. Tidak banyak hal spesial. Hanya cokelat hangat dan puding buah di antara kami. Ia bukan penikmat kafein apalagi manisan.

Pandangannya jauh. Pada cakrawala di ufuk barat. Semu jingga yang menenangkan. Tetapi sihirnya mampu memutar rol memori di kepala, kembali pada yang didamba.

”Hei, percaya padaku. Kamu akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.”

Dunia yang kita pijaki memang kejam. Semua yang kita lalui berat dan melelahkan. Mereka bilang akan ada upah setelahnya. Ah, dusta saja. Tak selalu begitu. Mungkinkah cara kita melihat yang harus dirubah?

Pulang.

Di hari-hari tertentu ia akan datang kemari. Bersahabat sepi duduk di balkon menatap jauh ke angkasa. Cokelat panas hanya formalitas. Kerap tak tersentuh hingga kepulan asapnya lenyap. Hening. Berbincang dengan angin.

Helaan napasnya beriring air mata. Sepangsa rindu menyapa sukma. Menjadikan kekasih sebagai rumah sejatinya adalah penyesalan tak berhulu yang pernah ia buat di hidup.

Hari ini ulangtahunnya dan ia pulang. Pulang ke rumahnya. Kepadaku. Aku yang memeluknya tetapi tak nyata.

Selamat tidur, Cinta. Ulang tahunmu ini, beristirahatlah. Mentari nan indah akan menyambutmu esok hari

Seberapa jahat pun dunia, kau tetap cintaku yang paling hebat. Beristirahatlah, aku akan memelukmu. Meski tak lagi dapat kau rasa. Terima kasih telah selalu menyimpanku. Terima kasih karena terus mengingatku di hari-harimu

Esok kau akan baik-baik saja. Percayalah


Selamat Ulang Tahun, Bangchan <3 011021 14:37

A WALK

Sore itu aku dapat mendengar dengan jelas suara debur ombak. Suara angin. Suara samar orang-orang bercengkrama di jauh sana.

Tidak ada suaramu. Karena kamu tidak di sini.

Sepanjang mata memandang adalah samudera lepas. Membawaku pada secuil memori saat kamu membawaku dalam sebuah perjalanan bahtera. Menikmati sore dari geladak. Kau peluk aku erat seperti tak ada lagi hari esok.

Iya, hari esok untuk kita tak ada lagi. Karena kamu tidak di sini.

Kaki telanjangku basah oleh air laut. Sementara sang surya telah sempurna tinggalkan peradaban, langit beranjak gelap. Lampu-lampu di pesisir mulai dinyalakan. Di kejauhan laut, lampu dari perahu-perahu nelayan pun mulai menjadi penerangan untuk perburuan malam ini.

Sabit menggantung indah berteman gemerlap bintang. Pikiranku kalut. Kembali menghadirkanmu di benak. Hari ini, aku merindukanmu lagi.

Malam-malam saat aku berjalan sendiri merindukanmu, kamu seperti datang temani berjalan di sisi. Meski saat kutoleh, kau hilang bak sebuah gambar ilusi di air.

Sedih. Saat aku menyadari bahwa hangat tanganmu tak akan pernah bisa kugenggam lagi. Sedih. Bahwa aku hanya bisa merindu tanpa pernah bisa bertemu apalagi memeluk.

Tatapan mata terakhir masih terpatri di angan. Kamu seakan tahu bahwa setelah itu, aku tidak akan pernah lagi menjadi objek kedua obsidianmu.

Aku merindukanmu. Di penghujung hari temani aku menyusuri jalan pulang. Memelukku erat ucapkan perpisahan di bawah temaram lampu jalan.

Aku merindukanmu. Di sela padatnya hari kirimkan gurau dari pesan singkat yang menyenangkan. Menarik kedua sudut bibir lukiskan senyuman.

Aku merindukanmu, meski kini yang mampu kuupayakan hanya dengan berjalan agar kau tak benar-benar hilang dari kenangan.

Aku mencintaimu, kendati mulai beradaptasi dengan sunyi senyap malam dalam kesendirian.

Aku mencintaimu, meski jarak kita bukan lagi tentang lamanya perjalanan.

Aku mencintaimu, tak terbatas masa.


“Yeji.”

“Iya, Seungmin.”

“Berapa lama waktu yang dihabiskan misalkan aku jemput kamu dengan mobil dan antar kamu sampai rumah?”

Jari telunjuk Yeji daratkan di dagu. Salah satu ciri khasnya ketika berpikir. Diiringi suara helaan napas.

“Mungkin 20 menit? Atau 30?” terka Yeji yang sungguh demi apapun tak pernah memikirkan hal itu.

Seungmin semakin mengeratkan genggaman. “Lebih efisien ya sebenarnya. Tapi aku lebih suka seperti ini.”

Yeji menoleh. “Kenapa memangnya?”

“Menunggu bis di halte, perjalanan dalam bis, lalu berjalan lagi kita sampai ke rumah Yeji. Lama. Aku lebih punya banyak waktu bersama Yeji. Dan lebih banyak kenangan yang akan tersimpan di memori tentang Yeji.”


18/09/2021

as always

tags : harsh words

Seperti biasa.

Chaesa masih disambut hangat di rumah keluarga Abin. Ia sudah seperti anak perempuan kedua—setelah Mbak Cantika—di keluarga ini. Keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Yang Chaesa sempat kira bahwa ia akan menjadi bagian darinya.

Seperti biasa.

Chaesa selalu disuguhkan kudapan kesukaannya. Laiknya putri sendiri yang baru pulang merantau. Padahal masih satu kota meski berlawanan barat dan timur.

Semua masih sama. Masih seperti biasa. Yang berubah hanya perasaannya.

Baru Chaesa sadari sebentar lagi ia akan melepas kawan baiknya ke jenjang baru kehidupan. Sebuah ayat bahwa ia sendiri pun harus merelakan. Berhenti menyirami bibit yang dari awal memang tidak seharusnya ia beri pupuk. Oleh karena tinggi hatinya—dan rasa takutnya—sesal tak dapat dielak.

Abin pernah jujur tentang perasaannya. Tentang si merah muda yang tumbuh di antaranya dan Chaesa. Tentang rasa yang tak semestinya dibiarkan mengakar jika sedari awal mereka hanya ingin menjadi teman platonik.

Chaesa dengan tegas menolak romansa. Ia sudah terlalu nyaman menjadi teman Abin dan akan selalu begitu—ia kira. Tidak sampai akhirnya Abin bertemu dengan tambatan hati yang dalam hitungan hari akan resmi ia ikat dalam ikrar suci.

Aneh.

Mendengar Abin bercerita tentang gadis lain sangat asing di telinganya. Gelenyar perasaan kurang mengenakkan menyesakkan dada. Satu hal disadari Chaesa bahwa Abin tidak pernah suka remedial. Final, Chaesa telah menerima karma untuk penolakannya pada laki-laki sebaik Abin.

”Tante kira Chaesa yang bakalan dinikahin Abin,” ujar Mami Abin tadi saat Membantu Chaesa mencoba baju seragam keluarga Abin untuk acara akad.

Chaesa terkekeh. ”Kenapa gitu, Tante?”

”Ya kalian deket banget. Gak putus hubungan dari kecil. Tapi memang kadang begitu ya. Sudah jadi teman dari kecil belum tentu mau menua bersama.”

”Bisa jadi gitu sih, Tante. Toh Mbak Aruni kayaknya lebih jago buat jadi teman hidup Abin.”

Mami Abin mengangguk. ”Tante akui Aruni sama Abin emang udah saling melengkapi.”

Satu panggilan telpon menginterupsi Chaesa yang tengah mengemudi. Untung bertepatan di persimpangan lampu lalu lintas dan saat lampu menyala merah. Nama Abin tertera di layar.

”Kenapa lo udah pulang?” Tanpa salam pembuka Abin langsung melempar tanya.

“Kenapa gue harus lama-lama di rumah orang?” jawab Chaesa balik dengan pertanyaan.

“Chaesa, kirain masih lama di sini. Aku tadi bikin red velvet dulu buat kamu.”

Tentu saja itu bukan Abin. Abin tidak pernah bersahabat dengan dapur. Itu Aruni. Perempuan yang dicintai Abin selain Mami dan Mbak Cantika.

Chaesa tahu—bahkan hafal cerita hubungan Abin dan Aruni. Abin juga tak ragu mengenalkan Aruni pada Chaesa hingga kedua perempuan itu menjadi sangat dekat.

Sebesar apapun inginnya Chaesa untuk bersanding dengan Abin, tak dapat ia pungkiri bahwa Aruni memang yang terbaik untuk Abin. Sudah paling tepat. Seperti kata Mami Abin tadi. Saling melengkapi. Kalau Abin api, maka Aruni adalah airnya. Tidak, Aruni tidak selemah lembut itu. Tetapi Aruni adalah pribadi yang cepat beradaptasi dan bisa memposisikan diri dengan baik dalam situasi apapun.

Sementara Chaesa adalah kutub berlawanan dari Aruni. Ia terlalu mirip Abin dalam banyak hal sehingga ia yakin tidak akan bisa mengimbangi Abin sebagai partner of life.

Terlalu banyak jika harus diuraikan deretan kelebihan Aruni dibandingkan Chaesa. Termasuk bagaimana perempuan itu menghargai setiap orang yang dikenalnya. Pula perhatian seperti yang baru saja dirasakan Chaesa.

Bagaimana bisa Chaesa membenci Aruni? Tidak. Tidak akan pernah bisa. Dan itu cukup membuatnya kesal.

“Kenapa gak bilang dulu, Mbak?” Aruni memang lebih tua beberapa bulan dari Chaesa dan Abin. Itulah Mengapa Chaesa memanggilnya dengan embel-embel “Mbak” sebagai tanda kehormatan.

”Abin juga dadakan banget bilangnya kalau kamu mau ke rumah Mami. Gimana ya? Oh nanti aku antar aja ya ke rumah kamu?”

”Gak mau nganter rumah Chaesa jauh.” Samar-samar dapat Chaesa dengar suara Abin menyahut.

”Aku gak minta dianterin. Aku bisa pergi sendiri.”

Perdebatan kecil di seberang sana serta merta membuat Chaesa ikut tertawa.

“Aku gak langsung pulang ke rumah ini, Mbak. Aku masih ke studio. Persiapan buat pameran bulan depan belum selesai.”

”Oh gitu. Ya udah nanti aku ke sana ya, Chaesa. Aku matiin ya ini kamu lagi di jalan kayaknya. Hati-hati.”

“Iya, Mbak.”


“Kenapa lo yang kemari?”

Kegiatan Chaesa mencampur warna di atas palet terhenti oleh kehadiran Abin yang sudah berdiri di ambang pintu. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Satu kotak yang Chaesa duga berisi red velvet bikinan Aruni Abin letakkan di atas meja—yang sangat berantakan oleh kertas-kertas sketsa gambaran Chaesa.

“Gak seneng?”

“Gak. Pulang sana.”

“Galak. Pantes jomblo.”

“Ngomong lagi sini gue lukis muka lo jadi squidward.”

Abin hanya terkekeh. Malah menarik kursi dan duduk pangku kaki di hadapan meja. Mengambil satu dari sekian banyak kertas yang berserakan. Memuji dalam hati gambaran Chaesa yang memang bagus sejak dulu.

Entah mengapa Chaesa merasa gugup sekarang. Dengan pisau palet ia masih mencampur warna. Tatapan kosong pada kanvas. Berantakan.

“Kaget!” seru Abin ketika mendengar suara palet yang terjatuh ke lantai.

Chaesa sendiri pun terkejut.

“Pulang gih, Bin. Gue gak fokus kalau ada orang.”

Sambil mengangkat palet, Chaesa kembali mengusir Abin. Untuk saat ini, Abin ada di urutan paling atas daftar orang-yang-tidak-ingin-kutemui milik Chaesa.

“Gue pengen ngobrol sebenarnya. Udah lama kita gak ngobrol. Tapi emang kayaknya lo lagi gak bisa diganggu.”

“Kan gue udah bilang tadi di telpon. Persiapan buat pameran gue belum selesai.”

Chaesa betulan kesal sekarang. Ia pun tidak mengerti mengapa ia jadi kesal saat bertemu dengan Abin begini.

Setelah merapikan palet, Chaesa berjalan mendekati pintu. Membukanya lantas menatap Abin malas. Untuk kemudian mengulas senyum terpaksa.

“Pintu di sebelah sini, Kak. Silahkan keluar. Dan tolong sampaikan terima kasih kepada calon istrinya untuk satu kotak red velvet kesukaan saya. Terima kasih, silahkan berkunjung di lain waktu.”

Abin bergeming. Masih duduk di kursi yang sama menatap Chaesa tak mengerti.

“Gue udah lama berpikir. Dan masih gak nemu alasan kenapa lo ngehindarin gue, Sa.”

“Gue gak ngehindar dari lo, Bin.”

Dusta.

Chaesa membenarkan dalam hati. Ia memang menghindari Abin. Sejatinya, ia tidak siap menghadapi Abin. Terlebih melihat Abin bahagia dengan perempuan pilihannya masih cukup menyakitkan untuk Chaesa.

Abin menggeleng. “Waktu hari lamaran, lo bahkan balik duluan tanpa pamit ke gue.”

“Gue udah bilang kan di chat kalau gue kebelet. Gue juga udah pamit sama tante.”

“Bohong. Lo nginep di rumah Thalia malam itu.”

Chaesa menghela napas. Pintu yang semula dibukanya untuk menyilakan Abin pergi, ia tutup kembali. Masih di posisinya, Chaesa menyilangkan kedua lengan di depan dada. Ia kalah.

“Ya terus gue gak boleh buang air di rumah Thalia?”

Hening. Atmosfer di antara keduanya tak lagi mengenakkan. Abin yang dipenuhi curiga dan Chaesa yang dikuasai rasa takut Abin akan mengetahui perasaannya.

“Lo suka sama gue, Sa?

Mendengar tanya dari Abin itu membuat Chaesa terkejut.

“Kenapa malah nanya gitu?”

“Jawab aja.”

“Iya. Gue suka sama lo, Bin. Puas?”

“Sa—”

“Diem jangan potong omongan gue. Gue suka sama lo. Gue ngehindar karena lo jahat udah langkahin gue nikah duluan. Gue juga sebel gak bisa benci Mbak Aruni karena doi baik banget sama gue sampai mau-mau aja bikinin kudapan-kudapan kesukaan gue. Dan asal lo tau, Bin. Kalau gue jalan sama Mbak Aruni, gue selalu pengen ngeracunin doi pakai sianida biar habis itu lo bisa nembak gue lagi kayak dulu. Dan kita menua bersama berdua!”

Abin benar-benar tak bisa berkata-kata sekarang. Mendengar rentetan kalimat yang dituturkan Chaesa dengan lantang seakan membuatnya mendadak terkubur ke palung bumi terdalam.

Sementara Chaesa sendiri terkejut dengan keberaniannya. Namun reaksi Abin sungguh di luar dugaannya. Sahabatnya itu hanya terpaku menatapnya.

“Sa—”

“Gimana? Udah keren belum gue kalau jadi aktor?”

“Hah?”

Chaesa berjalan mendekati Abin. Lantas menepuk kencang punggung Abin dan tergelak.

“Lo gak pernah belajar dari dulu ya, Bin. Gampang banget dibegoin.”

“Sialan lo!” Ketika akhirnya Abin sadar bahwa ia baru saja ditipu oleh Chaesa, pensil yang ada di atas meja ia lempar ke arah Chaesa yang tengah membuka kotak kue red velvet bawaan Abin.

“Demi Tuhan gue udah bingung gak tahu mau jawab apa. Tai!” Abin sepertinya belum puas mengumpat sementara Chaesa tak peduli. Ia lebih memilih memotong kue dan menyantapnya.

“Lho, mau kemana?” tanya Chaesa ketika Abin bangkit dari duduk.

“Pulang lah.”

“Gimana sih lo. Udah ngerusakin fokus orang, main pulang aja.”

Gerutuan Chaesa tak pelak membuat Abin tertawa. Mendekati Chaesa dan mencuri satu potong red velvet darinya.

“Soalnya maksud kedatangan gue udah tuntas.”

Abin mengusak surai Chaesa. “Gue tunggu lo di pelaminan.”

“Lo mau nikahin gue? Jadi istri kedua?”

Selorohan Chaesa langsung saja dihadiahi satu sentilan dari Abin di keningnya.

“Mulutnya. Maksudnya gue tunggu lo naik pelaminan. Nanti gue dateng sekeluarga. Anak gue 5. Pilih catering yang enak ya.”

“Lo kata Mbak Aruni pabrik percetakan?”

Abin tertawa begitupun Chaesa. Sore itu setelah beberapa waktu kedua teman yang telah saling kenal sejak lama kembali bercengkrama dalam balutan gurauan. Meski singkat, tapi cukup membuktikan bahwa di antara keduanya akan tetap baik-baik saja.

Sampai Abin pamit ketika azan maghrib berkumandang. Tersisa Chaesa sendiri di studionya. Duduk termangu di hadapan kanvas. Air mata yang tertahan sejak beberapa saat lalu akhirnya rilis bebas. Menganak sungai di pipi.

Seperti biasa.

Chaesa berbohong lagi tentang perasaannya.

Seperti biasa.

Chaesa menangis sendiri lagi. Menangisi akhir cerita cinta sepihaknya—yang tak akan sepihak jika ia tidak menolaknya dulu.

-end-

Ngobrol

tags : mature content

18.00

Leo tiba di lobi utama gedung kantor Seruni. Menunggu gadisnya tuntaskan pekerjaan lembur kendati pesan yang dikirimkannya tak lagi berbalas. Toh siang tadi telah ia kabarkan Seruni bahwa mereka akan pulang bersama sore ini.

19.00

Satu jam berlalu dan belum ada tanda-tanda Seruni segera keluar. Pikiran Leo benar-benar kalut. Kondisi sama-sama lelah kemarin membawa keduanya pada penarikan kesimpulan yang salah. Ditambah pesan ambigu yang Seruni kirimkan padanya siang tadi makin membuat Leon ingin melepas kepala sejenak lantas dibersihkan ke binatu.

19.25

Leon memutuskan untuk keluar dari mobil. Deja vu. Leon pernah seperti ini. Menjemput Seruni—lebih malam dari ini—yang masih berkutat di depan layar komputer dalam keadaan demam.

Mungkinkah kali ini begitu?

Berbekal akses yang diberikan resepsionis dengan mudah—siapa juga yang tidak kenal Caesar Leon di kantor ini—Leon kini sudah berada di lantai 6 letak departemen Seruni berada.

Sepi.

Kecuali satu kubikel di sudut tak jauh dari jendela. Suara ketikan masih jelas terdengar. Leo mendekat.

“SelesaAA—AYAH!” pekik Seruni saat menyadari Leo sudah berdiri di sisinya.

“Demi Tuhan leo aku masih mau umur panjang. Kamu ngapain?” tanya Seruni yang sepertinya lupa akan pesan siang tadi.

“Jemput?”

“Memangnya ini jam—HAH KOK UDAH MAU JAM 8?”

Leo menarik kursi milik rekan di sebelah kanan Seruni. Memperhatikan si gadis sibuk mengobrak abrik isi tas mencari sesuatu.

“Leo bisa tolong telponin hp aku gak? Aku lupa taruh dimana.”

“Oke.”

Sesuai pintanya, Leo mencoba menghubungi ponsel Seruni. Suara getar pun terdengar dari saku blazer Seruni yang tersampir di kursinya.

“Ya Tuhan...maaf ya Leo aku gak denger. Ternyata missed call dari kamu udah sebanyak ini.”

Sengaja.

Seruni memang awalnya sengaja mengabaikan panggilan dan pesan dari Leo hari ini. Lalu berujung ia betulan lupa semuanya karena fokus menuntaskan tumpukan pekerjaannya hari ini.

“Ru.”

“Iya.”

“Mau ngobrol dimana?”

Sejujurnya ini perkara sepele. Tetapi keadaan memang kurang menguntungkan keduanya kemarin. Seruni yang masih sensitif karena siklus bulanannya, dan Leo yang baru pulang mengawal proses mediasi alot.

Seruni menghela napas. “Di sini. Sekarang,” jawab Seruni mantap. Paling tidak setelah keluar dari gedung ini, keduanya sama-sama sudah lega.

“Oke.”

Seruni pamit sebentar ambilkan 2 cup kopi untuk temani keduanya dalam sesi rekonsiliasi. Ledakan-ledakan itu sudah berlalu kemarin. Satu malam dirasa cukup untuk keduanya menenangkan diri dan introspeksi.

“Kenapa kamu gak bilang pulang bareng Kevin?”

“Karena kamu gak nanya.”

“Kamu bisa bilang tanpa perlu aku tanya kan?”

“Apa semua harus aku kasih tau kamu? Kamu gak biasanya kayak gini, Leo. Memangnya kenapa kalau Kevin?”

“Dia mantan kamu, Ru.”

“Iya dia mantan aku. Ya sudah. Ceritanya udah selesai. Bukunya udah ditutup. Hari ini numpang lewat doang dia nganter aku karena meetingnya kelar pas jam pulang. Aku sendiri juga baru tahu kalau Kevin pic dari perusahaan rekanan.”

“Kamu bisa aja nolak, Ru.”

“Oke, jadi mau kamu gimana? Salahku? Oke. Oke Leo. Karena kamu udah terlanjur sampai sini, aku juga bisa nimpal balik kan?”

“Maksud kamu?”

“Clara. Sorry—Laras. Gitu kan panggilan sayang kamu ke dia? Kamu nemenin dia ke dokter kandungan bulan lalu kalau kamu lupa, Leo.”

“Kamu tau darimana?”

“Kamu tau darimana? Seriusan Leo kamu nanya kayak gitu? Berarti kalau gak aku up gini gak bakalan kamu cerita ke aku kan? Misalkan hari itu aku gak jenguk temen aku mungkin sampai hari ini pun aku tetap gak akan tahu kamu nganter Clara—I mean Laras ke dokter kandungan. Dia udah punya suami, Leo.”

“Suaminya lagi di luar kota.”

“Kamu sebut itu alasan?”

“Ya terus apalagi. Ru? Laras temen aku—”

“Kevin juga teman aku, Leo. Dan Laras juga mantan kamu.”

Seruni melepas cincin yang tersemat di jari manisnya. “Bawa. Balikin ke aku kalau kamu rasa aku pantas buat itu.”

“Seruni!”

“Jadi?” Seruni menginisiasi.

“Aku minta maaf soal kemarin. Aku gak tahu kenapa aku benar-benar gak bisa berpikiran jernih kemarin. Aku juga udah kasar sama kamu kemarin, Ru.”

Seruni mengangguk. “Aku juga minta maaf ya, Leo.”

“Kamu gak salah.”

“Kita sama-sama salah.”

“Soal Laras...iya memang niatku gak mau ngasih tahu kamu. Ternyata kamu tahu sendiri dan malah jadi bumerang buat aku. Tapi hari itu aku betul-betul cuma nganter dia, Ru. Gak nemenin sesi konsultasinya. itupun karena suaminya dia sendiri yang minta tolong ke aku. Aku inget juga hari itu kamu chat aku waktu lagi futsal sama Mas Noah. Mungkin maksud kamu nanya itu biar aku cerita soal Laras, tapi karena jawabanku gak sesuai yang kamu terka, aku jadi terkesan bohong.”

Ya. Seruni ingat ia sempat merasa gondok karena Leo yang tidak terus terang. Tetapi hari ini ia sudah mendengar cerita lengkapnya.

“Giliran aku ya. Soal Kevin, kayak yang aku bilang dia pic dari perusahaan rekanan buat meeting project kemarin. Dia nawarin pulang bareng karena emang meetingnya kelar udah lewat jam pulang. Aku iyain dong lumayan uang transport bisa aku tabung kan. Dan aku gak nyangka juga mobil kamu di depan mobil Kevin waktu antri POM berakhir kamu buntutin kita sampai rumahku. Kesannya jadi kayak disergap ketahuan selingkuh.”

Tawa ringan menguar begitu saja dari Seruni. Tawa ringan yang dengan mudah menular pada Leo di hadapannya. Menertawakan ego masing-masing di hari kemarin.

2 cup kopi itu sudah tandas menemani sesi rekonsiliasi Leo dan Seruni. Final yaitu Leo yang meraih tangan kiri Seruni. Menyematkan kembali cincin yang dilepas si gadis kemarin.

“Jangan dilepas lagi, ya. Aku benar-benar gak bisa tidur satu malam gara-gara ini.”

“Leo.”

“Iya.”

“Boleh peluk?”

“Boleh.”


“Ru, telat tadi siang maksudnya gimana?”

“Telat?”

“Oooh. Aku telat ngajuin cuti. Masih punya 5 hari tahun ini. Ya udah kusimpan buat ultah aja.”

“Ya Tuhan...kirain apaan.”

“Apa? Isi?”

“Barangkali kan.”

“Iya sih ini udah telat 4 hari. Ntar kalau telatnya udah 2 minggu baru aku test.”

“Kenapa kamu santai banget?”

“Kenapa aku mesti panik kalau bapaknya cuma kamu?”

-end-

CLOUDS

Dia masih berdiri termangu. Di hadapan cermin yang pantulkan figurnya. Tubuh kurus berbalut dress putih tipis. Mengekspos coretan tinta-tinta permanen di kulit pucatnya. Kupu-kupu, bunga, pemantik.

Kressss.....

Nyaring suara gunting. Memangkas helai-helai karamel mahkota kepalanya. Sebuah helaan rilis saat mahkota sepunggung itu tersisa sebatas menggantung di bahu.

Air matanya tak lagi terbendung. Selaras dengan air langit yang menerpa kaca jendela kamarnya. Awan kelabu berkumpul rapat. Begitupun sesak di sukmanya.

Tatapannya nanar pada putih di angkasa. Lontarkan tanya tanpa suara. Udara semakin dingin pun bekukan diri dan jiwanya. Tapi ia tak peduli. Dress putih tipis itu adalah kesedihan yang mengudara.

Pada cakrawala kelabu ia lepaskan tanya. Tentang gerangan yang kini telah pergi sebelumnya. Gerangan yang masih ingin ia ajak tuk nikmati aroma kembang di musim semi. Gerangan yang masih ingin ia ajak bernyanyi di malam-malam benderang musim panas. Gerangan yang masih ingin ia ajak bercengkrama di balik jendela saat musim gugur menyapa. Gerangan yang masih ingin ia rasakan peluk dan dekapnya saat musim dingin kuasai dunia.

Apa sekarang kamu baik-baik saja?

Tidak ada.

Ia telah melambung di udara lepas. Menari di balik awan. Meninggalkannya seorang diri menapak bumi yang menakutkan. Memaksanya kembali pada waktu sebelum ia datang. Pada masa dimana ia belum menjadi bagian dari cerita di semestanya.

Apa meninggalkanku tanpa pamit membuatmu baik-baik saja?

Konyol.

Semua tanya di benak hanya berisi tanya-tanya kosong melompong tak perlu jawab. Tetapi ia masih memaksa untuk mendengar sendiri bahwa jawaban itu adalah “tidak”.

Sebab aku tidak baik-baik saja setelah melepasmu jauh

Minggu lalu tangan kekar itu masih erat merengkuh pinggang kecilnya. Deru napasnya yang teratur masih hangat di ceruk lehernya. Satu minggu sampai ia tak lagi bergerak dan menetap tak ada daya.

Ia pernah berada di jurang yang gelap nan sepi. Di balik deretan pegunungan rasa takut akan dunia yang tak pernah bersahabat dengannya. Lantas dialah cahaya yang menuntunnya keluar dari gelap sepi. Menemaninya untuk menemukan kembali pemahaman bahwa hidup masih ada artinya. Yang mengajarkan untuk mencintai dirinya sendiri.

Ketika semua telah tercapai, ia pergi.

Apakah kamu tersenyum sekarang? Apakah kamu bahagia telah membuatku mencintai diriku sendiri?

Temui aku lagi di mimpi

Bisikkan lagi padaku manis tuturmu tanpa bantahan agar aku tetap baik

Meski kamu takkan pernah lagi dapat kutemui sesuka hati

Berjanjilah padaku kita akan bertemu lagi dalam versi terbaik satu sama lain

Aku mencintaimu....bersama sepi malam-malam tanpamu

Aku mencintaimu....bersama awan-awan putih yang berarak diterpa angin di angkasa biru

-end-

29/08/2021

only

Ia duduk sendiri di pelataran belakang rumahnya. Menatap satu persatu rintik langit yang jatuh basahi bumi. Suara gemericik di awal perlahan menjadi deru deras. Angkasa jauh telah sepenuhnya memutih. Pertanda hujan ini akan berlangsung untuk waktu yang lama.

Di hari hujan begini, selalu satu yang menyapa ingatan. Di antara ribuan rol film kehidupannya, hanya satu yang tetap dimainkan di benak.

Ia dan rambut panjangnya yang basah kuyup ditempa hujan. Karet gelang butut adalah satu-satunya yang ia punya untuk menyatukan helai-helai mahkota kepalanya. Hari itu sudah waktunya pensiun. Tugas karet gelang itu usai. Berganti seutas pita berwarna merah yang ia berikan setelah mengumpulkan berhari-hari keberanian untuk menyapa.

Di bawah guyuran hujan ia bantu mengikat rambut panjang hitamnya. Cantik. Ia selalu cantik dan akan selamanya begitu.

Sua itu adalah awal langkah-langkah beriringan berikutnya. Temu yang paling berkesan kendati tak mesti berakhir baik ketika akhirnya perpisahan mesti menyapa.

Tapi Tuhan lewat semesta yang diciptakan-Nya tak pernah salah memberi arah. Bahkan setelah perpisahan pilu oleh impian yang berlawanan, mereka masih diizinkan temu. Mereka masih terhubung oleh seutas benang yang memang terbentang untuk menyatukan keduanya.

Indah….

Jatuh cinta di waktu yang tepat, pada sosok yang tepat memang indah. Pula ketika rumah kecil itu mulai dianugerahi anggota-anggota baru.

Waktu tak pernah berdusta. Ketika semua tumbuh, satu per satu pergi. Sama seperti keduanya yang juga begitu dulu.

Menyisakan keduanya di rumah tua hangat itu. Hangat oleh cinta yang tak pernah kurang sejak dulu. Oleh kasih sayang yang tak pernah habis dimakan usia. Oleh perasaan yang tak pernah berubah bahkan ketika zaman kian sulit untuk dikejar.

Tuhan pun tak pernah berdusta. Ketika mengabulkan doa, semua tergantung kadar cinta sang abdi. Ia pernah berdoa untuk tidak membiarkannya merasa kesepian di masa senja. Tuhan kabulkan. Ia tak pernah merasa kesepian karena memilikinya. Sebab ia pulang lebih dulu ke haribaan pencipta. Meninggalkannya sendiri di rumah hangat ini.

“Kakek, apakah kakek ingin bertemu nenek?” Yang umur 10 bertanya.

“Sangat ingin.”

“Apa aku boleh ikut?” Giliran adik perempuannya turut menyahut. Umurnya 6.

“Aku juga mau ikut. Aku rindu kue lemon buatan nenek.” Kali ini disahut oleh sepupu umur 8.

“Apple pie nenek lebih enak.” Yang umur 6 tidak terima.

“Tidak. Pokoknya kue lemon.”

“Kalian ini selalu ribut.” Yang umur 10 kini berdiri di antara kedua saudaranya melerai.

Ketiga malaikat kecil itu yang tak sadar menyalakan kembali percikan-percikan bara yang nyaris padam. Kemurnian cinta mereka padanya mengingatkan bahwa pernah ada sosok bidadari menjelma kekasih hati yang juga mencintainya.

Satu-satunya bidadari yang datang untuk menjadi miliknya. Satu-satunya kecintaan. Satu-satunya teman merajut langkah, rekan yang tak jemu mendengar keluh sendunya. Sahabat yang selalu membuatnya ingin terus melakukan segala hal dalam versi terbaik. Kekasih yang telah rampungkan tugas dunia dan beristirahat dalam damai.

Hari ini aku tandai lagi di atas kalender Hari ke 100 setelah tugasmu berakhir Hari dimana aku kembali merasakan getir Hari saat aku menyadari bahu rapuh ini bukan lagi tempatmu bersandar

Aku masih merapal mantra saat hujan Barangkali pintaku dikabul Tuhan Sebagaimana yang sebelumnya ia aminkan Untuk tidak biarkanmu kesepian

Sepi takkan pernah menjadi karibmu Oleh karena besar jagatnya cinta milikmu Sampai kita berjumpa dan kembali menari di awan yang bergumul Aku simpan rapat di ruang batin semesta rindu tak berbatas untukmu

-end- 31/08/2021

Appetizer

TW// Suggestive

Jisun tahu ini memang salahnya. Tidak sepenuhnya salah juga karena harus berjarak di hari ulang tahun Changbin memang di luar kuasanya. Tetapi paling tidak saat ini ia sudah bersama laki-laki kecintaannya itu. Kendati sudah lewat dua hari sejak ulang tahunnya, ia masih pundung dan Jisun nyaris dibuat gila oleh kekasih yang lebih muda 1 tahun—9 bulan lebih tepatnya—darinya.

Berdua masih bergelung di balik selimut. Persetan dengan ponsel yang terus berdering sejak tadi. Changbin betul-betul hanya ingin menghabiskan waktu dengan pacarnya setelah ditinggal 2 minggu. Duduk bersandar di kepala tempat tidur dan biarkan Jisunnya bersandar di dada bidangnya.

“Aku lapar,” keluh Jisun.

Pukul 10. Dua jam berlalu sejak keduanya bangun pagi tidak produktif. Menikmati tayangan film di layar besar—yang tidak benar-benar dinikmati.

“Aku enggak,” sahut Changbin.

“Dih sakit lambung nanti.”

“Jelek ngomongnya.”

Jisun terkekeh begitupun Changbin. Rengkuhan Changbin di pinggangnya makin erat. Kalau sudah begini, Jisun benar-benar tidak bisa apa-apa lagi selain menunggu kapan Changbin lengah atau akhirnya luluh dan nurut.

Sayangnya, Jisun juga sudah tidak sabar. Dia baru kembali dari luar kota semalam omong-omong. Waktu dan dirinya langsung disabotase oleh Changbin. Mati kelaparan karena tidak dibiarkan lepas dari pelukan pacar agaknya terlalu malu-maluin untuk dijadikan headline portal berita online.

“Bin,” panggil Jisun lembut. Tidak lagi bersandar di dada Changbin. Ia duduk menatap pacarnya. Mengusap lembut pipi Changbin.

“Hmmm,” respon Changbin pura-pura tidak terusik padahal telinganya sudah merah padam.

“Brunch dulu ya?” Satu kecupan mendarat di pipi Changbin membuatnya mendelik. Tangannya menahan pergerakan tangan JIsun di pipinya.

“30 menit lagi,” tawar Changbin berusaha memberi negosiasi. Jisun menggeleng.

Oke ini terakhir batin Jisun.

Yang berikutnya ia lakukan adalah duduk di pangkuan Changbin. Kedua tangan bertumpu di bahu Changbin lantas mencium bibirnya. Dari kecupan singkat berlanjut lumatan lembut oleh Changbin yang akhirnya merapatkan tubuh Jisun dengan merengkuh pinggangnya.

Meski Jisun sempat terbuai, tetapi pergumulan itu tidak berlangsung lama. Kesadarannya kembali untuk kemudian menarik diri dari Changbin dan beranjak dari posisi.

“Hey, kemana?” tegur Changbin yang kalah cepat untuk menguasai Jisun kembali. Ia ikut berdiri ingin menghampiri Jisun yang sudah lebih dulu membuka pintu kamar. Melepas tawa selebrasi kemenangan.

“Udah ih, aku betulan lapar. Cukup ya buat appetizernya.”

Oh….oke. Akan Changbin tagihkan menu utamanya nanti. Mungkin memang sebaiknya mereka re-charging terlebih dahulu.

—end—

Surgery

TW// blood(minor) , medical procedure , vomit

Julia sedang kelelahan ketika kepalanya tiba-tiba ramai. Riuh obrolan yang tak dipahami. Serta suara denting benda metal bersinggungan.

Selalu seperti itu setiap ia sendiri. Setiap kali ia ditinggal bermalam oleh kewajiban suaminya berkutat dengan perlengkapan dan peralatan bedah.

Balik ke kanan dan disambut pisau bedah yang membelah perut. Menampilkan usus diselimuti racun dan lemak tak tahu diuntung yang membuat buncit perut. Suara disisik lemaknya membuat Julia nyaris memuntahkan isi empedu.

Balik ke kiri ada sepasang jarum dan benang jahit menanti. Ditusuk, ditarik, ditusuk, ditarik membentuk garis-garis menyilang untuk menutup perut yang dibedah sebelumnya. Asal. Betul-betul asal sampai Lia bisa merasakan ada yang akan meledak dari perutnya setelah ini.

Buff!!! Berlian.

Berlian-berlian itu berhamburan di udara dari perut Lia. Sampai-sampai tubuhnya terasa ringan. Ia melompat-lompat di atas berlian-berlian itu. Tertawa dan menari seakan perutnya tak pernah dibedah sebelumnya.

Apakah Minho yang sedang berada di ruang operasi juga membedah perut orang? Adakah berlian di perut orang itu seperti Lia? Seru sekali menjadi kaya raya hanya dengan membedah perut orang. Apakah ikan juga punya?

Zamrud?

Emas?

Atau berlian sama sepertinya?

Besok Lia akan pergi ke pasar ikan dan membedah perut-perut mereka. Ia akan mencari tahu. Barangkali bisa membuatnya kaya raya.

—end— 13/8/21

Waktu Lagi Sedih [8]

Jeongin x Yuna

Yuna itu selalu cantik mengenakan apapun. Apalagi warna-warna cerah seperti kuning. Hari ini pun begitu. Menemani Jeongin menghadiri pernikahan sepupunya berbalut dress kuning yang manis.

Tetapi sorot di matanya berbanding terbalik dengan pancaran aura menyenangkan dari tindak tanduknya. Yuna terlihat kurang baik dan Jeongin terlambat menyadarinya.

“Maaf ya. Kayaknya mending tadi aku gak ngajak kamu aja ya,” ujar Jeongin ketika akhirnya ia memiliki kesempatan berbincang dengan Yuna. Sebelumnya Yuna sepenuhnya disabotase oleh Ibu dan para bibi yang memang sangat senang mengobrol dengan Yuna.

“Kenapa Kakak ngomong gitu? Kakak mau bawa selingkuhan ya?”

“Hush sembarangan kalau ngomong.” Yuna tertawa tapi tidak dengan matanya.

“Kamu kelihatan lagi punya emosi lain.”

“Yuna!”

Belum sempat Yuna menjawab, satu suara telah lebih dulu tertangkap rungunya. Salah satu sepupu Jeongin rupanya. Ganti menyabotase pacarnya.

“Nanti aja aku ceritain ya.” Bisik Yuna sebelum ia pergi dibawa sepupu Jeongin untuk entah apa.

Sepanjang sisa acara, Jeongin berusaha memikirkan alasan kehadiran emosi lain dalam diri Yuna. Terakhir kali yang Jeongin tahu, Yuna sedang menggebu-gebu mengerjakan sebuah karya ilmiah untuk diajukan dalam kontes yang diselenggarakan kementerian pendidikan tinggi. Jeongin ingat Yuna sampai melarangnya mengajak pergi apalagi berkunjung karena ia benar-benar fokus dari mulai riset hingga penyusunan. Gak ada waktu pacaran, katanya.

Setelah acara berakhir, Jeongin segera menarik Yuna dan pamit dengan cepat pada keluarganya. Ia khawatir Yuna semakin kelelahan jika harus meladeni sepupu-sepupu Jeongin yang lain—yang sebenarnya masih ingin mengajak Yuna bermain.

“Jadi bingung ini sebenarnya yang saudara aku apa kamu kayaknya pada lebih asyiknya sama kamu ya. Mana disabotase aku berasa datang kondangan sendiri,” keluh Jeongin saat keduanya sudah berada di mobil. Yuna tertawa menanggapi.

“Aku juga bingung sebenarnya. Tapi bibi-bibinya Kakak seru-seru orangnya. Sepupu-sepupu juga asyik.”

“Aku tuh baru inget kamu habis ngerjain karya ilmiah, Malah jadi nanggap banyak orang tadi. Capeknya jadi berkali lipat.”

Tidak ada respon dari Yuna selain helaan napas.

“Kenapa malah menghela napas?”

“Aku sedih gara-gara karya ilmiah itu,” aku Yuna akhirnya.

“Lho? Bukannya kemarin kamu antusias banget?”

Yuna mengangguk membenarkan. “Awalnya gitu. Yang ikut tuh 5 orang kan. Aku gak lolos. Oke gak apa-apa. Yang bikin kesel dan sedih tuh karena yang dilolosin ponakannya salah satu dosen pembina. Aku bakalan terima dengan lapang dada kalau bukan dia yang lolos sebab yang lainnya sama kayak aku kak prosesnya. Sementara dia, di saat kita riset cari referensi sana sini dia malah asyik clubbing, liburan juga. Gak pernah keliatan ngerjain. Gak pernah keliatan susah payah lah,” tutur Yuna menggebu-gebu. Wajahnya sampai merah padam, tetapi matanya berkaca-kaca.

“Mungkin dia susah payahnya sembunyi-sembunyi.”

Yuna menatap tajam pada Jeongin yang fokus menyetir. “Aku udah gak bisa berpikiran positif lagi tentang dia.”

Sangat ketus. Kalau sudah begini, hanya ice cream yang mampu mendinginkan kepala Yuna yang sudah mendidih oleh amarah.

Siapapun jelas jengkel ketika usahanya tidak dihargai. Untuk kasus Yuna, malah seperti tidak ada artinya meluangkan waktu berhari-hari kalau pada akhirnya jalur orang dalam lebih mulus dilewati. Ya...begitulah realita yang kerap ditemui. Sukur-sukur bisa dapat hasil yang baik. Namun biasanya hasil baik itu tak akan bertahan lama.

Sesuatu yang diawali dengan tidak baik, bukan tidak mungkin berakhir dengan lebih buruk lagi. Cepat atau lambat, kebusukan seperti itu pasti akan terungkap.

“Pokoknya aku masih gak ikhlas!” Sekali lagi Yuna tegaskan.

Kini keduanya sudah duduk bersisian di salah satu bangku taman. Menikmati pemandangan sore berteman satu cone ice cream vanilla di tangan masing-masing.

Jeongin mengangguk paham menanggapi. “Aku juga gak terima usaha pacarku gak dihargai. Tapi lebih gak terima lagi kalau pacarku sedih hanya karena hal kayak gitu. You deserve better, right? Team up aja sama temen-temen kamu yang lain. Kalian bisa ikutin karya ilmiah kalian di kontes lain. Tingkat internasional mungkin? Yang diadain ivy league misalnya.”

Yuna terdiam. Menatap Jeongin tak percaya. Es krim di tangan diabaikan. Netra fokus pada Jeongin yang masih tak terusik oleh tatapannya.

“Kenapa aku gak kepikiran kayak gitu?”

“Ya….karena kamu lebih dikuasain amarah. Jadi susah buat berpikir logis. Benar atau benar?” Yuna mengangguk.

Jujur, Jeongin sebenarnya asal bicara, Tetapi entah mengapa Yuna jadi terlihat lebih antusias. Binar-binar ambisi yang membara di sorotnya kembali hidup. Seakan Jeongin baru saja menyiramkan secawan emisi pada kobaran yang sempat meredup.

“Harusnya aku cerita sama Kakak dari kemarin-kemarin ya. Jadi waktunya gak kebuang sia-sia.”

“Gak apa-apa. Kan kita juga baru sempat ketemu. Kalau kamu lupa, kamu sendiri kan yang ngelarang aku temui.”

“Hehehe… iya sih, Tapi makasih ya, Kak. Aku mau balas dendam sama mereka yang udah curangin aku sama temen-temenku.”

“Gak usah aja.”

“Kenapa? Kan tadi kakak yang usulin.”

“Nanti aku gak boleh nemuin kamu.”

“Hehe..kali ini boleh kok. Soalnya Kakak yang ngasih usulan. Hehe...once again makasih usul dan es krimnya, Kak.”

Sepertinya Jeongin jadi kelebihan glukosa. Perpaduan Es krim dan senyum Yuna ternyata tidak cukup baik untuk stabilitas gula darahnya. Tapi paling tidak, gadisnya sudah tidak sesedih tadi.

—end—