piechocolix

she writes as memories....

Caramel

xh junhan x nmixx bae

Jehan datang 15 menit lebih awal di café. Yakin bahwa Belia akan datang tepat waktu pukul 10. Jujur keyakinan yang dibawa Jehan saat ini seadanya. Dia telah banyak mendengar testimoni tentang cinta pertama.

Apakah Jehan peduli? Tentu saja tidak.

Itu bukan selalu. Hanya sering terjadi tak berarti selalu. Ia punya 50:50 keberhasilan dan kegagalan. Posibility nya sama.

Belia tiba pukul 10.01. Memesan minum dan cemilan untuknya sebelum menyapa Jehan dan duduk di hadapan Jehan yang masih asing dengan rambut panjang Belia.

“Lo nunggu lama ya, Kak?”

“15 menit?”

Belia mengangguk paham. Kedua netra berpendar menengok kanan kiri memperhatikan detail setiap sudut café.

“Bentar. Gue tiba-tiba keinget study-date kita dulu. Yang tiba-tiba lo ditelpon ayah lo.”

JEhan menyelam kembali pada memori beberapa tahun lalu. Belia yang bosan menunggunya belajar. Hari itu ia melihat sisi lain Belia yang tidak tahan dalam ketenangan.

“Lo pasti bosan banget hari itu.”

Belia mengangguk. “Tapi rasa suka gue ke lo ngalahin rasa bosan sih, Kak.”

“And if it ever happen again?” tanya Jehan spontan mengundang perhatian Belia.

Pandangan keduanya bertemu. Seakan menyampaikan satu sama lain kebenaran yang terelakkan dari sorot yang ada.

Belia menyerah dan berpaling. Seakan memberi jawaban pada Jehan kegagalannya hari ini telah datang. Belia menjadi lebih sulit untuk diterka. Jiwa keduanya mungkin tertukar sejak akhir itu.

“It might never happen tho.”

“You wish it never, Bel.”

“Kak, We were kid back then.”

Obrolan yang mengambang. Tema yang tersirat seperti tabu di antara keduanya. Namun satu sama lain paham kemana arahnya.

“I have no chance?”

“You have no chance.”

Belia tumbuh dewasa dan pindah. Sementara Jehan tumbuh dewasa tetapi terjebak dalam perasaannya yang mendalam pada cinta pertamanya.

Lagipun apa yang ia harapkan ketika kenyataannya memang dia yang pergi dan Belia yang ia tinggalkan?

Sampai 2 jam berlalu, tak ada lagi obrolan tentang masa lalu. Belia begitu lihai membawa topik yang lebih “sehat” alih-alih mengulas kenangan.

Sampai akhirnya Jehan melepas Belia yang pamit, ia mafhum. Belia cinta pertamanya yang tak akan terulang dan yang paling dalam rasa sakitnya.


 

flatline

xh ode x nmixx sullyoon

Oscar sudah lama tahu Shellyn. Mungkin sejak kecil karena keluarga keduanya pergi beribadah di gereja yang sama. Tapi apakah kesempatan untuk dekat ada? Ada. Tetapi Oscar tidak seberani itu untuk memulai.

Sampai akhirnya kesempatan yang lebih baik dan punya banyak peluang datang. Saat penerimaan siswa baru SMA dan ia menemukan Shellyn di antara ratusan murid yang berkumpul di depan panggung.

Ia menemukannya dan menyadari bahwa virus merah jambu telah menginvasi setiap rongga batinnya. Shellyn seperti hujan di kemarau panjang masa SMA-nya yang nyaris tanpa bumbu romansa. Kalaupun bisa dimasukkan kategori romansa, mungkin harus disandingkan dengan angst.

Besar harapan Oscar pada Shellyn. Terlebih mengingat lagi-lagi ia jatuh cinta pada seseorang yang masuk dalam daftar-siswi-paling-diinginkan-untuk-jadi-pacar-selama-SMA. Ya. Oscar pernah jatuh cinta dengan salah satu adik kelas tahun lalu yang harus ia relakan karena si gadis lebih memilih kakak kelasnya yang baru lulus tahun ini.

“Hey, lo anak IM kan?”

Di antara kerumunan orang-orang selesai beribadah, Oscar tepuk pundak Shellyn; menyapa untuk pertama kalinya.

“Iya. Kakak member D’Ordie kan?”

“Lo tau?”

Ia mengangguk dengan seulas senyum terpatri di paras cantiknya. Lepas itu pamit ketika kedua orangtuanya memanggil. Meninggalkan Oscar yang nyaris kehilangan fungsi lutut karena otaknya sibuk memproses senyum manis Shellyn.

“Gue Shellyn.”

“Oscar. Kadang pada suka manggil Osce.”

Perkenalan resmi pertama. Di perpustakaan sekolah. Obrolan sana sini yang diinisiasi Oscar rupanya mendapat respon baik dari Shellyn. Dari situ banyak hal yang membuat Oscar semakin terpikat.

Shellyn pun bukan gadis naif apalagi bodoh. Segala sikap dan perhatian Oscar sudah ia baca. Obrolan singkat lepas ibadah yang selalu diinisiasi Oscar, menyapa saat papasan, atau mengambilkan buku di rak yang lebih tinggi dari jangkauan Shellyn.

Hal-hal sepele yang Shellyn sadari bahwa ini tidak biasa. Dan ia sendiri pun ikut jatuh terperangkap saat menyadari siapa yang ia cari di antara anak basket yang latihan dari tribun. Atau mencari sosoknya dari balik jendela saat kelasnya sedang olahraga di lapangan luar.

“Shel?”

“Iya?”

“If I ask you such a cheesy question, will you answer it?”

“Cheesy like?”

“Will you be my gf?”

“I will.”

“Eh?”

“Hmmm?”

“Beneran?”

“Hmm beneran.”

“Why?”

“Idk…I fell like I should say ‘I will’.”

“So we have the same feeling, aren’t we?”

“We are.”

Kalau kalian pikir mereka dalam obrolan terbuka, tentu kalian salah besar. Chat? Apalagi itu. Percakapan ini ada di buku catatan fisika Oscar. Dan terjadi di perpustakaan sekolah. Tempat pertama kali mereka berkenalan secara resmi.


 

 

Older

xh gaon x nmixx haewon

Karena sudah dapat dipastikan Galih mengerjakan laporan dalam waktu yang lama, maka pilihan tempat untuk mengerjakannya adalah mekdi 24 jam. Seingat Galih 2 jam lalu dia masih membedah kadaver sebelum pulang ke kosan untuk mandi lantas menjemput Hanin.

Si gadis mulai membuka buku hukum tata negara miliknya. Fokus penuh tanpa berniat mengganggu Galih yang ia tahu betul tidak bisa diinterupsi jika tidak ingin laporannya tidak selesai malam ini.

Galih menuntaskan laporannya nyaris 2 jam kemudian. Lantas meregangkan punggung dan menyadari sosok Hanin di hadapannya sudah terlelap. Buku yang ia baca terbuka dan menjadi alas kedua tangannya yang menyilang menumpu kepalanya.

Galih hanya bisa mengulas senyum. Tangannya reflek merapikan poni Hanin yang malah membuat si gadis terbangun.

“Kelar, Gal? Jam berapa nih?” Hanin celingukan sana sini mencari jam. Kedadarannya belum penuh.

“Jam 11. Balik yuk?”

“Emangnya udah selesai?”

“Udah.”

“Kok cepet?”

“Mumpung fokus. Udah hayuk gue anter balik. Gue mau lanjut belajar buat OSCE.”

Hanin akhirnya mengangguk. Membereskan buku-bukunya untuk kemudian beranjak melangkah lebih dulu daripada Galih.

Galih merasa akhir-akhir ini ia jarang berbincang panjang dengan Hanin. Kesibukan si gadis yang lebih muda setahun darinya itu sebagai Mahasiswa Ilmu hukum yang juga aktif di organisasi dan dirinya sendiri yang mulai harus menyiapkan diri untuk KKN—dan quis-quis dadakan dari profesor setiap masuk kelas—menjadikan intensitas itu berkurang dengan sendirinya.

“Han.”

“Hmm?”

“Ngantuk berat?”

Hanin menggeleng. Mengalihkan tatapan yang semula ke arah jendela pada Galih yang berusaha tak kehilangan konsentrasi mengemudi.

“Gue mau ngobrolin kita sih.”

Hanin mengerutkan kening. “Emang kita kenapa?”

“Akhir-akhir ini jarang ketemu. Kalau ketemu sibuk sama urusan sendiri-sendiri juga.”

Tepat mengakhir kalimat, mobil Galih berhenti di lampu merah terakhir sebelum memasuki area kosan Hanin.

Hanin menghela napas. Menatap Galih sebentar sebelum akhirnya berkata, “Anter gue ke rumah aja, Gal. Kangen Papa.”

“Oke.”

Perjalanan makin panjang—dan memang itu tujuan Hanin. Belum ada obrolan lagi karena masing-masing sibuk dalam pikiran. Pasangan yang kerap dijuluki couple goals yang selalu terlihat paling aman-aman saja di publik sebetulnya punya banyak kekhawatiran sama seperti pasangan pada umumnya.

Mungkin karena pembawaan keduanya yang ceria sehingga dianggap mereka tidak pernah diliputi masalah. Ya benar sih, masalah terbesar mereka sebetulnya ya karena mereka terlalu main aman. Sama-sama hati-hati pada satu sama lain. Sama-sama takut satu sama lain bosan dengan hubungan aman ini.

“Gak usah khawatir. Kita baik-baik aja. Cuma nambah urusan di hidup masing-masing dan priority bukan lagi soal ngehibur satu sama lain, Gal. Diri kita sendiri-sendiri dulu baru satu sama lain,” ujar Hanin sembari menepuk-nepuk pundak Galih.

Mobil kembali berjalan lurus. Sesuai pinta Hanin untuk mengantarnya pulang ke rumah alih-alih kosannya.  Di kepala Galih kali ini memproses kata per kata dari Hanin barusan.

“Gue Cuma gak bisa bayangin lo gak ada di momen paling berharga di hidup gue.”

Kali ini reaksi Hanin justru sebuah gelak tawa. Ia tidak lagi terlihat mengantuk seperti beberapa saat lalu.

“Lo tau gak? Kita pernah gak kontakan 3 hari pas lo ujian blok semester lalu. Dan hal yang paling gue takutin adalah lo ternyata gagal di ujian itu gara-gara main sama gue mulu.”

“Sumpah? Lo mikir gitu?”

“Demi. Gue pikir lo gak ngabarin gue 3 hari gara-gara lo gagal dan takut bikin gue tersinggung karena gue lo gagal.”

“Anjir mana ada. Justru ujian blok pas itu hasil gue paling memuaskan sih gara-gara lo teror mulu suruh belajar. Better than my alarm.”

Tidak terasa perjalanan malam itu nyaris mencapai akhir ketika mobil memasuki gerbang utama perumahan tempat tinggal orang tua Hanin. Obrolan serius itu berlanjut hingga cerita-cerita lucu di hidup keduanya selama beberapa saat tidak bertemu.

“Sampai juga.”

“Balik lagi yuk. Gue tidur di kosan aja.”

“ANJIE HANIN JANGAN BECANDA.”

Hanin tergelak. “Sini, Gal.” Hanin mengisyaratkan Galih untuk mendekat. Si gadis melepas seatbelt nya lantas memeluk Galih sebentar sembari menepuk-nepuk punggung yang lebih tua.

“Gue gak bakal kemana-mana, Gal. Soalnya gue juga gak bisa bayangin masa depan gue yang ga ada lo nya.”


 

Blender

xh jooyeon x nmixx lily

Kalau ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana Maurelly, maka kata itu adalah gila. Iya. Gadis manis yang biasa disapa Lily ini yakin ia sudah gila diombang-ambing dunia.

Jovan tak jauh beda sebetulnya. Sama gilanya. Kabur dari janji temu makan malam bersama kolega ibu yang membawa putrinya untuk dikenalkan padanya. Hanya agar si bungsu jauh-jauh dari Lily yang menurut si ibu “anak tidak jelas asal usulnya”.

“Mama pikir Lily keluar dari batu?”

Batu. Kata yang tepat menggambarkan kepala Jovan. Ia tidak peduli lagi. Karena baginya Lily lebih dari sekedar dunia. Kendati si rambut pink berkali-kali berusaha menghentikan Jovan yang ngotot bertahan.

Problematika hidup Lily sudah terlalu banyak sampai rasanya ia ingin mati saja. Tetapi Jovan selalu bisa menyelamatkannya. Memberinya ruang lapang untuk sebuah pelukan atau sepasang telinga yang siap menampung apapun cerita Lily.

A mess. A total mess.

Sama-sama berdua sadari betapa berantakannya kehidupan mereka. Lily dan papa yang tak lagi peduli ia bernapas atau tidak. Jovan dan ibu otoriter yang selalu menyiapkan “terbaik” versinya.

Jovan dapati Lily di tempat yang sudah ia duga. Di rooftop kantor maminya. Meringkuk di balik tumpukan meja-meja rusak. Ia selalu tau kemana si gadis bersembunyi ketika ia tidak baik-baik saja.

Rooftop kantor Mami Lily adalah tempat menyenangkan untuk menatap langit. Menyapa gemintang yang kerap membuat keduanya iri karena bersinar di kanvas malam.

“Mor?” Lily menoleh dengan wajahnya yang basah air mata. Hidungnya merah.

Langkah Jovan besar untuk menggapai si gadis lantas memeluknya erat. Sebelumnya, Jovan lepas jas yang ia kenakan dan disampirkan di pundak Lily yang tangannya dingin diterpa angin malam.

“Gue pengen nyerah aja lah, Jov.”

“Sama gue kalau gitu.”

Masih memeluk Jovan, Lily mencoba menatap wajah yang lebih tinggi. Jovan balas menatapnya jenaka hingga mengundang tawa Lily yang masih menangis.

“Cewe lo banyak. Kalau gue mati, jadi makin sempit pilihannya.”

“Lah kan yang gue pilih lo, Mor. Ya gue harus sama lo.”

Morel. Adalah panggilan sayang Jovan untuk Lily. Oh tentu Lily menyukai panggilan itu.

Keduanya kini menidurkan diri di rooftop. Menatap angkasa malam dengan kerlap kerlip bintang redup. Saling menautkan jemari bersisian. Jovan menggumamkan nyanyian sementara telapak kaki Lily bergerak ikuti irama.

“Mor.”

“Hmmm.”

“Kapanpun lo ngerasa pengen nyerah, lo harus hubungi gue.”

“Kenapa?”

“Lo harus ngajak gue nyerah juga. Biar kita menyerab sama hidup bareng-bareng.”

“Gak mau. Kalau lo datang, gue udah gak pengen nyerah lagi.”

Jovan terkekeh “Emang itu tujuannya.” Tangannya mengusap lembut surai Lily.

“Gue bakal selalu datang kapanpun lo ngerasa pengen nyerah.”

“Meskipun gue pengen nyerah tiap hari?”

“Meskipun lo pengen nyerah tiap hari.”

Jovan sudah berjanji dengan dirinya sendiri sejak pertama kali ia menemukan Lily yang menangis sendiri di bawah guyuran hujan. Ia akan menemani Lily. Ia akan menemani Morel-nya sampai si gadis mampu berdamai dengan masa lalu dan melanjutkan hidup bersamanya.


Best Friend

xh jungsu x niziu mako

Maura Cornelia. Sejak kecil Jason lebih suka memanggilnya Mako karena di sekolahnya ada 4 Maura. Jason mungkin terkenal sebagai si koko ganteng FEB yang bisa dengan mudah kamu temukan sosoknya bersama gadis yang berbeda setiap harinya. Namun, yang bisa mengakses teritori privatnya jelas hanya satu orang. Mako.

Seperti sabtu pagi ini ketika Mako yang sudah hapal di luar kepala password apartemen Jason. Membuka pintu lantas mendapati tuan rumah baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya.

“MAKO ANJIR NGAGETIN!” Pekik Jason heboh. Sementara Mako hanya meliriknya sekilas sebelum Jason masuk kembali ke kamar mandi dan menyembulkan kepala di pintu kamar mandi.

“Mako Sayang ambilin baju gue dong.”

Setengah hati Mako masuk kamar Jason dan mengambilkan sepotong celana dan kaus. Jangan tanya bagaimana Mako tahu letaknya sebab ia juga yang membantu Jason menata lemari.

Tidak sampai 3 menit setelah Mako memberikan Jason pakaiannya, si pemuda sudah keluar dengan rambut acak-acakan. Duduk di sisi Mako yang fokus menonton TV.

“Pasti gagal kan blind datenya?”

“Exactly. Freak banget pamer ina itu lah dia gatau bokap gue siapa.”

“Terus?”

“Ya udah dia nganter pulang tp gue bawa ke sini. Dia tanya unit gue berapa kalau-kalau dia mau ngirim makanan atau hadia—”

“Jangan bilang?”

Mako mengulas senyum lebar. “Hehe. Gak apa-apa kali lumayan lo dapet asupan makan 3x sehari gratis.”

“Setan betul ya lo.”

Mako hanya mengedikkan bahu dan lanjut menonton tv. Sementara Jason mengambil sebuah buku di laci rak tv yang tadi dibacanya. Berdua sibuk dengan aktivitas masing-masing sampai Jason bersuara.

“Ko?”

“Hmm?”

“Lo kenapa gak mau pacaran sama gue?”

Sepertinya pertanyaan itu mampu mengalihkan perhatian Mako yang kini menatap Jason lamat. Kedua alisnya nyaris bertaut.

“Gak mau. Cewe lo banyak.”

Dan Jason sudah bisa menebak jawabannya. Ini toh bukan kali pertama ia bertanya.

“Lah kan semua ga ada yang pacar, Ko. Ya deket-deket aja….?”

“Deket-deket aja?!” Nada suara Mako meninggi. Ia maju mendekat pada Jason dan meraih kerah si pemuda.

“Sedekat ini?”

Jason terbelalak. Berjarak 5 sentimeter dari Mako secara tiba-tiba nyaris membuat jantungnya jatuh sampai telapak kaki.

“Anjing! Mako jauh-jauh gue deg-degan!”

Mako mundur sembari tergelak. Kembali fokus pada tayangan televisi yang sejujurnya tidak ada menarik-menariknya. Mako jadi kepikiran sendiri mengapa selama ini ia enggan pacaran dengan Jason. Satu-satunya alasan yang ada di kepalanya hanya—

“Gue takut kita gak bisa kayak gini lagi kalau putus.”—ujarnya yang sanggup menutup buku Jason. Pandangan penuh menatap Mako yang tak berminat balik menatapnya.

“Ya gak bakalan putus. For God Sake gue gak nemu alasan buat jauh dari lo. Sekarang ataupun suatu saat nanti.”

Kata-kata Jason berhasil menarik atensi Mako. Si gadis menatapnya lamat untuk kemudian menimpuknya dengan bantal.

“SERIUS BANGET SIH KAYAK UDAH SIAP KAWIN!”

Jason hanya mampu tergelak. Menatap sahabatnya yang ia tahu sedang setengah mati menahan perasaan salah tingkah.

“Ya kalau kawinnya sama lo gue siap kapan aja sih.”

Oke selanjutnya tas Mako yang melayang ke kepala Jason.


Bad Omens

xh gunil x billie sua

Atmosfer dalam mobil itu penuh ketegangan. Tidak ada satu kata terucap di antara sepasang manusia di dalamnya. Sera masih dibalut dress off-shoulder navy sebatas lutut. Senada dengan dasi yang dikenakan Glenn. Dasi yang tak serapi saat berangkat tadi.

3 jam lalu keduanya masih bisa saling melempar tawa. Lawakan ala bapak-bapak khas Glenn selalu mampu mengundang gelak tawa dari Serena.

Duduk perkara dimulai di pesta pernikahan tadi. Satu hal Glenn sadari, hubungan ini sudah terlampau jauh. Terus berulang tanpa kejelasan dan akhirnya merusak ia dan Sera.

Sebagaimana yang telah disepakati keduanya pada saat memulai hubungan ini. Bahwa keduanya harus berhenti ketika salah satunya jatuh cinta. Tetapi bagaimana jika Glenn betulan jatuh cinta pada Sera sementara Sera jatuh cinta pada orang lain?

Tidak ada titik temu.

“Gue bingung.” Sera akhirnya bersuara setelah 10 menit mengendalikan diri.

“Ini salah gue. Maaf. Maafin gue, Ser.”

“Kak.”

“Harusnya dari awal emang kita gak mulai apa-apa.”

“Kak...”

“Iya. Lo seharusnya gak sejauh ini gue bawa.”

“Kak...”

“Gue gak tahu. Maa—”

“Mas, berhenti minta maaf atau gue turun sekarang.”

Satu tahun berjalan hubungan palsu ini. Dan 6 bulan terakhir Sera menyembunyikan fakta kalau dia sedang dekat dengan seseorang. Seseorang yang menjadi alasan Glenn pamit pulang lebih dulu di acara resepsi temannya.

Oh, siapa juga yang menyangka kalau orang yang dekat dengan Sera itu berada di circle yang sama dengan teman Glenn yang kawin. Betapa sempitnya dunia sehingga Sera ingin sekali melebur menjadi debu saat itu juga.

“Gue juga salah gak ngasih tau lo kalau lagi deket sama orang, Mas.”

Glenn memutuskan untuk menepi. Berbelok ke restoran cepat saji dan memesan asal apapun yang ada di kepalanya lantas meminjam lahan parkir untuk berbicara. Iya. Ini harus selesai saat ini juga. Glenn tidak ingin membawa pulang beban keabu-abuan ini.

Tanpa perlu Sera jelaskan pun sebetulnya Glenn tahu Sera memang sedang dekat dengan seseorang. Sera terlalu mudah dibaca oleh Glenn. Sehingga sekecil apapun itu, Glenn tahu bahwa ia dan Sera memang seharusnya sudah selesai setengah tahun yang lalu?

Apakah Sera egois? Atau Glenn yang pura-pura tak tahu lebih egois lagi?

Pada hakikatnya berdua sama-sama tidak bisa melepas diri dari jerat setan “pacar palsu”. Sama-sama bingung dengan perasaan masing-masing. Atau mungkin hanya Sera yang bingung?

“Gue bingung harus gimana pamit sama lo, Mas. Gue juga gak tahu kalau sejauh itu. Sejauh lo ngenalin gue ke Mama lo. Gue gak tahu bakal seserius itu.”

“Bukannya gue udah bilang di awal, Ser?”

Sera mengangguk. “Tapi lo gak nyangka kan kalau Mama lo nyaman sama gue. Lo juga mungkin gak nyangka kalau dress yang gue pakai sekarang ini dibeliin Mama lo.”

“Hah?!”

“Lo bahkan gak tau seberapa sering gue pergi sama Mama lo.”

Sekarang Glenn betulan pening. Berharap satu sesapan cola dapat membantu mendinginkan kepalanya tetapi gagal.

“Ser.”

“Hmmm.”

“Kalau gue bilang gue suka sama lo, lo pasti bakalan nganggep ini terpaksa karena gue—maksudnya kita—terlanjur terjebak di hubungan rumit ini kan?”

Sera menatap Glenn lamat hingga akhirnya mengangguk meski ia sendiri tidak yakin. Setelah semua kebaikan Glenn padanya, tidak semudah itu Sera berprasangka buruk. Apakah Sera percaya diri? Tidak juga.

Menghabiskan waktu bersama Mama Glenn ternyata membawanya mengenal lebih jauh tentang laki-laki ini. Ya, tanpa Glenn tahu Sera memang sudah terlalu jauh menyelam di samuderanya.

“Karena kesepakatan kita adalah selesai sewaktu salah satu jatuh cinta, ya. Mungkin sekarang waktunya.”

“Kita udahan?”

“Iya.”

Sera mengangguk. “Oke.”

“Soal Mama, gue bakalan cerita yang sebenar—”

“Jangan.”

“Jangan?”

“Lo gak perlu bilang terus terang ke Mama lo. Beliau pasti bakalan kecewa berat.”

“Tap—”

“Please, Kak. Lo bisa bilang kita putus karena udah gak cocok atau apapun asal jangan tentang hubungan palsu ini.”

Glenn menghela napas. Dadanya masih terasa sesak. Sebagian dari dirinya menginginkan ini tidak selesai semudah ini.

“Ser.”

“Iya?”

“Thanks buat semuanya.”

“Gue juga. Thanks buat semuanya, Kak. Dan sorry karena cuma sampai sini.”

Glenn mengangguk. “Gue anter pulang ya.”

Hari itu untuk terakhir kalinya Glenn mengantar Sera pulang. Sesuatu yang seharusnya sudah ia lakukan setengah tahun lalu. Sebelum ia jatuh terlalu dalam dan berat melepaskan Sera.


Sunday-Nite Call-date

cw // mention of death // mention of crash

Ponsel Belia menyala tiba-tiba menampilkan pop-up notifikasi pesan dari seseorang yang sedang ia nanti pesannya. Jehan.

Kendati pagi tadi Belia bertemu dengan yang lebih tua, tetapi tak ada sempat untuk keduanya bisa bercengkrama. Acara 1000 hari itu dihadiri banyak orang. Keluarga, rekan-rekan kerja ibunya dulu. Belia masih merasa seperti tamu tak diundang sebenarnya.

Sebab memang begitu adanya.

Pesan singkat itu berujung pada suara getar cukup lama dari ponsel Belia. Menandakan sebuah panggilan masuk dari Jehan.

“Hey belum ngantuk?” tanya suara di seberang setelah mengucap salam sebelumnya.

“Belum. Ini baru jam berapa juga sih, Kak.”

Belia yang semula duduk di hadapan meja belajar ini berpindah ke kursi dekat tempat tidur untuk mencari posisi nyaman. Duduk mengerjakan tugas sejak habis maghrib cukup membuat pinggangnya nyeri.

“Baru jam berapa? Ini udah jam setengah sepuluh.”

“Gak apa-apa. Aku gak akan telat kok besok.”

Sebetulnya, ada terlalu banyak pertanyaan yang mengisi benak Belia pasca menghadiri acara 1000 hari kepergian ibu Jehan dan Hansel pagi tadi. Lucu saja rasanya ketika Belia ada di rumah besar keluarga Jehan tetapi ia bahkan tak punya kesempatan menyapa yang lebih tua. Lebih tepatnya, Jehan menghindar.

Belia tahu kok, Jehan menyadari kehadirannya tanpa diundang. Tetapi ia menghindar. Berpura-pura Belia tidak ada di sana.

“Maaf ya.”

“Hmm? Maaf?”

“Tadi pagi. Di rumah. Maaf.”

“Kak, ngomong tuh yang jelas dong konteksnya.”

Terdengar suara samar tawa Jehan sekilas. “Kesannya aku menghindar ya tadi pagi?”

Belia mengulas senyum tipis. Lebih mirip seringai.

“Gak juga. Kan emang tamunya banyak tadi pagi.”

“Tapi—”

“Atau emang Kak Jehan aja kali yang sengaja ngehindar ya.”

Belia jelas tidak bisa melihat ekspresi terkejut Jehan yang semula rebahan menjadi duduk di tepian tempat tidurnya.Merasakan atmosfer yang berubah dari percakapan ini.

“Bel—”

“Iya. Gak apa-apa.”

“Hansel tuh paling dekat sama Ayah. Aku sama Ibu. Tapi gak berarti ayah gak sayang aku atau ibu gak sayang Hansel.”

“Kayak aku sama Kak Jel yang deket sama Papa dan Abang yang deket sama Mama?”

“Kurleb gitu.”

“Malam sebelum kecelakaan itu ibu masih sempat prepare buat sarapan besok. Ibu masih sempat sarapan, tapi gak sempat ketemu aku sama Hansel karena jam 5 kita baru bangun sementara ibu udah harus di bandara setengah 5 pagi. Ayah cuma bilang ibu masuk kamarku dan Hansel sebelum berangkat.”

“Pesawat take off jam 6. Tapi jam 8 tiba-tiba Hansel nyamperin kelasku. Matanya udah sembab. Kita berdua udah dijemput ajudan ayah. Hansel gak bilang apa-apa waktu ngajak aku selain nyuruh cek trending twitter. Pas itu gue akhirnya sadar, Ibu salah satu passenger di pesawat yang jatuh satu jam sebelumnya.”

“Waktu akhirnya kita ketemu ayah di bandara, Hansel panik meluk ayah. Aku masih bingung karena nolak percaya. Minggu sebelumnya Ibu udah bilang kalau perjalanan dinas ini yang terakhir sebelum akhirnya beliau lepas kerjaannya dan fokus dampingi Ayah aja. Tapi—”

“Kak.”

“Iya.”

“Udah gak usah diterusin.”

Helaan napas rilis dari Jehan. Cerita itu turut membuat Belia sedih. 1000 hari tanpa Ibu?

Meskipun Belia lebih dekat dengan Papa, 2 hari Mama tidak ada di rumah saja sudah bisa membuatnya bingung. Tidak ada suara Mama yang mengomel karena Papa lupa matikan lampu ruang kerja, atau Kak Jejel yang pulang di atas jam 9, Abang yang satu hari satu malam tidak keluar kamar karena menggambar—dan berakhir Mama masuk paksa kamar Abang hanya untuk menyuapi si pangeran.

Kalau Belia lebih sering diomeli karena lupa letak barang.

1000 hari. Besok 1001 dan seterusnya. Belia tanpa sadar meneteskan air mata. Entah mengapa kekosongan pada Jehan itu bisa ia pahami betul.

“Bel?”

“Kak?”

Bersamaan saling panggil. Mungkin sadar bahwa keheningan di panggilan malam ini cukup membekukan suasana.

“Belia dulu.”

“Oke.”

Belia menarik napas sebelum mulai berujar. “Aku mungkin belum pernah ngerasain kehilangan seberat Kak Jehan. Tapi 1000 hari, 1001 hari dan seterusnya hari terus berganti. Aku cuma minta Kak Jehan buat gak terpaku pada kekosongan yang gak akan bisa diganti dengan isian apapun. Dunia masih luas kalau kata Kak Jejel. Selalu ada banyak hal kecil membahagiakan yang bisa bikin Kak Jehan terbiasa sampai akhirnya menerima. Lagipun, Ibunya Kak Jehan pasti pengen Kak Jehan dan Kak Hansel bahagia. Ada maupun tidak adanya sosok beliau di antara kalian.”

Belia mungkin tidak tahu bahwa yang di seberang tengah mengulas senyum yang mengiringi setetes air mata dari kedua hulunya. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba kuasai batinnya.

“Belia.”

“Iya? Aku ada salah ngomong ya Kak?”

Jehan menggeleng meski Belia tidak melihatnya. “Gak ada.”

Belia menghela napas lega “Syukur deh.”

“Makasih ya. Buat apapun, Bel.”

Belia tersipu. Ucapan itu ternyata cukup untuk membuat kedua pipinya merona merah jambu.

“Sama-sama, Kak.”

“Tidur ya sekarang. Sampai keremu besok di sekolah.”

“Oke see you. Good night, Kak.”

“Night-nighy, Bel.”


minggu ke-5

Apa yang berubah setelah punya pacar?

Satu bulan pertama pasca aksi penembakan apa adanya di lapangan basket indoor, tidak ada satu hari pun bagi Jehan hidup tenang. Belia ternyata lebih luar biasa ajaib dari dugaannya.

Jehan tidak tahu bahwa Belia sanggup berbicara 15 menit non stop tanpa interupsi. Dan itu terjadi di kencan kedua mereka—setelah pacaran ya—saat menghabiskan waktu di toko buku.

Belia bercerita tentang bagaimana Abang tertuanya sangat menyukai buku sementara Kakak perempuannya hanya membaca buku paling banyak 3 dalam setahun. Dan ia sendiri lebih kurang sama seperti Kakaknya.

“Kak Jejel sama Abang pernah berantem gara-gara buku.”

“Ohya? Gimana tuh?”

“Jadi Abang baru pulang beli buku sama Mama. Ternyata Kakak tertarik sama bukunya. Terus dipinjam Kakak. Tapi Kakak bacanya sampai ketiduran jadi bukunya ketekuk gitu. Abang gak suka bukunya gak rapi. Mereka diam-diaman 3 hari.”

“Damainya gimana?”

“Damainya gara-gara Kakak pingsan waktu kelas olahraga. Jadi Abang yang nungguin Kakak gitu di uks terus mereka maaf-maafan.”

Dari cerita itu, Jehan jadi tahu kalau buku bukan hal yang paling disukai Belia. Ia hanya membaca jika menurutnya perlu. Atau jika Abangnya atau Papanya menyarankan dia untuk membaca satu buku rekomendasi keduanya—yang baru akan selesai dibaca beberapa bulan kemudian.

“Aku tuh dulu pernah baca buku, Kak. Tapi aku lupa judulnya. Itu tentang petualangan seorang anak yang terjebak di mesin waktu hingga mundur ke zaman romawi? Kayaknya gitu...aku gak yakin juga sih.”

Jehan mengangguk-anggup memberi tanggapan. “Berarti kamu suka baca fantasy?”

“Gak juga sih. Cuma waktu itu ceritanya seru aja.”

Ia tak pernah berjarak lebih dari 5 meter dari Jehan selama di toko buku. Jehan pun tidak merasa terganggu. Biarkan Belia bertutur apapun dan ia mendengarkannya dengan senang hati.

Sesekali Belia akan mengambil buku yang menurut dia menarik lantas membaca sinopsis di sampul belakang. Kalau ia tertarik, Jehan akan langsung dipanggilnya.

“Ini buku kayaknya bagus deh Kak.”

“Mana coba lihat?” Jehan akan ikut membaca sinopsisnya. “Mau beli?”

Belia menggeleng. “Nanti sayang gak kebaca kalau udah sampai rumah.”

Sementara jika sinopsisnya tidak seperti yang ia harapkan, si gadis akan mengerutkan kening dan menggeleng beberapa kali.

“Aneh.”

“Dih cringe.”

Sudah lama rasanya Jehan tidak mendengarkan seseorang berbicara panjang lebar dengannya. Di rumah pun Hansel hanya berbicara secukupnya. Kalaupun banyak yang dikeluarkan Hansel dari mulutnya, isinya kurang berkualitas.

Sementara Ayah...beliau banyak bicara sebetulnya. Tetapi jarang pulang. Bertugas sebagai pasukan elite di Angkatan Darat membuat Ayah lebih sering berada di luar negeri.

Ibu...

“Kak Jehan?”

“Oh, hey.”

“Udah ketemu bukunya? Aku mau pipis.”

Satu lagi dari Belia. Gadis itu apa adanya. Dia tidak pernah mencoba berubah menjadi orang lain. Dia tidak berpura-pura bertingkah manis. Ia bertindak tanduk sebagaimana dirinya. Dan semuanya sama seperti saat Jehan mendekatinya dulu.

“Sudah sih. Dibayar dulu ya.”

Jehan hanya tertawa kecil melihat Belia yang berdiri gelisah tak jauh dari pintu masuk. Tetapi masih sempat-sempatnya menyapa anak-anak kecil yang tak sengaja berserobok tatap dengannya.

Belia....

Terlalu membahagiakan.


Sementara minggu ini agendanya adalah menemani Jehan belajar. Minggu ke-5.

Sebetulnya Jehan sudah berkata pada Belia bahwa akhir pekan ini keduanya tidak akan bisa bertemu. Jehan butuh lebih banyak waktu untuk belajar karena hari senin nanti akan ada latihan ujian.

Atas inisiasi si gadis jangkung yang ingin ikut belajar bersama Jehan, di sinilah keduanya berada. Di salah satu sudut tenang coffee-shop tak jauh dari sekolah. Mengganti yang waktu itu tak sempat jadi lantaran Belia tiba-tiba menemani Mama arisan katanya. Study-date.

“Bel?”

“Hmmm.”

“Udah selesai tugasnya? Mau pulang dulu?”

Penampakan Belia yang sedari 5 menit tadi hanya memainkan bolpoin, melempar pandang ke luar jendela. Sesekali mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk ikuti ketukan dari lagu yang tengah mengudara dari speaker cafe.

Agenda belajar dengan tenang seperti ini sangat-sangat tidak cocok untuk Belia yang Jehan tahu lebih suka beraktivitas di luar ruangan. Belia selalu terlihat riang bahkan ketika mereka di toko buku yang bukan tempat favoritnya sekalipun.

Interaksi. Belia sangat suka interaksi.

Si gadis menggeleng sebelum menjawab. “Gak kok. Apa Kak Jehan terganggu ya belajarnya kalau bareng aku?”

“Gak sama sekali. Aku malah takut kamu yang bosan,” aku Jehan.

Jehan sudah menerka hal ini sebelumnya. Gadis jangkung di hadapannya pasti tidak bisa bertahan lebih dari 2 jam hanya diam-diam begini.

Tetapi lagi-lagi Belia menggeleng. Menatap gelas cokelatnya yang sudah kosong.

“Aku mau pesan minum lagi. Kak Jehan mau apa?”

“Croissant.”

“Oke.”

Dari tempatnya duduk, Jehan perhatikan Belia dengan seksama. Si gadis jangkung terlihat ikut menggumamkan lirik dari lagu yang diputar cafe sembari menunggu pesanannya.

Manis. Sepertinya setelah kencan ini Jehan harus buru-buru berkunjung ke dokter sebelum pulang untuk memeriksa kadar gula darahnya.

“Pesan minum apa itu, Bel? Kayaknya beda sama yang tadi?”

“Matcha Latte. Kak Nanas suka Matcha jadi aku mau nyobain Matcha Latte.”

Jehan memperhatikan gadis di hadapannnya yang mulai menyesap sedikit minuman barunya. Lantas mencecap lidahnya untuk kemudian mengerutkan kening. Ciri khasnya ketika ia merasa sesuatu tidak cocok untuknya.

“Kenapa? Gak enak ya?”

Belia hanya tertawa. “Agak kaget dikit,” jawabnya sembari membuat gesture kecil dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

Jawaban itu sontak membuat Jehan terkekeh. “Ya udah kalau gak bisa diterima jangan paksain minum.”

“Tapi udah dibeli. Sayang.”

“Iya, Sayang.”

“Apa?!”

“Iya itu minumannya sayang.”

“Oh...hehe iya.”

Jehan sengaja memancing. Sekedar ingin melihat rona kemerahan di pipi si gadis yang perlahan muncul karena satu kata impromptu yang ia sendiri tidak sangka bisa terucap begitu saja.

“Daripada nahan gak enak. Pesan baru aja ya.” Jehan sudah bangkit dari kursinya tapi Belia buru-buru menahan lengan yang lebih tua agar kembali duduk.

“Ih, aku gak bilang gak enak, Kak. Ini tuh cuma agak mengejutkan aja. Kan aku belum pernah nyobain karena warnanya aneh kayak rumput diblender.”

Lagi-lagi jawaban polos Belia sanggup membuat Jehan tertawa. “Yakin? Gak mau beli minum baru aja? Aku yang beliin gak apa-apa.”

“Gak usah. Udah Kakak makan aja itu croissant-nya terus lanjutin belajarnya.”

Piring croissant itu Belia dorong agar lebih dekat dengan Jehan. Jehan pun mulai menggigit sedikit croissant-nya.

“Aku udah agak capek sih belajarnya. Pengin rehat dulu,” ujar Jehan.

Sepertinya Belia menantikan momen ini. Terihat dari gesturnya yang kini menegapkan punggung seakan siap melakukan wawancara selama 48 jam. Kedua netranya berbinar dengan senyum gemas khasnya.

Jehan benar-benar yakin ia harus segera mengunjungi dokter.

“Kalau gitu aku mau tanya.” Nadanya penuh dengan antusias. Jehan pun mengulas senyum.

“Aku mau jawab,” balasnya sembari menyilangkan kedua lengan di atas meja.

“Kak Jehan emang biasa belajar di cafe gini? Emang gak keganggu?”

“Kadang-kadang? Rumah kan sepi banget tuh. Kak Hansel juga paling di rumah sore atau malam doang. Atau malah gak pulang. Jadi ya sesekali keluar. Sendirian di rumah juga kadang bikin kerasa banget kesepian.”

Ada satu hal yang membuat Jehan terpikat pada Belia. Fakta bahwa gadis itu selalu punya banyak hal untuk ia bagi salah satunya. Seperti membawa kembali hal-hal yang sempat hilang 3 tahun terakhir ini.

Sepi memang karib Jehan. Kendati ia punya banyak teman yang selalu ada dan siap untuk menemainya, tetap saja tak merubah keadaan batinnya yang tidak bisa dipahami orang banyak dengan mudah.

Belia seperti menghidupkan kembali bara yang sempat padam. Seperti menghujani lagi ladang kering untuk kembali subur dan berbunga indah.

“Oooh. Iya sih. Aku juga gak betah kalau kelamaan di rumah sendiri.”

Belia kembali menyesap Matcha Latte. Ekspresinya tidak lagi seperti beberapa saat lalu. Lidahnya mungkin sudah beradaptasi dengan rasa baru.

“Eh iya, nanti Kak Jehan mau kuliah dimana?”

Satu pertanyaan tiba-tiba itu cukup mampu membuat Jehan tersedak gigitan terakhir croissantnya. Belia buru-buru berdiri dan meneuk-nepuk punggung Jehan. Ketika batuk-batuk Jehan mulai reda, Belia mengulurkan tumblr air putih yang selalu ia bawa.

“Hati-hati tau, Kak.”

Jehan hanya mengangguk. Ia sendiri tahu suatu hari nanti Belia pasti akan bertanya soal ini. Dan suatu hari itu ternyata adalah hari ini.

“Hmm...belum tau?”

“Belum tau? Emangnya gak ada kampus impian gitu?”

“Ada kok. Tapi masih lama”

“Kok masih lama? Emang Kak Jehan mau gap year?”

“Gak. Gak gap year. Cuma ya emang daftarannya masih lama?”

“Di luar negeri ya?”

Pertanyaan itu tak sempat terjawab oleh karena suara getar dari ponsel Jehan yang tergeletak di atas meja. “Ayah”. Begitu yang tertera di layar.

“Angkat dulu, Kak. Buruan.” Melihat siapa yang menelpon membuat Belia menyuruh Jehan agar lekas mengangkatnya.

“Halo, Ayah?”

”.....”

“Aku lagi di luar sama Belia. Gimana?”

”....”

“Lho Ayah pulang? Kok gak bilang dulu tumbenan?”

”....”

Jehan terbelalak. Lantas menepuk keningnya. “Ah iya lupa. Ya udah Jehan bentar lagi pulang. Kakak udah di rumah?”

”....”

“Oke, Yah. Jehan tutup.”

“Ayahnya Kakak pulang?” Mendengar dari bagaimana Jehan menjawab telpon itu, membuat Belia mengambil kesimpulan yang dijawab dengan anggukan.

“Iya nih, Bel. Kayaknya kita batal dulu deh car free day-nya besok. Gak apa-apa ya?” Jehan rasanya tidak tega harus membatalkan agenda mereka besok. Tetapi hal lebih mendesak sedang menantinya.

“Ya gak apa-apa, Kak. Ayahnya Kak Jehan juga baru datang kan? Kangen-kangenan dulu tuh.”

Jehan hanya mengulas senyum. “Aku antar pulang setelah Matcha Latte-nya habis ya.”


Validasi

Tags // harsh words

⚠️ Beberapa adegan dalam cerita ini tidak untuk ditiru. Mohon kebijaksanaan pembaca

Demi kolor patrick Abang Harsa, Belia capek banget. Betulan capek.

Salah dugaan Belia jika si senior bedak sekilo itu sudah kapok mengusilinya. Salah besar. Sebab kali ini sasarannya adalah loker Belia yang diisi sampah.

Jadi cewe jangan kegenitan

freak!!!

“Bel—bentar, kenapa loker lo?”

“Jesus Christ!”

Jihan dan Shelyn yang menghampiri terkejut bukan main melihat penampakan loker karib mereka yang dipenuhi sampah. Oleh karena pekikan Shelyn barusan, tentu saja mengundang perhatian siapapun yang sedang lewat di sekitar situ.

Belia menarik napas dalam, lantas menghembuskan perlahan. Jihan dan Shelyn sudah dapat menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Terlebih ketika kaleng minuman bersoda kosong itu diremat oleh Belia untuk kemudian membanting pintu lokernya dan berjalan ke arah kiri.

“Jihan lo ikutin Belia. Gue mau foto ini buat bukti laporan ke BK sama minta rekaman CCTV ke keamanan.”

Menuruti arahan Shelyn, Jihan lekas berlari mengikuti langkah Belia yang penuh keyakinan. Berjalan menaiki anak tangga. Sesekali menubruk bahu siapapun termasuk Jehan.

Iya. Jehan sampai tersentak karena saat dipanggil namanya pun Belia tidak menggubris.

“Jihan?”

“Oh, Kak. Kalau mau tanya kenapa nanti aja atau lihat aja di loker ada Shelyn. Bye. Bel!”

Jihan terengah-engah. Lari bukan passionnya. Dan mengikuti Belia sampai ke ruang kelas XI-4 IPS betul-betul menguras tenaga.

Dan semakin menguras tenaga begitu melihat Belia masuk begitu saja ke ruang kelas itu, menghampiri sekumpulan siswi perempuan yang tengah cekikikan di satu sudut kelas.

Kedatangan Belia—dan Jihan di belakangnya—jelas menarik perhatian penghuni kelas itu. Terlebih yang menjadi tuju Belia adalah gadis-gadis yang sudah sangat terkenal seantero sekolah sebagai troublemaker.

“Apa nih?” Si gadis bedak sekilo masih duduk santai di kursinya ketika Belia datang dan melempar tanya sinis menatap Belia dari atas sampai bawah.

Lantas terkejut ketika Belia melemparkan kaleng minuman bersoda ke hadapan wajahnya.

“Bel!” Jihan panik. Mencoba menarik lengan Belia namun gagal.

Untuk kemudian Jihan teringat karibnya adalah pemegang sabuk hitam 2 Dan.

“Sialan!” Tindakan Belia tentu saja mengundang amarah si bedak sekilo. Yang semula duduk jadi berdiri menatap Belia tanpa rasa takut meskipun Belian lebih tinggi.

“Lo yang sialan. Kurang ajar. Gak bisa bedain tempat sampah sama loker.”

“Loker lo mirip tempat sampah.”

“Bagus. Siapapun yang rekam, makasih. Gue cuma butuh senior kurangajar ini ngaku kalau dia yang ngotorin loker gue.”

Belia pun balik diri. Bermaksud pergi dengan Jihan yang sedikit lega karena Belia tidak mengeluarkan jurus-jurus apapun.

“Brengsek! Cewek kecentilan!”

“Hell no!” pekik Jihan ketika menyaksikan sendiri di depan matanya si bedak sekilo menjambak rambut Belia dari belakang. Namun Belia dengan kelenturan tangannya lekas memutar tangan si senior dan menguncinya.

“Ahhrgg sakit brengsek!”

“Mau gue patahin gak tangannya? Biar gak buang sampah sembarangan lagi?”

“Heh lepas!” Teman-teman si bedak sekilo mencoba melepaskan tangan leader mereka dari Belia.

“Bel udah, Bel.”

Belia pun menurut Jihan. Melepas tangan si bedak sekilo. Namun memang dasarnya sok jagoan, si bedak sekilo ini melayangkan tangannya untuk menampar Belia.

Suara tamparan itu benar-benar kencang. Siapapun yang mendengar suaranya pasti bisa membayangkan seperti apa panasnya di pipi. Tetapi tamparan itu tak pernah mendarat di wajah Belia.

“K-kak Je-jehan...?” Si bedak sekilo terkejut bukan main. Sebab tamparan keras itu mendarat di pipi Jehan.

Belia sendiri pun terkejut dengan kehadiran Jehan yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Menengahi ia dan si bedak sekilo. Sementara Jihan yang sedari tadi menyaksikan semua kejadian ini jadi sakit kepala dan lemas.

Jehan menghela napas. “Lo benar-benar gak ada capek-capeknya, ya?” Tatapan tajam Jehan sepenuhnya mengarah pada si bedak sekilo dan antek-anteknya.

“Gue gak suka aja dia kecentilan sok dekat sok akr—”

“Apa salahnya ada orang lain yang deket dan akrab sama gue? Apa salahnya pacar gue sendiri akrab dan deket sama gue?”

Belia terbelalak mendengar kata-kata Jehan barusan.

Apa? Pacar gue katanya.

“Bohong!”

“Lo dan obsesi gak sehat lo ke gue. Gue benar-benar muak. Harusnya gue gak berbaik hati waktu itu ngebiarin lo masih berkeliaran di sekolah ini.”

“Kak Jehan.”

“Get ready! Say goodbye to this school!”

Jehan berbalik. Menarik Belia keluar dari ruang kelas itu. Sementara Jihan buru-buru ditarik kembarannya—Gio, yang entah sejak kapan sudah berada di sana—sebelum ia betul-betul pingsan di tempat.

Tak lama kemudian guru BK datang bersama Shelyn. Memanggil si bedak sekilo dan antek-anteknya. Kemudian berpesan pada Shelyn untuk menyuruh Belia turut ke ruang BK.


Lapangan Basket indoor itu sepi. Tidak ada jadwal latihan setelah pukul 2 siang ini. Hanya ada Belia dengan tongkat pel.

Belia tetap menerima tindakan kedisiplinan dari pihak sekolah sebagai akibat penyerangan yang ia lakukan tadi meskipun sebagai pertahanan diri. Belia tidak masalah. Ia menyadari kalau sikapnya tadi memang sedikit kelewatan.

Namun si bedak sekilo memang layak menerimanya. Kalau tidak ingat Mama dan Papa, mungkin Belia tadi betulan mematahkan tangan si bedak sekilo.

Sementara bedak sekilo dan antek-anteknya akan menjalani sidang komite sekolah 2 hari lagi sebagai penentuan apakah mereka akan tetap di sekolah ini atau dikeluarkan. Sebab masalah seperti ini bukan kali pertama terjadi. Belia hanya korban ke sekian dan apes untuk mereka karena salah pilih korban.

Setengah lapangan telah dipel oleh Belia ketika ia mendengar suara derit pintu di buka. Jehan. Datang dengan segulung kertas di tangan.

“Diam di situ jangan bantuin gue!” Belia menodongkan tongkat pel ke arah Jehan. Ia tahu laki-laki itu datang untuk membantunya.

“Oke. Gue duduk.” Jehan mengangkat kedua tangan lantas mundur beberapa langkah untuk kemudian duduk di kursi untuk pemain basket dan pelatihnya.

Belia meneruskan mengepel lapangan basket sementara Jehan sibuk membaca kertas yang entah apa Belia tidak paham.

“Kertas apa?”

“Daftar kuliah.”

“Ooh.”

15 menit sampai Belia akhirnya bisa duduk bersebelahan dengan Jehan. Buru-buru Jehan menggulung kembali kertas di tangan dan memasukkannya dalam tas sebelum Belia sempat mengintip—paling tidak logo kampusnya.

“Minum dulu.” Jehan ulurkan sebotol air mineral kepada Belia yang diterima si gadis beriring ucapan terima kasih.

Duduk di sisi kanan Jehan membuat Belia melihat dengan jelas bekas kemerahan di pipi Jehan. Botol air mineral dingin itu pun Belia tempelkan di pipi Jehan hingga si empunya tersentak.

“Bel.”

“Panas banget pasti pipinya perih. Bener-bener orang itu tenaganya kayak setan,” gerutu Belia yang membuat Jehan terkekeh.

“Kakak kok bisa tahu gue di sana? Kok bisa tiba-tiba muncul?”

“Ngikutin lo aja habis nubruk gue.”

“Eh? Gue nubruk lo Kak? Dimana? Maaf gue kesel banget tadi jadi udah bodo amat.”

“Masih kesel gak sekarang?”

“Masih soalnya pipi lo jadi korban.”

“Gak apa-apa. Habis ini dia udah gak di sekolah ini.”

Belia masih di posisinya. Menempelkan botol dingin di pipi Jehan. Tetapi tiba-tiba satu tetes air mata mengalir di pipinya.

“Bel, kenapa?”

Belia menggeleng. Menarik tangannya dari pipi Jehan untuk mengusap pipi. Sayangnya airmata itu enggan berhenti.

“Belia.”

“Ish jangan lietin gue, Kak.”

“Oke gak gue lietin.”

Jehan sedikit panik tentu saja. Ia pun memutuskan untuk duduk membelakangi belia.

“Lo gak mau gue lihat lo nangis kan, Bel? Lo bisa nangis di punggung gue.”

“Gak apa-apa?”

“Gak apa-apa.”

Belia pun mendaratkan keningnya di punggung Jehan lantas menangis tersedu-sedu.

“Kenapa? Lo sedih kenapa?”

“Gara-gara gue jadi ada orang yang dikeluarin dari sekolah.”

“Bukan salah lo, Bel. Emang dia udah terlalu sering bikin masalah buat dirinya sendiri, orang lain dan sekolah.”

“Gue sebel banget berantem sama orang gara-gara cowok. Norak ya, Kak?”

“Gak norak dan enggak, Bel. Lo berantem bukan gara-gara cowok. Lo berantem karena kehidupan lo diganggu sama psycho.”

“Gue freak banget!”

“Ini lagi apaan. Jangan ngomong gitu.”

“Rambut gue rontok dijambak.”

“Gak apa-apa lo masih tetap cantik—Arrgh Bel jangan dipukul punggung gue.”

“Lo sampai harus bohong bilang gue pacar lo.”

“Kan emang lo pacar gue.”

“Eh?”

Belia mengangkat kepalanya dari punggung Jehan. Membuat yang lebih tua berbalik menatapnya. Si gadis yang kini hidungnya merah dan matanya sembab.

“Kenapa?”

“Lo yang bener, Kak? Kan mau ujian?”

“Ya gak apa-apa? Memangnya kenapa?”

“Lo yakin?”

“Yakin.”

“Yakin gue terima?”

“Yaki—eh gue ditolak ya?”

Ekspresi bingung Jehan sontak membuat Belia terpingkal. “Gue gak nolak sih.”

Helaan napas lega rilis dari Jehan yang kemudian ikut tertawa bersama Belia. Sebuah ikrar pacaran yang sedikit aneh tetapi akan selalu meninggalkan kesan yang erat membekas di benak.

“Mau pulang atau masih mau nangis?”

“Pulang.”

“Oke.”

Hari ini, 3 bulan sebelum pelaksanaan ujian untuk kelas akhir, Belia dan Jehan benar-benar pacaran.

–.-

pangkalan gas

Nayla betulan datang ke tokonya Kemal. Kemal cuma bisa tepuk jidat apalagi lihat penampilan Nayla yang terlihat siap kencan.

Pasti gagal jalan sama pacarnya. Terka Kemal dalam hati.

“Halo, Bro.” Sapa Nayla begitu memasuki tokonya Kemal. Kemal cuma bisa geleng kepala.

“Rada-rada ni anak. Gasnya jadi gak?”

“Jadi lah. Mang Asep yang ijo ambil 5. Nanti dianter ke rumah dulu. Terus Mang Asep langsung pulang aja,” papar Nayla pada sopirnya.

“Neng Nayla gimana nanti pulangnya?”

“Gampang.” Nayla menunjuk Kemal. Yang ditunjuk mengerutkan kening lantas menghela napas pasrah.

“Iya deh.”

Setelah sopirnya pergi, Nayla mengambil kursi kosong di dekat Kemal dan duduk di sisi karibnya di balik etalase.

“Lo pasti gagal jalan sama Galang jadi ke sini.”

Nayla sedikit tercengang. “Waw, lo cenayang?”

“Ketebak aja. Gue kan pelarian lo doang, Nay.”

“Bahasa lo jangan gitulah, Mal. Gue berasa jahat banget.”

Kemal mengambilkan sebotol air mineral dingin untuk Nayla dari lemari pendingin. Kelewat hapal kebiasaan Nayla yang memang tidak begitu suka minuman manis.

“Jadi?” Satu kata bernada tanya dilontarkan Kemal selagi Nayla meneguk air mineralnya.

“Apaan?”

“Lo ngapain ke sini? Biasanya lo ngajak gue keluar.”

Nayla memang suka begitu. Mengajak Kemal pergi kemanapun di saat ia dan Galang sedang berselisih. Namun kali ini ia lebih memilih berdiam menemani Kemal di pangkalan Gas milik orang tua si pemuda.

“Gue lagi gak punya tujuan jadi sekali-sekali stay aja di tempat lo jualan. Lagian ga enak gue sama ortu lo. Anaknya mau berbakti malah gue ajak kelayapan.”

“Akhirnya sadar juga ya.” Satu pukulan dilayangkan Nayla di lengan Kemal membuat si pemuda merintih.

“Btw, gue beneran mau curhat soal Galang dong.”

“Gue gak mau dengerin.”

“Yah terus gue harus cerita ke siapa dong? Lo tau sendiri papa gue lagi gak di rumah, gue juga belum yang dekat-dekat banget sama Mama, Tata sibuk sampin—”

“Buruan cerita atau—”

Satu dering panggilan telpon menginterupsi keduanya. Lekas Kemal terima panggilan telpon tersebut yang ternyata datang dari pelanggan gas.

“Gue anter gas dulu.”

“Lah gue ditinggal??”

“Ya masa lo gue bawa, Nay.”

“Nanti kalau ada yang beli Gas gimana?”

“Suruh tunggu. Gue gak lama.”

“5 menit.”

“10 menit.”

“Lamaaa.”

“Jangan ngajak gue ngobrol mulu makanya. Biar cepet berangkat cepet nyampe.”

“Galak banget lo pms ya?”

Tidak lagi menggubris Nayla, Kemal bergegas mengantar gas. Pikirannya sedikit kacau setiap kali Nayla berada di sekitarnya.

Kadang Kemal merasa tak enak hati bersikap keras pada Nayla. Tetapi untuk sementara ia merasa perlu.

Sebab ia juga ingin tetap dalam koridor platonik bersama Nayla. Sama seperti ia kepada Tata.

-*-